Tarif Cukai Rokok Bakal Naik Lagi di 2025, Layer Disederhanakan

20 Juli 2024 12:19 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
7
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Pekerja melinting rokok sigaret kretek tangan (SKT) di sebuah pabrik rokok di Bantul, Yogyakarta, Selasa (19/12/2023). Foto: M Risyal Hidayat/Antara Foto
zoom-in-whitePerbesar
Pekerja melinting rokok sigaret kretek tangan (SKT) di sebuah pabrik rokok di Bantul, Yogyakarta, Selasa (19/12/2023). Foto: M Risyal Hidayat/Antara Foto
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Pemerintah akan memastikan kenaikan tarif cukai hasil tembakau (CHT) atau cukai rokok di tahun depan. Tak hanya itu, tingkatan tarif atau layer cukai rokok akan disederhanakan.
ADVERTISEMENT
Hal itu tertuang dalam Kebijakan Ekonomi Makro dan Pokok-Pokok Kebijakan Fiskal (KEM & PPKF) tahun 2025. Adapun di tahun 2023 dan 2024, pemerintah telah menaikkan rata-rata tarif CHT sebesar 10 persen, dan cukai rokok saat ini memiliki 8 layer tarif.
"Intensifikasi kebijakan tarif Cukai Hasil Tembakau (CHT) melalui tarif bersifat multiyears, kenaikan tarif yang moderat, penyederhanaan layer, dan mendekatkan disparitas tarif antar layer;" tulis pemerintah dalam KEM PPKF 2025 yang dikutip kumparan, Sabtu (20/7).
Meski demikian, besaran tarif cukai rokok dan rokok elektrik di 2025 masih akan dibahas lebih lanjut oleh pemerintah maupun DPR RI. Nantinya, besaran tarif tersebut akan tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK).
Penyederhanaan layer cukai rokok dinilai justru mampu menggerus penerimaan negara. Akademisi Unpad, Wawan Hermawan, menilai penyederhanaan layer cukai rokok justru mampu meningkatkan peredaran rokok ilegal di Tanah Air.
ADVERTISEMENT
"Harga rokok (legal) dari Rp 25-30 ribu, dibanding (rokok ilegal) yang Rp 10-15 ribu sangat menurunkan minat terhadap rokok legal. Jadi, merokok rokok legal menjadi suatu kemewahan bagi kalangan bawah atau 40 persen masyarakat dengan pendapatan terendah," ujar Wawan.
Pekerja perempuan menata rokok sigaret kretek tangan (SKT) untuk dikemas di sebuah pabrik rokok di Bantul, Yogyakarta, Selasa (19/12/2023). Foto: M Risyal Hidayat/Antara Foto
Tak hanya itu, adanya tekanan ekonomi juga membuat masyarakat beralih ke rokok yang lebih murah, seperti rokok ilegal. Menurut Wawan, jumlah perokok di kalangan pendapatan rendah jauh lebih tinggi dibandingkan dengan perokok di kalangan penghasilan menengah tinggi.
"Menurut saya, yang utama adalah harga rokok yang sangat tinggi relatif terhadap pendapatan masyarakat. Ini di-drive oleh prevalensi merokok yang masih tinggi dan budaya rokok sebagai alat sosial di masyarakat. Selain itu, penegakan hukum terhadap produsen rokok juga masih lemah," jelasnya,
ADVERTISEMENT
Berdasarkan survei Indodata, sebanyak 28,12 persen dari 2.500 responden di Indonesia mengkonsumsi rokok ilegal. Direktur Eksekutif Indodata, Danis TS Wahidin, menjelaskan bahwa survei ini dilakukan untuk mengkaji hubungan antara tingginya cukai rokok resmi dan peredaran rokok ilegal.
"Kenaikan harga rokok memengaruhi perilaku perokok, tapi tidak berhenti merokok. Yang terjadi adalah peralihan dari rokok premium ke rokok standar, bahkan masyarakat perokok itu berpindah menjadi mengkonsumsi rokok ilegal," kata Danis.
Ia mengatakan, konsumsi rokok ilegal tersebut dikonversi dengan pendapatan negara yang hilang, angkanya bisa mencapai Rp 53,18 triliun. Temuan ini menunjukkan bahwa peredaran rokok ilegal masih menjadi masalah serius yang memerlukan perhatian lebih dari pemerintah.
"Pemerintah perlu mempertimbangkan langkah-langkah komprehensif untuk mengatasi masalah ini, termasuk memberikan dukungan lebih kepada industri rokok rumahan serta memperketat pengawasan dan penegakan hukum terhadap peredaran rokok ilegal," pungkasnya.
ADVERTISEMENT