Tinggalkan Sonic Bay, Eramet Jajaki Kemitraan Proyek Baterai RI dengan China

7 Juli 2024 19:00 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilustrasi Smelter  Foto: Wikimedia Commons
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Smelter Foto: Wikimedia Commons
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Perusahaan tambang asal Perancis, Eramet SA, tengah menjajaki kemitraan dengan Zhejiang Huayou Cobalt Co. untuk memproduksi nikel bahan baku baterai, setelah hengkang dari proyek smelter Sonic Bay bersama perusahaan Jerman, BASF.
ADVERTISEMENT
Dikutip dari Bloomberg, Minggu (7/7), saat ini Eramet sedang dalam pembicaraan untuk perjanjian pasokan bijih ke smelter dengan teknologi High Pressure Acid Leach (HPAL) milik perusahaan China tersebut, di kawasan Indonesia Weda Bay Industrial Park (IWIP).
Sumber Bloomberg juga menyebutkan, Eramet mempertimbangkan untuk mengambil saham di pabrik Huafei yang dikendalikan oleh Huayou, yang merupakan fasilitas HPAL terbesar di dunia.
Meski begitu, Juru bicara Eramet dan Huayou menolak mengomentari pembicaraan tersebut. Sementara dalam pernyataan sebelumnya, pihak Eramet terus mengevaluasi investasi lebih lanjut di Indonesia.
Langkah ini dinilai untuk mengatasi kesulitan yang dihadapi perusahaan-perusahaan Barat dalam menciptakan rantai pasokan mineral penting yang bebas dari pengaruh China.
Ilustrasi perusahaan Eramet dari Prancis. Foto: T. Schneider/Shutterstock
Bulan lalu Eramet membatalkan rencana membangun smelter nikel-kobalt senilai USD 2,6 miliar dengan BASF Jerman di Teluk Weda, dengan alasan meningkatnya ketersediaan nikel untuk bahan baku baterai.
ADVERTISEMENT
Proyek tersebut akan menjadi satu-satunya fasilitas HPAL di Indonesia yang memiliki pemegang saham dari negara-negara Barat, sehingga berpotensi layak menerima subsidi besar di Amerika Serikat (AS) melalui kebijakan Inflation Reduction Act (IRA).
Sementara itu, Huayou tercatat sudah mengoperasikan dua unit smelter di Indonesia dan berencana membangun dua unit lagi melalui kemitraan dengan Vale SA dari Brasil.

Alasan Eramet Hengkang dari Sonic Bay

Sebelumnya, Direktur Eramet Indonesia, Bruno Faour, mengkonfirmasi kedua perusahaan sudah memutuskan untuk hengkang dari proyek smelter Sonic Bay, bukan menunda.
"Sesuai dengan press release yang kami umumkan sebelumnya, di mana setelah melakukan evaluasi menyeluruh, Eramet dan BASF memutuskan untuk tidak melanjutkan investasi Proyek Sonic Bay," tegasnya saat dihubungi kumparan, Jumat (5/7).
BASF bekerja sama dengan Eramet yang telah memiliki legalitas usaha atas nama PT Eramet Halmahera Nikel (PT EHN) di Proyek Sonic Bay. Proyek senilai USD 2,6 miliar itu berupa pengembangan smelter HPAL yang menghasilkan Mixed Hydroxide Precipitates (MHP).
ADVERTISEMENT

Pemerintah Cari Mitra Lain

Sementara itu, Menteri ESDM Arifin Tasrif bahwa pemerintah akan mencari mitra lain untuk melanjutkan proyek Smelter Sonic Bay.
"Ya kalau mundur ya kita cari yang lain, ya, masih banyak yang lain yang mau," katanya saat ditemui di kantor Ditjen Migas Kementerian ESDM, Jumat (28/7).
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif menyampaikan paparan dalam rapat kerja dengan Komisi VII DPR di kompleks Parlemen, Jakarta, Rabu (19/6/2024). Foto: Aditya Pradana Putra/ANTARA FOTO
Arifin mengatakan, BASF memutuskan untuk tidak melanjutkan investasinya di proyek Sonic Bay karena sudah mengamankan pasokan bahan baku dari tempat lain. Padahal rencananya, BASF yang akan menyerap produk akhir dari smelter Sonic Bay. Dia tidak membeberkan lebih lanjut alasan dari pihak Eramet.
“Dikatakan bahwa BASF sudah bisa mendapatkan pengamanan supply, jadi dia memutuskan tidak masuk di Indonesia. Mungkin dia sudah ada dari tempat lain, tapi kita tidak tahu di balik itu ada apanya,” ungkap Arifin.
ADVERTISEMENT