Total Penerbitan Surat Utang Korporasi di RI Tembus Rp 94,9 T Sepanjang 2024

24 Oktober 2024 15:31 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
S&P Global Ratings Global resmi menjadi pemegang 15 persen saham PEFINDO. Foto: PEFINDO
zoom-in-whitePerbesar
S&P Global Ratings Global resmi menjadi pemegang 15 persen saham PEFINDO. Foto: PEFINDO
ADVERTISEMENT
PT Pemeringkat Efek Indonesia (Pefindo) mencatat penerbitan surat utang korporasi selama 9 bulan terakhir, yakni Januari-September 2024, mencapai Rp 94,9 triliun.
ADVERTISEMENT
Adapun Pefindo melakukan pemeringkatan pada 85,6 persen surat utang korporasi yang diterbitkan selama periode Januari-September 2024. Tujuan penggunaan dana sebagian besar adalah untuk modal kerja (65,4 persen) dan refinancing (24,5 persen).
Dalam laporan Perkembangan Pasar Surat Utang Korporasi Pefindo, penerbitan surat utang korporasi itu mencakup penerbitan obligasi korporasi & sukuk tercatat sebesar Rp 93,4 triliun, naik dibandingkan Rp 89,3 triliun periode yang sama tahun sebelumnya.
Kemudian, penerbitan medium term notes (MTN) pada periode Januari – September 2024 menunjukkan penurunan, yaitu mencapai Rp 1 triliun, dibandingkan Rp 1,7 triliun periode yang sama tahun sebelumnya.
"Total penerbitan surat utang korporasi secara keseluruhan pada periode Januari – September 2024 mencapai Rp 94,9 triliun," kata Pefindo dalam laporannya, dikutip Kamis (24/10).
ADVERTISEMENT
Sementara itu, Pefindo mencatat penerbitan efek utang lainnya (perpetual dan SBK) menunjukkan penurunan dibandingkan dengan tahun sebelumnya sebesar Rp 0,8 triliun, menjadi Rp 0,5 triliun di tahun ini.
Sementara untuk Sekuritisasi hingga September 2024 belum ada penerbitan, di mana pada tahun 2023 lalu penerbitannya mencapai Rp 924,3 miliar.
Pefindo menuturkan, ada beberapa peluang penerbitan surat utang korporasi tahun ini. Pertama, kebutuhan refinancing masih cukup tinggi pada kuartal IV 2024, terindikasi dari nilai surat utang yang jatuh tempo mencapai Rp 42,37 triliun.
Kemudian, aktivitas sektor riil masih solid dan permintaan tetap kuat dan stabil, di mana Pilkada serentak akan menjadi faktor pendorong utama. Proyeksi pertumbuhan ekonomi di rentang 4,8-5,2 persen dengan inflasi di rentang 2-3,5 persen.
ADVERTISEMENT
Selanjutnya, siklus kebijakan moneter yang telah memasuki fase pelonggaran, diperkirakan akan menjadi sentimen positif dan memantapkan rencana perusahaan untuk melakukan refinancing.
Hal ini juga berimplikasi pada premi risiko berpeluang menurun seiring siklus suku bunga yang mulai melonggar, menurunkan leverage keuangan perusahaan. Selain itu, kondisi wait and see yang cenderung mereda, dan likuiditas Lembaga Keuangan yang semakin ketat seiring meningkatnya penyaluran kredit, mendorong pencarian alternatif pendanaan lain seperti melalui obligasi korporasi.
Sementara itu, ada juga tantangan dibalik peluang tersebut. Pertama, risiko geopolitik masih tinggi membuat volatilitas pasar masih
belum sepenuhnya mereda. Lalu, potensi pelemahan konsumsi dan investasi akibat suku bunga tinggi yang sebelumnya dijaga untuk waktu yang cukup lama, menurunkan daya beli dan meningkatkan biaya ekspansi.
ADVERTISEMENT
Selain itu, prospek suku bunga yang akan lebih rendah ke depan bisa saja membuat emiten cenderung menunda penerbitannya atau melakukan downsizing terlebih dahulu.
Kemudian, emiten berperingkat rendah (sekitar BBB) cenderung lebih hati-hati untuk menerbitkan surat utang. Premi yang diminta oleh investor terhadap surat utang berperingkat rendah cenderung lebih tinggi karena dianggap lebih berisiko. Hal ini membuat biaya dana mereka menjadi lebih mahal.
Terakhir, risiko substitusi dari instrumen yang memiliki karakteristik hampir serupa (bahkan cenderung risk-free) dan menawarkan imbal hasil yang lebih tinggi seperti SRBI.