Utang Indonesia Nyaris 40 Persen PDB, Ekonom Peringatkan Sri Mulyani

19 Februari 2021 16:15 WIB
comment
6
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Menteri Keuangan Sri Mulyani memberikan paparan saat konferensi pers terkait dampak virus corona di Kantor Kemenko Perekonomian, Jakarta, Jumat (13/3).  Foto: Jamal Ramadhan/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Menteri Keuangan Sri Mulyani memberikan paparan saat konferensi pers terkait dampak virus corona di Kantor Kemenko Perekonomian, Jakarta, Jumat (13/3). Foto: Jamal Ramadhan/kumparan
ADVERTISEMENT
Menteri Keuangan Sri Mulyani baru-baru ini mengungkapkan bahwa rasio utang Indonesia sudah mendekati level 40 persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB). Ekonom INDEF, Bhima Yudhistira, menilai kenaikan rasio utang tersebut sudah menjadi alarm buat pemerintah.
ADVERTISEMENT
Bhima berpendapat, batas aman utang jangan hanya dilihat dari rasio terhadap PDB, perlu dilihat juga indikator lain seperti kemampuan bayar utang atau Debt Service Ratio (DSR).
“DSR tier I Indonesia terus naik melebihi 25 persen, padahal negara seperti Filipina cuma 9,7 persen, Thailand 8 persen dan Meksiko 12,3 persen,” kata Bhima saat dihubungi kumparan, Jumat (19/2).
“Dengan melihat perbandingan DSR maka bisa dikatakan utang sudah jadi beban dan kemampuan bayar berkurang. Ini bisa dikatakan lampu kuning, sudah hampir lampu merah,” tambahnya.
Pemerintah menyebut kenaikan rasio utang ini terjadi seiring dengan semakin melebarnya defisit APBN untuk membiayai penanganan COVID-19. Tapi Bhima menilai utang tersebut tidak hanya untuk COVID-19, tetapi juga habis untuk anggaran yang tidak terlalu mendesak.
ADVERTISEMENT
“Beban utang terus meningkat sementara belanja di sektor produktifnya kalah dengan belanja birokrasi, seperti belanja pegawai dan belanja barang. Maka kasihan pemerintahan ke depan karena harus cari penerimaan lebih besar dan terbitkan utang baru,” ujar Bhima.
Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Bhima Yudhistira. Foto: Ulfa Rahayu/kumparan
Selain itu, Bhima mengungkapkan bahwa utang terus bertambah tetapi produktivitas menurun, dengan demikian pemerintahan saat ini memberikan beban ke generasi masa depan atau milenial dan Gen Z.
Menurut Bhima, rasio utang Indonesia juga tidak bisa dibandingkan dengan negara maju. Apalagi, kata Bhima, posisi Indonesia turun kelas menjadi negara berpendapatan menengah ke bawah sehingga lebih cocok dibandingkan dengan sesama negara berkembang.
Lebih lanjut, Bhima menegaskan pandemi COVID-19 tidak bisa dijadikan alasan untuk terus-terusan utang.
“Tidak bisa dijadikan alasan. Sebelum pandemi laju utang baru juga naik signifikan. Dulu alasannya buat bangun infrastruktur, sekarang karena COVID. Itu cari pembenaran saja,” tutur Bhima.
ADVERTISEMENT
Sebelumnya diberitakan, Sri Mulyani mencatat rasio utang Indonesia bakal mendekati level 40 persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB). Ia menyebut, sejak Indonesia dilanda wabah corona, defisit APBN terus melebar. Pada 2020, defisit meningkat dari 1,76 persen menjadi 6,09 persen terhadap PDB.
"Rasio utang kita terhadap PDB dari awal sebelum krisis masih sekitar 32 persen. Jadi peningkatan defisit pasti akan meningkatkan rasio utang terhadap PDB sekitar 40 persen," kata dia.
Dia mengungkapkan, rasio utang nasional terus meningkat karena pemerintah mencari pembiayaan untuk program pemulihan ekonomi nasional (PEN). Salah satunya adalah penyaluran dana bantuan sosial (bansos) agar daya beli masyarakat terjaga.
Di sisi lain, penerimaan pajak negara juga sangat terbatas. Kondisi ini membuat pendanaan nasional untuk penanganan COVID-19 menjadi sangat kritikal.
ADVERTISEMENT
Meski rasio utang Indonesia terhadap PDB terus membengkak, menurutnya masih lebih rendah dibandingkan negara lain. Tapi, bukan berarti Indonesia terlena sebab, bagaimana pun keberlanjutan fiskal harus terus dipikirkan.