Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.86.0
ADVERTISEMENT
Ketika para suporter Arsenal sedang berusaha menggulingkan Arsene Wenger dari kursi kepelatihan ada sebuah kutipan dari film 'The Dark Knight' besutan Christopher Nolan yang terus-menerus diulang. "You either die a hero, or you live long enough to see yourself become the villain," kata mereka.
ADVERTISEMENT
Kamu bisa mati sebagai seorang pahlawan atau hidup terlalu lama untuk mendapati dirimu jadi seorang penjahat. Di mata para pendukung Arsenal itu, Wenger sudah terlalu lama menjadi pelatih sampai-sampai dia tak lagi layak untuk didukung apalagi dicintai.
Ketika Chievo akhirnya terdegradasi tidak ada yang bersedih kecuali suporter mereka sendiri. Alasannya, karena klub itu sudah tinggal lebih lama dari yang seharusnya di Serie A. Sebelum musim 2018/19 mereka sudah kerap terancam degradasi tetapi terus-terusan mampu bertahan.
ADVERTISEMENT
Semestinya, keberhasilan Chievo bertahan itu layak untuk diapresiasi. Akan tetapi, kenyataannya adalah mereka tidak pantas untuk terus-terusan bermain di Serie A. Tidak ada sama sekali yang bisa mereka tawarkan. Dengan pemain seadanya, permainan mereka pun seadanya. Selain itu, stadion mereka, Marc'Antonio Bentegodi, juga sama sekali tidak nyaman untuk dikunjungi.
Maka, ketika Chievo pergi, semuanya berpesta. Akhirnya. Akhirnya, setelah belasan tahun berada dalam keadaan hidup segan mati tak hendak, Chievo mampus juga. Akhirnya, seragam biru-kuning yang tampak tak pernah diganti desainnya itu tidak terlihat lagi di depan mata. Akhirnya.
Sentimen itu memang kejam tetapi ia sesungguhnya merupakan sebuah wujud kekecewaaan. Pasalnya, ada suatu masa ketika Chievo menjadi simbol harapan. Ada suatu masa ketika Chievo adalah pemberontak keren yang tak cuma bisa dibanggakan oleh para pendukungnya, tetapi juga penikmat Serie A secara general.
ADVERTISEMENT
Namun, masa itu memang sudah lama lewat. Tahun ini, masa keemasan Chievo itu sudah berusia 18 tahun. Ini adalah cerita tentangnya.
***
"Aku sudah tinggal di Verona selama lebih dari sepuluh tahun sebelum aku menginjakkan kaki di sana, sebuah wilayah pinggiran milik masyarakat kelas pekerja yang lama kelamaan makin terdesak ke rawa-rawa."
Tim Parks, pada 2001 silam, menulis deskripsi itu di The Guardian untuk menggambarkan distrik Chievo di Kota Verona. Untungnya, tulis Parks, wilayah itu tidak terlalu besar. Kata pengarang buku laris 'A Season with Verona' itu, hanya ada 3.000 jiwa yang tinggal di sana dan itu sudah termasuk merpati, tikus air, serta anjing liar.
Distrik Chievo bukan bagian dari Verona yang bisa dilihat di kartu pos atau foto-foto di majalah. Ia adalah wilayah yang keberadaannya selalu disembunyikan rapat-rapat. Verona adalah kota opera, tempat Romeo dan Juliet berlatar, tempat peninggalan Romawi Kuno dirawat dan dijaga. Chievo yang sederhana tentu tidak layak jadi bagian dari semua itu.
ADVERTISEMENT
Dari wilayah itulah pada 1929, tepat ketika FIGC menggulirkan Serie A untuk kali pertama, sebuah klub sepak bola didirikan oleh sekelompok pemuda lokal. Nama klub itu O. N. D. Chievo.
Keberadaan klub itu tidak panjang. Tujuh tahun setelah dibentuk mereka bubar jalan karena kesulitan keuangan. Pada 1948, usai Perang Dunia II, barulah klub tersebut kembali dibangkitkan. Mereka tergabung dalam kompetisi regional divisi dua dan sejak itu prestasi mereka baru menanjak.
Pada 1957 nama klub diubah menjadi Cardi Chievo untuk menyesuaikan diri dengan perusahaan yang mensponsorinya. Sokongan dana dari Cardi ini membawa Chievo promosi ke puncak kompetisi regional, Prima Categoria, pada musim berikutnya. Segala pencapaian Chievo ini menarik perhatian seorang pengusaha besar bernama Luigi Campedelli.
ADVERTISEMENT
Campedelli adalah pemilik Paluani, perusahaan kue dan roti yang dikenal dengan produk pandoro-nya. Kue pandoro bikinan Paluani ini adalah salah satu yang paling terkenal di Italia dan biasanya sangat laris pada masa Natal. Dari situlah Paluani milik Campedelli jadi begitu besar.
Uang yang didapat Campedelli dari berjualan roti dan kue itu akhirnya dinikmati juga oleh Chievo . Pada 1964 dia membeli klub tersebut dan nama Cardi Chievo berganti menjadi Paluani Chievo. Di bawah Campedelli, prestasi Chievo semakin melejit sampai akhirnya berhasil menembus Serie C2 pada 1986.
Tahun 1986 itu menjadi tahun krusial dalam perjalanan sejarah Chievo karena dengan bermain di Serie C2 mereka tidak bisa lagi bermarkas di lapangan Carlantonio Bottagisio yang sudah jadi kandang sejak 1957. Sejak itu mereka harus bermain di Stadio Marc'Antonio Bentegodi yang sebelumnya sudah identik dengan klub tetangga, Hellas Verona.
ADVERTISEMENT
Tiga tahun lamanya Chievo berada di Serie C2. Pada 1989 mereka promosi ke Serie C1 dan pada tahun berikutnya nama klub secara resmi diubah menjadi A. C. ChievoVerona . Nama itu bertahan sampai sekarang.
Semua prestasi itu diraih Chievo di bawah kendali Campedelli. Namun, semua itu tidak ada apa-apanya jika dibandingkan dengan capaian mereka selama dipimpin oleh putra Campedelli, Luca. Bersama Luca Campedelli, Chievo nantinya bakal merasakan keras dan glamornya kompetisi Serie A.
Luca Campedelli menjadi pemimpin Chievo pada 1992 ketika usianya baru 23 tahun. Jabatan itu dia emban setelah sang ayah meninggal dunia akibat serangan jantung. Tanpa banyak tingkah, Luca Campedelli pun segera melakukan berbagai perubahan yang dirasa perlu.
ADVERTISEMENT
Alberto Malesani, pelatih yang pada 1999 membawa Parma menjadi juara Piala UEFA, awalnya cuma pekerja biasa di Paluani. Akan tetapi, Luca Campedelli melihat sebuah potensi dalam dirinya. Malesani pun ditunjuk menjadi pelatih, sementara posisi direktur olahraga diserahkan kepada Giovanni Sartori yang saat ini menjadi pejabat Atalanta.
Malesani awalnya enggan. Dia bahkan sampai meminta jaminan bahwa pekerjaannya di Paluani bakal tetap tersedia seandainya gagal membawa Chievo berprestasi. Namun, perjudian Luca Campedelli itu akhirnya terbayar.
Malesani membawa Chievo promosi ke Serie B pada 1997. Bahkan, setelah itu dia memutuskan untuk keluar sepenuhnya dari Paluani dengan menerima tawaran Fiorentina.
Kiprah Chievo di Serie B pada musim 1997/98 ini jadi salah satu titik terpenting dalam sejarah klub. Di situ mereka untuk kali pertama berada satu divisi dengan Hellas. Rivalitas pun akhirnya betul-betul lahir.
ADVERTISEMENT
Julukan Chievo, Mussi Volanti alias Keledai Terbang, awalnya merupakan olok-olok dari suporter Hellas. Menurut para pendukung Hellas, Chievo hanya bisa promosi ke Serie A ketika keledai sudah bisa terbang. Empat tahun sesudah itu si keledai akhirnya benar-benar terbang.
***
Musim 2000/01, pada kesempatan ketiganya di Serie B, Chievo menunjuk Luigi Delneri untuk menjadi pelatih. Ini adalah keputusan terbaik yang pernah dibuat Luca Campedelli sebagai pemilik Chievo karena Delneri hanya butuh satu musim untuk membawa klub kecil itu promosi ke Serie A.
Chievo finis di urutan tiga pada musim 2000/01, di bawah Torino dan Piacenza, di atas Venezia. Diperkuat pemain-pemain seperti Massimo Marazzina, Eugenio Corini, dan Christian Manfredini, Chievo sukses mengepakkan sayap yang sebelumnya bahkan tidak mereka miliki. Mereka terbang ke tanah terjanji.
ADVERTISEMENT
Keberhasilan itu disambut, tentu saja, dengan suka cita. Terlebih, dengan promosi ke Serie A, artinya mereka bisa merasakan pertandingan derbi menghadapi Hellas yang arogan itu. Meski demikian, akal sehat jadi kata kuncinya. Sukses mendapat promosi bukan berarti Chievo kemudian jorjoran di bursa transfer.
Luca Campedelli memang seorang hartawan tetapi dia tetap saja tidak sekaya Gianni Agnelli, Massimo Moratti, atau Silvio Berlusconi. Dia tidak punya uang ratusan miliar lira yang bisa digunakan sewaktu-waktu untuk merekrut pemain bintang. Pada musim panas 2001 itu dia hanya mengeluarkan 5 miliar lira untuk merekrut Simone Perrotta dari Bari dan Cristiano Lupatelli dari Roma.
Tak heran jika ketika itu Chievo menjadi tim yang paling 'dijagokan' untuk terdegradasi ke Serie B. Mereka adalah debutan dan anggaran yang ada begitu minim untuk bersaing di Serie A. Namun, bukan prediksi namanya kalau tidak dipatahkan oleh mereka yang berdeterminasi.
ADVERTISEMENT
Perrotta dan Lupatelli ternyata sudah cukup untuk Chievo. Perrotta menjadi andalan di lini tengah, sementara Lupatelli jadi tumpuan di bawah mistar. Kedua pemain ini langsung nyetel dengan sistem permainan Delneri yang super agresif.
Chievo pada 2001/02 adalah sebuah angin segar. Tak seperti tim-tim Serie A kebanyakan, mereka menampilkan sepak bola yang begitu ekspansif. Mereka sama sekali tidak takut dan canggung melakukan pressing serta memasang garis pertahanan tinggi. Selain itu, para pemain Chievo juga tidak segan menghajar lawan untuk melakukan intimidasi.
Dengan pendekatan seperti itu Chievo mengumpulkan 22 kartu kuning dalam lima pertandingan mereka di Serie A. Akan tetapi, itu semua adalah pengorbanan yang layak karena mereka sukses memimpin klasemen Serie A selama dua pekan berturut-turut. Total, dari 10 pertandingan pertama di Serie A, Chievo memetik tujuh kemenangan, satu kekalahan, dan dua hasil imbang.
ADVERTISEMENT
Delneri sendiri menyusun tim Chievo -nya dalam balutan formasi 4-4-2. Bernardo Corradi dan Massimo Marazzina menjadi tombak kembar di lini depan. Di tengah, duo Perrotta dan Corini diapit oleh dua winger, Eriberto dan Manfredini. Sementara, lini belakang yang dikomandoi Lorenzo D'Anna dan Maurizio D'Angelo berjaga di depan Lupatelli.
Selain pemain-pemain inti tersebut, Chievo juga memiliki cadangan yang cukup berkualitas. Marco Ambrosio, Alessandro Rinaldi, Nicola Legrottaglie, Jonathan Binotto, Simone Barone, Massimiliano Esposito, Daniele Franceschini, Fabio Firmani, dan Federico Cossato adalah sejumlah nama yang bisa ditemukan di bangku cadangan 'Keledai Terbang'.
Paddy Agnew, dalam kolomnya untuk World Soccer edisi 2001, menuliskan bahwa prestasi Chievo itu adalah buah dari kerja keras, antusiasme para debutan, dan jadwal yang bersahabat. Hal tersebut diamini oleh Delneri sendiri yang berkata, "Orang-orang sebaiknya berhenti bicara soal dongeng. Di sini tidak ada dongeng, melainkan kerja keras yang dilakukan setiap hari."
ADVERTISEMENT
Di akhir musim, Chievo berhasil finis di posisi kelima. Keberhasilan tersebut menghadirkan sebuah gegar budaya tersendiri bagi D'Angelo yang sudah memperkuat Chievo sejak masih di Serie C2. Menurut penuturannya, ketika Chievo masih bermain di Serie C2, mereka harus memohon agar reporter mau meliput pertandingan. Di Serie A, tentu saja, itu tak lagi terjadi.
Dengan finis di urutan kelima, Chievo pun berhak lolos ke kualifikasi Piala UEFA. Sayangnya, langkah mereka dihentikan oleh Crvena Zvezda. Meski demikian, kegagalan lolos ke fase grup Piala UEFA itu cukup membantu mereka di Serie A. Di musim 2002/03 Chievo finis di urutan ketujuh dan ini merupakan bukti bahwa keberhasilan musim sebelumnya bukan sebuah kebetulan.
Namun, perlahan-lahan Chievo mengalami penurunan. Kepergian pemain-pemain kunci seperti Perrotta, Corradi, dan Legrottaglie serta Delneri sendiri membuat Chievo tak lagi segarang sebelumnya. Pada 2006/07 mereka terdegradasi ke Serie B.
ADVERTISEMENT
Degradasi itulah yang kemudian mengubah wajah Chievo. Semusim berikutnya mereka sukses kembali meraih promosi tetapi saat itu mereka sudah bukan lagi Chievo 2001 yang dicintai. Sejak itu, mereka berubah menjadi Chievo yang hidup terlalu lama hingga akhirnya menuai benci dari sana-sini.