90 Tahun PSSI: Cerita-cerita Kepengurusan PSSI dari Masa ke Masa

20 April 2020 14:42 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
PSSI merayakan ulang tahun ke-90 dengan slogan 'Rise Together'. Foto: PSSI
zoom-in-whitePerbesar
PSSI merayakan ulang tahun ke-90 dengan slogan 'Rise Together'. Foto: PSSI
PSSI lahir pada 1930 dan Ir. Soeratin Sosrosoegondo yang jadi ketua umum pertama. Terhitung selama sepuluh tahun dia menjabat. Sebelum turun, Soeratin sempat mengucapkan sesuatu yang pada akhirnya jadi kenyataan.
Kata dia, ''PSSI tidak pernah lepas dari persoalan, karena setiap kepengurusan pasti mempunyai pandangannya masing-masing.''
Yak.. PSSI memang tak pernah lepas dari persoalan alias kontroversi. Macam-macam jenisnya. Mulai dari polemik ketua umum yang bermasalah, Timnas minim prestasi, dualisme, hingga hal-hal yang berkaitan dengan kompetisi.
Segala hal tersebut mengiringi perjalanan PSSI yang 19 April lalu tepat berusia 90 tahun. Tapi, kontroversi bukan satu-satunya cerita yang menjadi pengiring. Meski tak banyak, PSSI sempat mencatatkan sejumlah prestasi dan keputusan strategis.
Logo PSSI Foto: Alan Kusuma/kumparan

PSSI Era Kardono, PSSI Paling Berprestasi

Kalau takarannya adalah prestasi, boleh dibilang Kardono merupakan ketua umum PSSI terbaik sejak pertama kali berdiri 30 tahun silam. Yang paling diingat tentu adalah torehan medali emas SEA Games 1987 dan 1991.
Pada eranya pula Timnas Indonesia berhasil melaju hingga ke semifinal Asian Games 1986 serta menembus babak play-off Kualifikasi Piala Dunia 1986. Semua itu dia raih dalam rentang masa jabatan sembilan tahun (1983-1991).
Bahwa Timnas belum pernah lagi meraih gelar atau pun medali, semakin membuktikan Kardono sebagai ketua umum paling berprestasi. Terlebih, kepengurusan-kepengurusan berikutnya lebih banyak berkutat dengan rentetan kontroversi.

Para Pelopor: Soeratin hingga Ali Sadikin

Soeratin adalah pendiri sekaligus ketua umum pertama PSSI. Oleh karena itu, amat pantas menyebutnya sebagai salah satu atau bahkan pelopor utama hadirnya pelbagai hal menyangkut sepak bola di negeri ini.
Sejumlah hal yang pertama kali dia rintis adalah lahirnya Timnas Indonesia. Munculnya kompetisi amatir bernama Perserikatan, disusul beberapa klub sepak bola di tiap daerah, juga tak lepas dari andil kepengurusan Soeratin.
Saat Perserikatan masih mentas, Indonesia juga punya satu kompetisi lagi. Bedanya, kompetisi ini bersifat semi-profesional dan lahir pada 1979. Galatama (Liga Sepak Bola Utama) namanya. Ini terjadi pada masa kepengurusan Ali Sadikin.
Pendiri PSSI, Soeratin Sosrosoegondo. Foto: Dok: PSSI
Ketua umum 1991-99, Azwar Anas, juga bisa dibilang sebagai pelopor. Pada masanyalah Galatama dan Perserikatan digabungkan sebagai cikal-bakal Liga Indonesia. Di masa ini pula lahir proyek pelatnas jangka panjang bernama Primavera dan Baretti.
Namun, PSSI era tersebut dihadapkan pada sejumlah masalah yang tak sedikit. Salah satunya kasus pengaturan skor di Liga Indonesia. Skandal 'sepak bola gajah' di Piala AFF 1998 yang melibatkan bek Timnas, Mursyid Effendi, juga terjadi pada era ini.

Nurdin Halid, Memimpin PSSI dari Balik Jeruji Besi

Ini sudah menjadi pengetahuan umum para penggila sepak bola Indonesia: Nurdin Halid adalah Ketua Umum PSSI yang sering terlibat kasus hukum. Karena itu pula dia beberapa kali memimpin PSSI dari balik jeruji besi.
Sebagian besar kasus yang melibatkan Nurdin terkait penyelundupan dan korupsi. Pada 2006, misalnya, dia dihukum dua tahun enam bulan kurungan penjara karena terlibat kasus impor beras dari Vietnam.
FIFA sempat mencekal Nurdin karena kondisi itu. Toh, dalam statuta, seseorang yang terlibat kriminal tak diperbolehkan menjadi ketua umum federasi. Namun, Nurdin tak memedulikannya. Dari balik penjara, dia masih saja memimpin PSSI.
Nurdin Halid. Foto: Rafyq Panjaitan/kumparan
Sederet kasus hal tersebut lantas bikin para suporter geram. Cukup sering spanduk berisi kecaman dibentangkan di stadion kala Timnas berlaga. Salah satunya pada Piala AFF 2010, seperti spanduk bertuliskan 'Aku Berlindung dari Nurdin yang Terkutuk'.
PSSI era Nurdin sendiri begitu lekat dengan politik. Pasalnya, Nurdin adalah kader Golkar. Kedekatannya dengan politik ini ditengarai jadi salah satu penyebab gagalnya Timnas menjuarai Piala AFF 2010. Timnas beberapa kali menghadiri jamuan makan di rumah Abu Rizal Bakrie, yang kala itu ketua umum Golkar.

Nugraha Besoes, Sekjen di Empat Kepengurusan

Nugraha Besoes pertama kali menjabat sebagai Sekretaris Jenderal (Sekjen) PSSI pada 1983, yakni pada masa Kardono. Sejak saat itu, entah bagaimana, jabatannya seakan tak berganti hingga terhitung sudah pada empat kepengurusan dia terlibat.
Setelah era Kardono, Kang Nug --demikian Nugraha Besoes biasa disapa-- menjadi Sekjen pada masa Azwar Anas dan Agum Gumelar. Dia sempat menghilang di periode kedua Agum, tetapi kembali muncul saat Nurdin Halid menjabat. Posisinya terus bertahan hingga Djohar Arifin mengambil alih.

Kisruh di Era Djohar Arifin Husin dan La Nyalla Mattalitti

Djohar Arifin Husin muncul dengan semangat reformasi di tubuh PSSI dan jelas ini kabar baik. Djohar memang mengubah banyak hal, tetapi hal tersebut justru bikin sepak bola Indonesia makin tak jelas.
Terpilih pada KLB PSSI 2011, dia merombak total kompetisi profesional. Indonesia Super League digantikan dengan Liga Primer Indonesia lewat operator liga yang baru. Namun, sebagian besar klub menolak perubahan ini.
PSSI terbelah menjadi dua kubu: PSSI dan Komite Penyelamat Sepak Bola Indonesia (KPSI), yang salah satu pentolannya La Nyalla Mattalitti. Liga juga terbelah dua, yakni LPI dan ISL yang berjalan beriringan. Di masa ini pula terjadi dualisme klub, mulai dari Persebaya hingga Arema.
Situasi tersebut mengundang intervensi pemerintah. Lalu KLB kembali digelar pada 2013 dan kali ini, menariknya, Djohar dan La Nyalla berduet memimpin PSSI. Sayangnya, tak ada perubahan berarti yang terlihat.
La Nyalla Mahmud Mattalitti. Foto: ANTARA FOTO/Aditya Pradana Putra
PSSI di era mereka justru dihadapkan dengan banyak kasus. Pengaturan skor, permasalahan gaji, mafia bola, dan semacamnya mencuat. Salah satunya adalah skandal sepak bola gajah PSS Sleman vs PSIS Semarang.
Singkat cerita jabatan mereka berakhir. Di KLB berikutnya, walau begitu, Djohar kembali maju dan lawan yang dia hadapi sekaligus mengalahkannya adalah kompatriot dia di pengerusan sebelumnya, yakni La Nyalla.
Namun, lagi-lagi kabar buruk yang muncul. Pemerintah membekukan PSSI yang diiringi dengan hukuman dari FIFA selama setahun. Dari situ, tak hanya PSSI, tetapi juga sepak bola Indonesia yang mati suri.

Sekjen Wanita Pertama: Ratu Tisha

PSSI sudah beberapa kali menempatkan wanita di jabatan penting kepengurusan. Namun, baru pada 2017 hal itu terjadi di posisi Sekretaris Jenderal (sekjen). Ratu Tisha yang mendapat amanah untuk mengemban jabatan tersebut.
Waktu itu, Ketua Umum PSSI adalah Edy Rahmayadi, tetapi justru Tisha-lah yang paling sering muncul. Saat Edy lengser dan digantikan Joko Driyono sebagai pelaksana tugas, Tisha bahkan dikabarkan kerap mengambil keputusan penting.
Berbagai gebrakan lantas dia lakukan. Salah satunya adalah dengan terlibat mendirikan program latihan bernama Garuda Select serta menjadikan Indonesia sebagai tuan rumah Piala Dunia U-20 2021 mendatang.
Namun, secara perlahan Tisha menghilang sejak Mochamad Iriawan menduduki Ketua Umum PSSI terkini. Dari sini dia mulai jarang muncul ke publik sebagai perwakilan PSSI. Pada akhirnya Tisha mengundurkan diri di pertengahan April 2020.

Komentar-komentar Nyeleneh Edy Rahmayadi

Gubernur Sumatera Utara Edy Rahmayadi saat menjawab pertanyaan wartawan di Kantor Gubernur Sumut, Senin (10/2). Foto: Rahmat Utomo/kumparan
Awal kepemimpinan Edy Rahmayadi sebagai ketua PSSI dibuka dengan keberhasilan mencapai babak final Piala AFF 2016. Namun, setelah itu lebih banyak kontroversi yang muncul, salah satunya menyangkut komentar-komentar nyelehnya.
Misal, saat dia mempertanyakan keputusan Evan Dimas dan Ilham Udin Armayn yang memilih untuk bermain di luar negeri bersama Selangor FA. Karena hal tersebut, Edy mencap kedua pemain itu tak punya nasionalisme sekaligus mata duitan.
"Siapa mereka (Selangor FA)? Seenaknya saja mengontrak-ngontrak. Kalau (Evan dan Ilham) mata duitan, ya, repot juga kita. Tidak ada jiwa nasionalisme. Nanti akan saya kumpulkan segera," ujar Edy kala itu.
Komentar nyeleneh lain adalah ketika Timnas tampil sangat buruk dan tersingkir secara dini di Piala AFF 2018. Capaian itu sendiri terjadi mengiringi keputusan PSSI yang tak memperpanjang kontrak Luis Milla.
Para suporter lantas menganggap hal tersebut sebagai salah satu penyebab utama. Terlebih, Timnas memang tampil cukup baik di gelaran sebelumnya (Asian Games). Namun, Edy punya tanggapan berbeda terkait kegagalan Timnas.
Kata Edy, "Wartawannya yang harus baik. Kalau wartawannya baik, nanti timnasnya baik."
Pada akhirnya Edy mengundurkan diri dari jabatannya. Sebelumnya, tekanan terhadap dia memang banyak muncul karena sejumlah hal seperti mafia bola, lalu terkait statusnya yang terpilih sebagai Gubernur Sumatera Utara.
***
Simak panduan lengkap dalam menghadapi pandemi corona dalam Pusat Informasi Corona. Sebuah inisiatif yang dirancang kumparan untuk membantu masyarakat Indonesia.
***
kumparanDerma membuka campaign crowdfunding untuk bantu pencegahan penyebaran corona virus. Yuk, bantu donasi sekarang