Agar Indonesia Tak Hanya Jago Nonton Bola

16 Februari 2017 14:41 WIB
clock
Diperbarui 14 Maret 2019 21:18 WIB
ADVERTISEMENT
Dukungan maksimal diberikan para suporter ketika Timnas Indonesia menjamu Thailand dalam Leg 1 Final Piala AFF 2016 di Stadion Pakansari, Cibinong, Kab. Bogor
zoom-in-whitePerbesar
Dukungan maksimal diberikan para suporter ketika Timnas Indonesia menjamu Thailand dalam Leg 1 Final Piala AFF 2016 di Stadion Pakansari, Cibinong, Kab. Bogor
Antony Sutton namanya. Ia adalah seorang Inggris yang sejak 2006 lalu tergila-gila dengan sepak bola Indonesia. Sutton sudah menonton lebih dari 200 laga sepak bola lokal, amatir hingga profesional, dari mulai di Palembang hingga Balikpapan.
ADVERTISEMENT
Sutton mengaku sudah kadung jatuh cinta dengan sepak bola Indonesia. Dan ia tak ingin jatuh cinta dan tergila-gila sendirian. Maka, ia menuliskan sebuah buku tentang perjalanan dan pengalamannya menonton banyak pertandingan di Tanah Air.
Dengan nama pena Jakarta Casual, buku berjudul 'Sepakbola: The Indonesian Way of Life' itu terbit dan diluncurkan Rabu (15/2/2017) kemarin. Namun, bukan berarti dengan menerbitkan buku, perjalanannya menonton sepak bola Indonesia selesai. Sutton mengaku masih akan terus menonton sepak bola.
Antony dalam peluncuran bukunya. (Foto: Bergas Agung/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Antony dalam peluncuran bukunya. (Foto: Bergas Agung/kumparan)
Tak hanya itu, ia juga berharap sepak bola Indonesia semakin baik. Sebab, Sutton menyayangkan jika Indonesia hanya menjadi nomor satu dalam soal menggilai dan menonton sepak bola, tapi ketika berbicara soal pertarungan di lapangan, Indonesia tak sanggup.
ADVERTISEMENT
Kepada kumparan, ia mengungkapkan bagaimana pandangannya terhadap sepak bola Indonesia saat ini, khususnya soal Tim Nasional Indonesia yang belum mampu berbicara banyak.
"Banyak hal yang harus dilakukan. Mungkin butuh 10 tahun lagi untuk membuat Indonesia mampu menyusul Thailand. Dua tahun seperti yang dikatakan Alfred Riedl saya rasa itu terlalu optimistis. Indonesia butuh kontinuitas, sementara Thailand juga pasti akan terus berkembang. Gap-nya besar saat ini," ucap Sutton.
Penggemar fanatik Arsenal ini menilai jika masih banyak hal yang harus diperbaiki dari sepak bola Indonesia. Dan yang paling mendasar menurutnya adalah kualitas pemain. Menurut Sutton, soal pemain, Indonesia kini tertinggal jauh dari Thailand.
"Pemain-pemain Indonesia butuh disiplin, butuh latihan, mereka butuh diet. Untuk bermain bagus, mereka butuh waktu. Yang Indonesia butuhkan adalah konsistensi. Tengok dan contohlah Thailand," ungkapnya.
ADVERTISEMENT
Stefano Lilipaly menangis setelah Timnas Indonesia dikalahkan Thailand (Foto: Aditia Noviansyah)
zoom-in-whitePerbesar
Stefano Lilipaly menangis setelah Timnas Indonesia dikalahkan Thailand (Foto: Aditia Noviansyah)
Tak hanya itu, Sutton juga menyebutkan jika Indonesia saat ini perlu pembinaan dalam hal sepak bola yang lebih baik lagi. Bahkan ia menyebutkan, program Sociedad Anónima Deportiva (SAD) yang mengirimkan pemain-pemain muda untuk menimba ilmu di Uruguay adalah hal perlu terus dilakukan.
"Saya pikir pembinaan-pembinaan seperti yang dilakukan Indonesia dengan mengirimkan pemain ke Uruguay cukup bagus hasilnya. Beberapa pemain seperti Hansamu (Yama) atau Manahati (Lestusen) sudah bermain untuk Timnas. Program-program seperti itu yang perlu kontinuitas."
"Program blusukan milik Indra Sjafri juga perlu terus dilakukan. Mungkin Indonesia harus menemukan Indra Sjafri baru untuk bisa menemukan pemain di kampung antah-berantah. Itulah cara untuk menemukan pemain yang tidak terpantau radar. Karena negara Indonesia sungguh besar sekali," ujarnya.
ADVERTISEMENT
Namun, ketika berbicara soal program naturalisasi yang dicanangkan oleh PSSI saat ini, Sutton tidak setuju. Menurutnya, dengan penduduk yang banyak dan negara yang luas, seharusnya Indonesia bisa lebih bangga menggunakan pemain-pemain lokal.
"Negeri ini memiliki penduduk yang sangat banyak. Tidak seperti Singapura yang memang membutuhkan naturalisasi. Untuk sekarang mungkin naturalisasi adalah hal yang baik. Tapi untuk waktu panjang, tidak. Indonesia butuh pembinaan, Indonesia lebih banyak butuh blusukan," ujarnya.
Indra Sjafri mencari talenta-talenta muda  (Foto: Facebook Indra Sjafri)
zoom-in-whitePerbesar
Indra Sjafri mencari talenta-talenta muda (Foto: Facebook Indra Sjafri)
Lalu, bagaimana soal pelatih anyar Timnas Indonesia, Luis Milla? Menurutnya, langkah awal pelatih asal Spanyol yang melakukan pemantauan pada ajang Piala Presiden 2017 sudah cukup baik. Terlebih, Milla juga ditemani oleh Direktur Teknik Timnas, Danurwindo.
Namun jika berbicara prestasi, kata Sutton, masyarakat Indonesia harus bersabar. Karena walau Milla adalah pelatih berpengalaman dan memiliki prestasi yang cukup bagus di Eropa, ia masih membutuhkan waktu yang tidak sebentar untuk bisa membawa Indonesia meraih prestasi.
ADVERTISEMENT
"Luis Milla ditemani oleh Danurwindo dalam memantau para pemain, saya rasa itu sangat baik. Dia juga bisa lebih banyak menonton video pemain-pemain Indonesia, mungkin bisa dimulai dari Piala AFF 2016 lalu. Dia bisa melihat bagaimana Indonesia bermain."
"Tapi yang jelas dia butuh waktu, Timnas Indonesia butuh waktu. Dan para suporter juga harus menurunkan ekspektasi mereka. Jika misalnya di pertandingan pertama Indonesia hanya bermain imbang lawan Malaysia, kalian tidak boleh menyuruhnya mundur. Kalian harus bersabar," tutur Sutton.
Luis Milla dan 3 asisten pelatih Timnas (Foto: Akbar Nugroho Gumay/Antara)
zoom-in-whitePerbesar
Luis Milla dan 3 asisten pelatih Timnas (Foto: Akbar Nugroho Gumay/Antara)
Terakhir, ia juga berbicara tentang rencana PSSI dan Milla yang ingin menerapkan gaya permainan ala Spanyol untuk diterapkan Timnas Indonesia. Menurut Sutton, hal tersebut sulit untuk dilakukan oleh Timnas, terlebih jika gaya itu ingin diterapkan dalam waktu dekat.
ADVERTISEMENT
"Kultur dan sistem pelatihan sudah berbeda. Spanyol telah memahami kultur dan pelatihan sepak bola mereka sejak lama untuk bisa bermain dengan tiki-taka. Indonesia tidak mungkin melakukannya dalam waktu enam bulan."