Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Alvaro Morata ke Manchester United? Kenapa Tidak?
8 Juni 2017 11:43 WIB
Diperbarui 14 Maret 2019 21:16 WIB
ADVERTISEMENT
Jika sepak bola adalah perkara mengumpulkan uang semata, maka Manchester United sudah layak berleha-leha. Dalam laporan tahunan yang dirilis Forbes, Selasa (6/6) lalu, untuk pertama kalinya dalam lima tahun terakhir mereka berhasil memuncaki daftar klub sepak bola terkaya di dunia. Dengan pendapatan senilai 765 juta dolar AS pada musim 2015/16 silam, nilai total United pun mencapai 3,69 miliar dolar; unggul sekitar 55 juta dolar atas Barcelona.
ADVERTISEMENT
Tetapi, ya, bukan di situ esensi sepak bola. Tidak ada perayaan khusus bagi mereka yang terkaya. Malah, status demikian justru membuat sebuah klub menjadi rentan akan kebencian dan caci maki, apalagi kalau prestasi di lapangan tidak sesuai ekspektasi.
Musim 2016/17, untuk pertama kalinya trofi Community Shield menjadi sesuatu yang dibanggakan. Alasannya, apa lagi kalau bukan keberhasilan Manchester United meraihnya pada awal musim. Trofi yang sebenarnya bukan trofi itu kemudian dirayakan United layaknya Piala Super di Spanyol atau Italia dan mereka gunakan untuk menggenapi "treble" mereka -- dua gelar yang lain adalah Piala Liga dan Liga Europa.
Secara teknis, memang benar bahwa ada tiga gelar yang diraih United musim lalu. Namun, dari tiga gelar itu, hanya Liga Europa-lah yang sebenarnya layak dirayakan (secara berlebihan). Selebihnya? Ya, cukup dengan minum sampanye di ruang ganti saja.
ADVERTISEMENT
Manchester United sebenarnya tahu itu. Mereka paham bahwa apa yang mereka raih musim lalu itu bukan treble karena mereka sendiri sudah pernah meraih treble yang sebenarnya pada 1999 silam. Klaim itu mereka keluarkan sebagai justifikasi akan mahalnya harga skuat mereka saat ini.
Ya, dengan skuat yang mewah itu, United masih juga gagal tampil mengesankan, terutama di ajang Premier League. Padahal, gelar juara liga adalah sesuatu yang mutlak mereka butuhkan kalau tidak ingin menjadi seperti Liverpool.
Salah satu sebab utama mengapa United gagal berprestasi lebih baik di Premier League adalah buruknya kualitas lini depan mereka. Memang ada nama Zlatan Ibrahimovic yang mencetak 28 gol di semua ajang. Akan tetapi, keberadaan Ibra di situ justru menjadi sebuah kontradiksi tersendiri.
ADVERTISEMENT
Di satu sisi, penampilan individual mantan kapten Tim Nasional Swedia itu luar biasa. Di usia yang sudah mencapai 35 tahun dan bermain di liga yang benar-benar baru, Ibra masih sangat tajam. Tak jarang, gol-gol darinya mempersembahkan poin krusial bagi Manchester United.
Selain itu, mental juara Ibra juga membuatnya jadi sosok pemimpin di lapangan dan ruang ganti. Para pemain muda macam Marcus Rashford pun amat terbantu dengan keberadaan serta bimbingannya. Tak heran jika Ibra pernah disebut sebagai Eric Cantona-nya Jose Mourinho.
Namun di sisi lain, keberadaan Ibra juga membuat permainan Manchester United, khususnya ketika menyerang, menjadi lambat, membosankan, dan monoton.
Sebagai seorang penyerang tengah alias pemain nomor sembilan, Ibra memang punya peran lebih. Seperti halnya di Milan dan Paris Saint-Germain, dia menjadi pusat serangan. Menahan bola, mendistribusikan bola, dan membuka ruang, semuanya dia lakukan. Dia bukan pemain nomor sembilan macam Alan Shearer atau Filippo Inzaghi yang tugasnya memang ngendon di kotak penalti.
ADVERTISEMENT
Namun justru di sini masalahnya. Permainan yang terlalu terpusat itu justru menyakiti Manchester United sendiri.
Setelah Ibra mengalami cedera pada perempat final leg kedua Liga Europa melawan Anderlecht, Mourinho pun mau tak mau membebankan pos ujung tombak kepada Marcus Rashford. Menariknya, penampilan United dengan Rashford justru menjadi lebih cair. Wajar, karena pemain satu ini memang lebih cepat dan gesit. Kelebihan itu diejawantahkan Rashford menjadi keunggulan dari segi daya jelajah dan kontribusi terhadap bangun serangan dari sisi sayap.
[Baca Juga: Siapa Tahu Ada Kejutan Lain dari Rashford ]
Ketika Rashford bermain itu, mendadak saja Manchester United-nya Alex Ferguson yang atraktif dan agresif kembali muncul. Namun tetap saja, Marcus Rashford adalah pemain muda yang belum matang dan seharusnya tidak diberi beban seberat itu. Di usianya yang baru 19 tahun itu, Rashford seharusnya masih dibimbing seraya diberi kesempatan untuk berkembang.
ADVERTISEMENT
Itulah mengapa, jelang bursa transfer musim panas 2017 ini, Manchester United kemudian dikait-kaitkan dengan beberapa nama penyerang papan atas. Selain karena buruknya penampilan United bersama Ibra, pemain kelahiran Malmoe itu juga belum pasti bakal memperpanjang kontrak. Kemudian, ada pula faktor Rashford yang masih kelewat hijau itu dan Wayne Rooney yang sudah tidak bisa diharapkan lagi.
[Baca Juga: Rooney adalah Ironi ]
Awalnya, nama yang muncul adalah Antoine Griezmann. Akan tetapi, belakangan rumor itu mengendur dan di saat yang bersamaan, klaim bahwa "Setan Merah" mencari seorang pemain nomor sembilan pun muncul. Dua nama yang diincar United adalah Alvaro Morata dan Andrea Belotti.
Dari dua nama itu, Morata jadi yang terdepan. Pasalnya, penyerang Real Madrid itu memang tak kunjung mampu mendapat tempat di tim utama Los Blancos meski jadi penyerang tengah terproduktif. Selain itu, harga Belotti yang konon bakal mencapai 100 juta euro itu dianggap kemahalan.
ADVERTISEMENT
Pertanyaan kemudian muncul. Apa bedanya Morata dengan Ibra? Apa yang bisa ditawarkan lebih oleh Morata?
Jawabannya adalah kesederhanaan. Cara bermain Morata jauh lebih simpel ketimbang Ibra. Memang benar bahwa Morata juga bisa menahan bola jika diperlukan. Selain itu, seperti yang dulu dilakukannya di Juventus, penyerang Timnas Spanyol ini juga bisa bermain agak menyamping. Pada intinya, Morata adalah Marcus Rashford yang lebih matang dan berpengalaman.
Apabila United ingin bermain dengan lebih simpel dan agresif, maka mendatangkan Morata adalah langkah yang pas. Untuk urusan membagi bola, serahkan saja kepada para gelandang. Toh, United juga sudah punya pemain-pemain seperti Juan Mata, Paul Pogba, Ander Herrera, dan Henrikh Mkhitaryan. Seharusnya, keempat pemain itu (apabila kondisinya fit) sudah cukup untuk menjadi kreator dari lini tengah.
ADVERTISEMENT
[Baca Juga: Old Trafford dalam "Sihir" Mkhitaryan ]
Lalu bagaimana dengan Marcus Rashford? Well, penyerang Timnas Inggris ini rupanya tidak keberatan apabila Morata nantinya benar-benar datang.
"Siapa pun yang datang dan bisa membantu klub meraih trofi, yang merupakan tujuan utama kami, bakal kami sambut gembira," kata Rashford seperti dilansir ESPNFC.
"Kompetisi yang bagus (antarpemain) juga penting apabila Anda ingin sukses," imbuhnya.
Ya, kedatangan Morata sendiri, alih-alih merugikan, justru dapat membantu Rashford. Selain bersaing, kedua pemain ini bisa pula dijadikan tandem seandainya Mourinho memilih untuk memainkan dua penyerang sekaligus. United tentu ingat bahwa treble yang mereka raih tahun 1999 dulu hadir berkat kontribusi tombak kembar Dwight Yorke dan Andrew Cole. Kembali populernya penggunaan dua penyerang mungkin bisa pula direplikasi oleh Jose Mourinho.
ADVERTISEMENT
Akan tetapi, jika United memang benar-benar serius mendatangkan Morata, selain harus merogoh kocek cukup dalam (sekitar 75 juta euro), pemain-pemain macam Ibra dan Rooney harus segera disingkirkan pula. Bukan apa-apa. Masalahnya, dua pemain senior itu justru bakal menjadi beban tersendiri, baik itu dari segi finansial, moral, maupun taktikal. Sebagai gantinya, pemain-pemain akademi macam Josh Harrop bisa diberi kesempatan lebih.
Untuk memulai sesuatu dari nol memang tidak mudah, apalagi jika ada nilai-nilai sentimental di dalamnya. Akan tetapi, inilah yang wajib dilakukan Manchester United kalau mereka benar-benar enggan menjadi seperti Liverpool.