Belgia, Revolusi Sepak Bola, dan Pencarian Jati Diri

3 Juli 2018 15:58 WIB
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ekspresi bahagia para pemain Timnas Belgia usai menyingkirkan Jepang di perdelapan final Piala Dunia 2018. (Foto: Reuters/Toru Hanai)
zoom-in-whitePerbesar
Ekspresi bahagia para pemain Timnas Belgia usai menyingkirkan Jepang di perdelapan final Piala Dunia 2018. (Foto: Reuters/Toru Hanai)
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Bagi Roberto Martinez, semuanya berpangkal pada karakter. Keberhasilan Tim Nasional (Timnas) Belgia menembus babak delapan besar Piala Dunia 2018, disebut pelatih asal Spanyol itu, sebagai buah dari keberhasilan anak-anak asuhnya melewati ujian karakter. Kemenangan atas Jepang dalam partai 16 besar yang dihelat di Rostov, Selasa (3/7/2018) dini hari WIB, kata Martinez, menunjukkan segala yang perlu diketahui tentang pemain-pemain Belgia yang kini diasuhnya.
ADVERTISEMENT
Di satu sisi, Martinez tidak salah. Belgia datang ke Piala Dunia 2018 sebagai salah satu unggulan. Namun, menghadapi Jepang yang bermain dengan mengandalkan umpan-umpan akurat dan pergerakan tanpa bola ciamik, Belgia sempat kedodoran. Alhasil, mereka pun harus tertinggal dua gol lebih dahulu.
Ketertinggalan dua gol itu adalah ujian karakter yang dimaksud Martinez. Sampai pada titik itu, sejarah tidak berada di pihak mereka. Jepang adalah lawan yang pernah menjungkalkan mereka sebanyak dua kali dari empat pertemuan terdahulu.
Selain itu, dalam riwayat Piala Dunia, hanya ada dua tim yang mampu memetik kemenangan usai tertinggal dua gol lebih dulu, yakni Portugal dan Jerman Barat. Sampai pada titik itu, 'Generasi Emas' Belgia berpotensi besar untuk mengikuti jejak 'Generasi Emas' Inggris yang tak pernah mendapatkan apa-apa.
ADVERTISEMENT
Namun, bola itu bulat dan pertandingan berlangsung selama sembilan puluh menit. Belum lagi jika wasit memberi tambahan waktu yang cukup banyak di masa injury time. Pada dua puluh menit terakhir pertandingan, Belgia sukses menyarangkan tiga gol di gawang Eiji Kawashima. Ketika wasit meniup peluit tanda pertandingan berakhir, Belgia keluar sebagai pemenang. Kans bagi 'Generasi Emas' mereka untuk meraih trofi pun tetap terbuka.
Mencetak tiga gol di sisa waktu dua puluh menit jelas merupakan bukti kekuatan karakter Belgia dan Martinez sama sekali tidak salah. Namun, di sisi lain, pernyataan mantan manajer Everton itu juga merupakan sebuah oversimplifikasi. Pasalnya, karakter yang ditunjukkan para pemain Belgia itu tidak datang dengan sendirinya. Ia adalah hasil dari sebuah revolusi besar-besaran yang dimulai dua dekade silam.
ADVERTISEMENT
***
Sebagai sebuah negara, Belgia adalah sebuah komunitas imajiner yang dipaksakan. Di sana, ada dua kelompok etnis besar yang sampai sekarang masih kesulitan untuk menemukan kata sepakat ihwal ke-Belgia-an (Belgitude) itu sendiri. Di sebelah utara, di wilayah Flanders, ada orang-orang Flemish yang berbicara bahasa Belanda. Sementara, orang-orang Walloons yang mendiami bagian selatan merupakan penutur bahasa Prancis.
Orang-orang Flemish dan Walloons ini punya identitas berbeda. Kesamaan di antara mereka pun praktis tidak ada. Hasilnya, Belgitude tadilah yang menjadi korban. Baik orang Flemish maupun Walloons sulit sekali mengidentifikasi diri sebagai orang Belgia. Namun, sentimen etnis ini sama sekali tidak berlaku ketika kita berbicara soal Timnas Sepak Bola Belgia.
Di Belgia, Timnas Sepak Bola adalah perwujudan dari komunitas imajiner itu tadi. Para pemain dari Flanders seperti Kevin de Bruyne, Jan Vertonghen, dan Dries Mertens, bersatu padu dengan nama-nama dari Walloons seperti Eden Hazard, Thibaut Courtois, dan Thomas Meunier untuk menegakkan panji 'Iblis Merah' di pentas dunia.
ADVERTISEMENT
Tak sampai di situ, Belgia juga merupakan rumah bagi banyak sekali imigran. Pada sensus 2012 tercatat bahwa di sana ada sekitar 2,5 juta imigran yang berasal dari berbagai negara. Separuh dari para imigran itu berasal dari negara-negara Eropa seperti Jerman dan Italia. Sementara, separuhnya lagi datang dari negara-negara non-Eropa macam Maroko, Kongo, serta Mali. Pada akhirnya, para imigran ini juga berhasil menembus Tim Nasional dan menjadi pemain kunci.
Dulu, pada era 1980-an dan 1990-an, Belgia punya Enzo Scifo yang merupakan imigran asal Italia. Kini, mereka memiliki lebih banyak lagi pemain-pemain dengan latar belakang imigran. Dua penentu kemenangan Belgia atas Jepang, Marouane Fellaini dan Nacer Chadli, misalnya, adalah dua putra imigran Maroko. Selain itu, masih ada pula nama-nama seperti Mousa Dembele (Mali), Axel Witsel (Karibia), serta Vincent Kompany dan Romelu Lukaku (Kongo).
ADVERTISEMENT
Perayaan gol Marouane Fellaini. (Foto: Reuters/Sergio Perez)
zoom-in-whitePerbesar
Perayaan gol Marouane Fellaini. (Foto: Reuters/Sergio Perez)
Inilah Timnas Belgia. Dalam satu bendera yang sama, para pemain itu melebur dalam satu identitas. Bagi orang-orang Flemish dan Walloons, keberadaan Timnas Belgia ini adalah sebuah wujud kompromi. Sementara, bagi para imigran, menjadi penghuni Timnas adalah sebuah penegasan bagi Belgitude mereka. Lewat seragam merah-merah itu, Fellaini, Kompany, Chadli, Lukaku, dan Dembele menjadi orang Belgia sejati.
Namun, dari situ ada sebuah sisi negatif pula. Sebagai melting pot dari segala hal yang membuat Belgia (sulit untuk) menjadi Belgia, tim ini adalah tempat harapan dan tekanan diletakkan.
Jika mampu berprestasi, maka identitas ke-Belgia-an itu akan bisa menemukan tempat untuk berlindung. Sebaliknya, ketika tim sedang mengalami masa-masa sulit, para pemain akan menjadi sasaran tembak. Contohnya terjadi pada 2007 ketika seorang politisi Flemish meminta Timnas Belgia dibubarkan dan digantikan dengan Timnas Flanders dan Walloons.
ADVERTISEMENT
Di Timnas Belgia, ide tentang komunitas imajiner itu terbangun. Meski demikian, ia dibangun dengan rajutan benang yang amat tipis lagi rapuh. Satu-satunya yang bisa membuat ide tersebut tetap langgeng adalah dengan meraih kejayaan.
***
Nama orang itu Michel Sablon. Malam itu, di tepi lapangan Stadio Renato dall'Ara, dia menggenggam secarik kertas. Dalam kertas tersebut, dia menuliskan sejumlah nama yang dipersiapkan untuk menjadi eksekutor di babak tos-tosan.
Di hadapan Sablon, Belgia dan Inggris sedang bertarung di babak perdelapan final Piala Dunia 1990. Waktu sudah berjalan hampir 120 menit ketika Paul Gascoigne yang sedang melakukan solo run dilanggar oleh seorang pemain tengah Belgia. Wasit meniup peluitnya dan memberikan hadiah tendangan bebas untuk Inggris.
ADVERTISEMENT
Gascoigne yang parasnya sudah memerah itu mengambil sendiri tendangan bebas tersebut. Dua belas pemain -- enam berkostum merah dan enam berseragam putih -- berkumpul di kotak penalti, di depan gawang Michel Preud'homme. Gascoigne tahu bahwa dengan jarak yang cukup jauh, menendang langsung ke gawang Preud'homme adalah sebuah kesia-siaan. Oleh karenannya, Gazza -- panggilan akrab Gascoigne -- memilih untuk mencungkil bola.
Bola kiriman Gascoigne itu tidak cepat, tetapi tinggi. Ini membuat para pemain yang ada di kotak penalti bisa memiliki kesempatan lebih untuk meresponsnya. Para pemain Belgia yang berkostum merah berusaha untuk mencegah para pemain Inggris mendekat. Akan tetapi, David Platt saat itu sedang licin-licinnya.
Platt membelakangi gawang untuk mengukur dengan tepat ke mana kira-kira bola akan mendarat. Dua, tiga langkah diambilnya untuk meloloskan diri dari kawalan bek lawan. Akhirnya, Platt pun mendapat momentum. Bola mendarat persis di kakinya dan dengan sekali sepak, bola mendarat telak di gawang Preud'homme.
ADVERTISEMENT
Gol Platt itu menjadi penentu. Belgia sudah kehabisan waktu dan akhirnya mereka tersingkir. Armada pimpinan Guy Thys itu karam. Prestasi empat tahun sebelumnya, di mana mereka berhasil menjadi semifinalis, sudah dipastikan gagal mereka ulangi. Sablon yang ketika itu menjadi asisten Thys, kepada Stuart James dari The Guardian, berkisah bahwa dia langsung membuang kertas coret-coretannya tadi.
Tersingkirnya Belgia di perdelapan final Piala Dunia 1990 itu adalah sebuah pertanda bahwa 'Generasi Emas' pertama mereka sudah habis. Bermula pada 1982, Belgia menjadi salah satu kuda hitam di percaturan sepak bola Eropa dan dunia. Di 1982 itu, salah satu capaian terhebat mereka adalah mengalahkan juara bertahan Piala Dunia, Argentina. Kemudian, prestasi itu mereka tingkatkan pada edisi 1986.
ADVERTISEMENT
Sejak tersingkir pada 1990, prestasi Belgia menurun. Mereka memang masih selalu lolos ke semua Piala Dunia sampai dengan 2002. Akan tetapi, mereka sama sekali tidak pernah tampil mengesankan. Di edisi 1998 dan 2002, mereka terhenti di fase grup. Kemudian, pada Euro 2000, ketika mereka jadi tuan rumah bersama Belanda, hal yang sama menimpa Belgia. Sablon pun tidak mau lagi tinggal diam.
Kegelisahan Sablon itu sudah dimulai pada 1998. Ketika Belgia tersingkir, dia langsung berusaha untuk menyusun program berskala nasional yang bisa meningkatkan kualitas persepakbolaan negaranya. Akan tetapi, semua upaya itu baru benar-benar bisa mulai diwujudkan pada 2001, ketika dia ditunjuk menjadi direktur teknik Asosiasi Sepak Bola Kerajaan Belgia (KBVB).
ADVERTISEMENT
Bagi Sablon, Belgia perlu meredefinisikan identitas sepak bola mereka. Sampai pada akhir 1990-an, hampir semua tim di Belgia menggunakan cara yang sama. Dengan formasi 4-4-2 yang dilengkapi seorang libero, tim-tim itu menggunakan penjagaan orang per orang, dan mengandalkan serangan balik. Itulah yang membuat Belgia terpuruk dalam keterbatasan dan itulah yang ingin dienyahkan oleh Sablon.
Dalam ide besarnya, Sablon ingin agar Belgia mengadopsi dua ide persepakbolaan dari Prancis dan Belanda. Kecepatan, kekuatan, dan efisiensi ala Prancis ingin dia padukan dengan kehebatan teknik khas Belanda. Hal itu dia rangkum dalam sebuah kurikulum yang salah satu isi utamanya adalah mewajibkan semua tim junior bermain dengan pola 4-3-3.
Sablon ketika itu dibantu oleh seseorang bernama Bob Broaways. Dengan menggunakan uang hasil penyelenggaraan Euro 2000, sepak bola Belgia direvolusi dari akar rumput. Tujuan akhir dari revolusi sepak bola Belgia itu, kata Broaways, sangat-sangat utopis. Kepada Grantland, Broaways berkata, "Kami ingin menguasai bola sampai 100 persen."
ADVERTISEMENT
Penggunaan formasi 4-3-3 itu mengadopsi cara yang digunakan oleh Belanda. Dalam 'teologi Cruyff-ian', pakem dasar tersebut memang disebut sebagai yang paling mudah untuk memainkan sepak bola berbasis penguasaan bola. Lewat sini, Belgia ingin mengubah citranya dari pelaku sepak bola reaktif menjadi jagoan sepak bola proaktif.
Ide besar Sablon ini tidak bisa langsung diterima. Penyebab utamanya adalah karena perubahan radikal ini tidak bisa membawa hasil secara instan. Namun, Sablon berkeras. Baginya, pengembangan pemain muda bukanlah soal mencari kemenangan, melainkan untuk mengembangkan pemain itu sendiri.
Hazard saat berhadapan dengan Portugal. (Foto: REUTERS/Eric Vidal)
zoom-in-whitePerbesar
Hazard saat berhadapan dengan Portugal. (Foto: REUTERS/Eric Vidal)
Untuk menjelaskan itu, awalnya Sablon harus turun ke lapangan. Dia mempresentasikan ide ini kepada para pelatih dan direktur akademi, juga kepada orang tua para pemain muda tadi. Dia bahkan tak segan untuk memimpin sendiri latihan di berbagai akademi.
ADVERTISEMENT
Upaya Sablon tak berhenti sampai di situ. Untuk lebih meyakinkan orang-orang yang meragukannya -- teutama para petinggi KBVB -- dia menggandeng dua instansi akademik dari Universitas Brussel dan Universitas Louvain. Dari Universitas Brussel itu ada sebuah lembaga bernama Double PASS yang ditugasi untuk mengaudit jalannya pengembangan pemain muda dari segi manajemen.
Kemudian, dari segi teknis, Universitas Louvain yang punya peran. Di universitas itu, ada sesosok profesor bernama Werner Helsen yang kebetulan juga mantan pelatih sepak bola di Divisi Dua Belgia. Dipimpin oleh Helsen, riset Universitas Louvain itu akhirnya mendapat beberapa kesimpulan yang salah duanya adalah soal mentalitas bermain dan bagaimana cara memperbaiki mentalitas itu tadi.
Soal mentalitas bermain, Helsen menemukan bahwa para pemain muda Belgia masih sangat terpengaruh dengan pragmatisme yang menjadi identitas generasi sebelumnya. Dalam sepak bola, pragmatisme biasanya lahir dari inferioritas teknikal dan untuk memperbaiki hal ini, Helsen (bersama Sablon) menemukan bahwa cara terbaik untuk meningkatkan kemampuan teknikal adalah dengan memainkan sepak bola yang sesuai umur.
ADVERTISEMENT
Dulu, sepak bola di Belgia selalu dimainkan dengan sebelas melawan sebelas, apa pun kelompok umurnya. Cara ini dianggap menjadi penghambat karena dengan demikian, anak-anak jadi tidak terbiasa menguasai bola.
Oleh karenannya, dalam kurikulum baru milik Sablon itu, semakin muda usia anak yang dilatih, semakin sering pula si anak harus menyentuh bola. Ini diwujudkan dengan permainan 2 vs 2 untuk anak usia tujuh tahun ke bawah, 5 vs 5 untuk anak usia delapan dan sembilan tahun, serta 8 vs 8 untuk anak usia sepuluh dan sebelas tahun.
Kevin de Bruyne pada pertandingan menghadapi Panama. (Foto: Reuters/Hannah McKay)
zoom-in-whitePerbesar
Kevin de Bruyne pada pertandingan menghadapi Panama. (Foto: Reuters/Hannah McKay)
Baru setelah itu anak-anak diperkenalkan pada sepak bola lapangan besar. Di usia 12 tahun ke atas itu pula umpan panjang baru diperkenalkan.
ADVERTISEMENT
Untuk mengajarkan kurikulumnya tadi, Sablon pun akhirnya mengajak pemerintah bekerja sama untuk mendirikan pusat latihan nasional, seperti halnya Clairefontaine di Prancis. Namun, tak seperti Clairefontaine yang terpusat di satu titik, Belgia membangun delapan pusat latihan sekaligus.
Nantinya, anak-anak terpilih akan dilatih di sini untuk memperbesar kans mereka jadi pesepak bola berkualitas. Di Piala Dunia 2018 ini, ada sejumlah alumni pusat latihan tersebut, yakni Courtois, De Bruyne, Dembele, Witsel, serta Chadli.
Usaha tidak berhenti sampai di sini. Sablon tahu bahwa pusat latihan nasional saja tidak cukup karena tidak semua pemain bisa menunjukkan bakat besar di usia muda. Oleh karenanya, sistem rekrutmen ini diperluas dengan mengajak klub-klub untuk menggandeng sekolah setempat. Salah satu contohnya adalah program 'Purple Talent' milik Anderlecht yang menghasilkan Lukaku.
ADVERTISEMENT
Dalam program 'Purple Talent' itu, Anderlecht menjalankan misi yang sama dengan Sablon. Di sini, salah satu cara yang paling terkenal untuk mengembangkan teknik dan kemampuan berpikir para pemain adalah dengan melarang para pemain melakukan tekel. Ini adalah sebuah cara untuk membuat para pemain muda tadi tidak terbiasa mengambil solusi gampang atas masalah-masalah mereka.
***
Jika di Inggris kapitalisme adalah kawan baik sepak bola, lain halnya dengan Belgia. Di negara berpenduduk 11 juta jiwa itu, industri sepak bola sangatlah jauh dari kata maju. Hanya ada 34 klub profesional di negara tersebut dan semua klub itu bermain di dua divisi. Tidak menterengnya kompetisi di Belgia itu membuat mereka yang berduit pun enggan berinvestasi di sana.
ADVERTISEMENT
Lukaku topskorer Belgia. (Foto: Reuters/Grigory Dukor)
zoom-in-whitePerbesar
Lukaku topskorer Belgia. (Foto: Reuters/Grigory Dukor)
Posisi sepak bola Belgia pun terjepit. Jika dibandingkan dengan klub-klub besar Eropa, kekuatan finansial mereka praktis tidak ada. Oleh karenanya, satu-satunya solusi bagi mereka adalah dengan mengembangkan pemain sendiri dan menjualnya di kemudian hari.
Ini adalah praktik yang sampai saat ini masih mereka lakukan. Terkadang, klub-klub di Belgia bisa saja kehilangan pemain di usia belasan, seperti ketika Anderlecht kehilangan Adnan Januzaj ke Manchester United. Klub-klub Belgia ini sebenarnya sudah mengingatkan kepada para pemain muda agar bertahan sampai setidaknya berusia 18 tahun, tetapi seringkali para orang tualah yang tak sanggup menahan godaan klub-klub raksasa.
Ini adalah masalah klasik klub-klub di sana dan oleh sebab itu, mereka pun harus terus-menerus memproduksi pemain. Di satu sisi, terkadang kompensasi yang didapat dari hasil menjual pemain 'hijau' itu tidak seberapa dan membuat mereka terus tertekan secara finansial. Di sisi lain, ini adalah sebuah garis keperakan bagi persepakbolaan Belgia. Dengan realitas pahit itu, setidaknya jumlah pemain berkualitas tidak pernah menurun.
ADVERTISEMENT
Tingginya kualitas para pemain Belgia itu bisa dilihat dari klub-klub apa saja yang dibela para anggota Timnas saat ini. Dari 23 pemain yang ada, 19 di antaranya bermain di klub-klub dari lima liga top Eropa. Jika mau dirinci lagi, dari 19 nama itu, sebelas di antaranya merupakan pemain Premier League.
Kendati statusnya sebagai liga terbaik dunia masih bisa didebat dengan mudah, popularitas Premier League harus diakui memang tidak bisa diragukan lagi. Di sana, sepak bola dipentaskan di panggung yang megah dengan tekanan begitu hebat dari para pengamat, jurnalis, maupun suporter. Sisi inilah yang akhirnya mendewasakan dan mematangkan para pemain Belgia yang ada.
Selain dari Premier League, pemain-pemain Belgia lainnya juga datang dari Serie A, Bundesliga, La Liga, serta Ligue 1. Namun, Premier League tetap jadi yang terdepan untuk urusan menyumbangkan pemain kunci bagi Timnas Belgia.
ADVERTISEMENT
Selebrasi Nacer Chadli usai membobol gawang Jepang. (Foto: Reuters/Toru Hanai)
zoom-in-whitePerbesar
Selebrasi Nacer Chadli usai membobol gawang Jepang. (Foto: Reuters/Toru Hanai)
Buktinya, di sebelas awal Belgia pada laga menghadapi Jepang, tujuh di antaranya merupakan pemain Premier League. Sementara, dua lainnya bermain di Liga Super China, satu pemain berlaga di Ligue 1, dan satu pemain bermain di Serie A. Ini belum termasuk bagaimana dua pemain yang jadi penentu kemenangan mereka juga merupakan pemain Premier League.
***
Meroketnya Belgia ke puncak persepakbolaan dunia jelas bukan hasil mimpi semalam. Di baliknya, ada sebuah ide yang jelas, kerja yang keras, dan ekesekusi yang apik. Hasilnya pun tidak mengkhianati proses. Perlahan tapi pasti, status kuda hitam dan semenjana berhasil mereka lepas. Kini, Belgia adalah salah satu dari negara yang punya timnas terbaik.
Lewat sepak bola, orang-orang Belgia mencoba untuk menemukan jati diri dan kini jati diri sebagai negara sepak bola yang besar itu sedang terus dibentuk oleh para penggawa Timnas di lapangan. Jalan Belgia jelas masih sangat panjang. Meskipun di Piala Dunia 2018 ini mereka punya kans besar, masih ada negara-negara macam Brasil, Prancis, atau Inggris yang harus mereka kangkangi.
ADVERTISEMENT
Jika melihat banyaknya pemain bintang di Timnas Belgia saat ini, kegagalan menjadi juara di Piala Dunia 2018 memang bisa disebut sebagai kegagalan. Namun, dalam konteks yang lebih besar, pada akhirnya semua hanyalah bagian dari proses. Meskipun sudah memiliki Timnas sejak 1904, Belgia baru benar-benar punya identitas seratus tahun kemudian.
Dengan kata lain, usia persepakbolaan Belgia sejatinya masih sangat muda. Berhasil atau tidaknya mereka, untuk saat ini, semestinya tidak diukur dengan gelar, melainkan dengan apakah mereka bisa mempertahankan kontinyuitasnya dalam memproduksi pemain berkualitas.