Bersenang-senang Bersama Sepak Bola Barrowcelona

14 Februari 2020 17:15 WIB
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Selebrasi gol pemain Barrow AFC. Foto: Instagram/@barrowafc
zoom-in-whitePerbesar
Selebrasi gol pemain Barrow AFC. Foto: Instagram/@barrowafc
Ada masanya sepak bola tak lebih dari sekadar permainan masa kanak. Ada kalanya sepak bola tentang menunggu hujan datang, tertawa-tawa riang sambil berseluncur menendang bola di atas tanah berlumpur dan penuh genangan air.
Sepak bola zaman itu tidak tersentuh hitung-hitungan statistik. Tidak ada Opta atau WhoScored. Peduli setan dengan omongan para pundit.
Sepak bola bukan untuk dicacah menjadi detail-detail rumit yang membikin kepala pening. Sepak bola ada buat dimainkan.
Sepak bola seperti ini lindap. Ia kabur tanpa derap. Langkahnya berjingkat-jingkat tanpa menarik perhatian. Bertahun-tahun setelahnya kita tersadar bahwa sepak bola seperti ini tak ada lagi. Ia menghilang, berkawan karib entah dengan siapa.
Jika kalian kehilangan sepak bola seperti ini, lalu diam-diam merengek minta kembali ke masa lalu, tetapi tahu itu tak mungkin, bagaimana kalau rehat sejenak?
Kami mau bercerita tentang sepak bola yang bertahan hidup dalam bentuknya yang sederhana walau tumbuh dewasa. Jauh di sana, di Kota Barrow-in-Furness. Namanya Barrow AFC.
Selebrasi gol pemain Barrow AFC. Foto: Instagram/@barrowafc
Ketika Stuart James untuk The Athletic berkunjung ke Holker Street, markas Barrow, tidak ada Pep Guardiola di sana.
Di dinding kantor mereka tidak ada foto Guardiola yang tersenyum lebar membentangkan jersi Barrow. Tidak pernah ada manuskrip yang merekam jejak Guardiola di lapangan rumput Holker Street.
Guardiola tidak perlu ada di sana untuk membuat mereka dekat dengan sepak bola sang genius. Orang-orang Barrow hanya perlu melihat tim mereka berlaga, turun arena sambil memanggul kepastian bahwa kemenangan bisa diraih dengan cara yang menyenangkan, dengan sepakan-sepakan indah.
Ian Evatt, manajer Barrow yang katanya pernah membela Derby County, QPR, Blackpool, dan Chesterfield, bercerita bahwa tim asuhannya bermain seperti Barcelona. Katanya, rangkaian umpan pendek acap membidani kelahiran gol Barrow.
“Kami pernah mencetak gol lewat 24 umpan! Penguasaan bola. Possession. Orang-orang bahkan menyebut kami Barrowcelona.”
Barrowcelona, Barcelona Kota Barrow. Aih.
Pemain Barrow AFC saat melakukan latihan. Foto: Instagram/@barrowafc
Barrow tidak berlaga di kasta tinggi sepak bola Inggris. Pada musim 2019/20, mereka berkompetisi di National League. Bila didedah, National League merupakan tier kelima kompetisi sepak bola Inggris.
Namun, bukan berarti mereka melembek. Sejak Oktober 2019 sampai 4 Februari 2020, Barrow tidak pernah kalah.
Sampai pekan ke-33 tuntas, Barrow menjadi pemuncak klasemen berbekal 63 poin. Mereka unggul empat poin atas runner up sementara, Harrogate Town. Jangan salah sangka menyebut musim sudah selesai.
Kompetisi ini diikuti oleh 24 tim. Itu berarti, mereka harus bertanding 13 kali lagi. Jika menutup musim sebagai juara, mereka akan naik kelas ke League Two.
Sepak bola penuh dengan semoga: Semoga gol ajaib tercipta, semoga tim semenjana mengangkat trofi, semoga pesakitan mengalahkan kampiun, semoga lapangan hijau memberi tempat bagi kenyataan serupa dongeng.
Barrow di ambang cerita itu. Sudah hampir 50 tahun mereka tidak berlaga di kompetisi liga, bahkan yang terendah sekalipun.
Barrow menghidupkan kembali harapan itu dengan serangan-serangan mereka yang berpola. Salah satunya diawali dengan penjaga gawang mereka, Joel Dixon, yang menerima bola di paruh kotak penalti.
Ia berlari menggiring bola sejauh 40 meter, melewati dua dari tiga bek lawan. Dixon menggiring bola seperti berjingkat. Nakal, cerdik, penuh tipu, tetapi membuat lawan terpesona dan membangunkan kawan.
Pemain sayap kiri Barrow berlari di belakang gelandang bertahan, mengecoh penggawa yang umumnya berpostur serupa algojo. Kakinya kosong, tak ada bola di sana. Namun, liuknya menyihir, menyedot semua perhatian para pemain bertahan serupa peniup seruling dari Hamelin.
Dalam sepersekian detik, para pemain lawan sadar bahwa Dixon sudah bersiap menuju pos di depan gawang. Bola menghilang dari kedua kakinya.
Empat sampai lima kawan gelandang Barrow mengumpan sambil membentuk pola seperti bujur sangkar. Bujur sangkar ajaib, bujur sangkar yang memberikan jalan bagi penyerang mereka, Dior Angus, untuk merangsek ke kotak pertahanan lawan dan melepaskan tembakan mengarah gawang.
“Setiap kali kiper memegang bola, para pemain langsung siaga. Itu adalah pertanda bahwa serangan akan segera dimulai,” jelas Evatt.
Sepak bola berlaku kejam pada penjaga gawang. Ia ditempatkan di ujung lapangan, berjauh-jauhan dari gawang lawan yang sering menjadi tempat berpesta pora. Di depan penjaga gawang berdiri berlapis-lapis pemain. Mereka di depan sana saling membantu.
Namun, kesalahan yang dibiarkan akan menarik pemain lawan berlari mendekati garis gawang. Apes, penjaga gawang yang membayar kesalahan itu.
Kata Eduardo Galleano, satu-satunya yang bisa dilakukan seorang penjaga gawang untuk menghibur diri adalah memakai kostum warna-warni. Saat kawannya menjadi pahlawan, penjaga gawang menjadi badut. Silakan bertanya pada Gianluigi Buffon.
Penjaga gawang di Barrow tidak seperti itu. Dixon dan penjaga gawang lainnya tidak berjarak dari gol dan kemenangan. Kemenangan malah sering diawali dengan gocekan siapa-siapa yang bersiaga di depan gawang.
Sepak bola ala Barrow adalah sepak bola yang membikin orang-orang di dalamnya bergembira. Mereka boleh bicara panjang-lebar tentang berapa banyak umpan, sesering apa merebut kembali penguasaan bola yang hilang, atau seberapa unggul penguasaan bola yang dimenangi. Catatannya tetap satu: Hitung-hitungan statistik tak lebih penting ketimbang kesenangan para pemain.
John Rooney, adik Wayne Rooney, tercatat sebagai salah satu pemain Barrow. Ia berlaga sebagai gelandang, berperan sebagai personel poros ganda. Rooney sudah 15 kali menjebol gawang lawan sepanjang musim 2019/20.
“Kami semua merasa nyaman karena saling percaya kemampuan rekan setim. Manajemen mendatangkan pemain yang bisa ‘memperlakukan’ bola dengan baik. Mulai dari cara kami mengalirkan bola, latihan, sampai mengalahkan lawan adalah anak kandung dari sepak bola ala Barrow. Sepak bola di sini menyenangkan,” jelas Rooney kepada Stuart untuk The Athletic.
Sepak bola ala Barrow adalah upaya mencipta kembali. Rooney yang ini tidak seperti abangnya yang bermain untuk Manchester United. Rooney yang ini adalah Rooney pindah dari satu klub antah-berantah ke klub antah-berantah lainnya. Ia memang pernah menjejak ke New York Bulls dan Orlando City, tetapi kurunnya tidak lama.
Selama satu dekade sepak bola berubah rupa menjadi ketidakpastian demi ketidakpastian. Hari ini didepak, besok berlabuh, lusa angkat kaki. Begitu terus. Namun, Barrow mengembalikan tahun-tahun yang hilang, mengembalikan kesenangan yang dirampas perjalanan panjang tanpa akhir.
***
“Kami harus berani. Setiap lawan menekan, kami mesti berani. Kami harus menggunakan Roons [sapaan akrab Rooney], Lewis [Hardcastle] atau siapa saja yang ada sebagai pivot. Bahkan kalau bek lawan berhasil merebut bola, fuck, dua penyerang kami akan berduel,” jelas Evatt.
Jika Barcelona menggunakan tiki-taka untuk mendobrak kemapanan persepakbolaan, Barrowcelona menggunakan kebebasan mereka untuk mencari jalan masuk ke hierarki kompetisi sepak bola Inggris.
Evatt adalah pelatih yang membiarkan para pemainnya bermain dengan kebebasan. Bebas, bukan liar. Itulah sebabnya Barrow selalu memiliki pola.
"Saya selalu bicara seperti ini kepada anak-anak: Lakukan apa yang kamu kuasai. Itu sudah cukup untuk mengalahkan setiap tim di kompetisi ini. Kan kami tim terbaik di sini. Setiap pemain di sini harus memenangi laga satu lawan satu mereka [secara mental]," jelas Evatt.
Selebrasi gol pemain Barrow AFC. Foto: Instagram/@barrowafc
Evatt adalah pelatih yang akan bertepuk tangan kencang jika timnya menutup babak pertama dengan skor 0-0. Namun, ada syarat tambahannya.
Tepuk tangan itu diberi jika laga digelar dalam cuaca yang sangat berangin. Menurut Evatt, kondisi yang sangat berangin sering mempersulit tim untuk berlaga.
Dalam kondisi seperti ini ia bakal bicara kepada pasukannya: Sixty minutes is the magic number. Enam puluh menit adalah angka ajaib. Jika pemainnya bermain lebih sabar, lawan akan kelelahan dan itulah kesempatan untuk menyerang balik, lalu mengeklaim kemenangan.
"Sepak bola Barrow tidak seperti sepak bola yang biasa kita lihat. Jika besok-besok kalian bicara dengan fans kami yang usianya lebih tua, mereka akan bicara dengan emosional, terutama soal peluang kami untuk lolos ke liga."
"Ada, lho, orang-orang yang datang ke sini cuma untuk bercakap-cakap bakal semenyenangkan apa rasanya jika kami betul-betul promosi. Semua orang di sini dying untuk menyaksikan Barrow berlaga lagi di kompetisi liga."
Oh, itu bukan omongan Evatt. Itu adalah omongan Ryan Sutherland. Pria ini sudah menjadi suporter Barrow selama 20 tahun.
Ia melakukan apa pun bagi Barrow, mulai dari bekerja di toko merchandise, menjual tiket, sampai mengurus akun Twitter Barrow. Ia bahkan menjadi salah satu dari dua orang staf opersional Barrow yang bekerja penuh waktu.
Orang-orang seperti Sutherland dan sekitar 2.000 suporter lainnya yang membikin Evatt memutar otak untuk membentuk dan merawat tim. Barrow bukan klub kaya-raya. Rerata gaji para pemainnya per minggu hanya berkisar 750 poundsterling.
Ada berbagai situasi tak ideal yang mesti disiasati Evatt agar tim tak rugi dan suporter tak sedih. Salah satu contohnya adalah tempat latihan.
Jangan bayangkan Barrow berlatih di kompleks latihan di stadion mereka. Evatt menjelaskan bahwa mereka harus melakoni latihan mingguan di Kota Manchester. Seseorang membutuhkan waktu sekitar dua jam untuk mencapai Manchester dari Barrow-in-Furness dengan menggunakan mobil.
Keputusan itu diambil agar para pemain tidak menghabiskan berjama-jam di jalan hanya untuk latihan. Kata Evatt, lebih efektif dan efisien jika mereka berkumpul di Manchester karena sebagian besar pemain tidak tinggal di Barrow.
Pun demikian di hari pertandingan. Mereka akan menginap semalam di salah satu hotel di Manchester yang menjadi sponsor tim. Kondisi ini juga berlaku jika Barrow melakoni laga kandang.
Pada Jumat malam usai latihan, mereka biasa mengadakan acara bersama para suporter. Tujuannya sederhana agar suporter dan tim bisa selalu dekat.
Kedekatan itu bahkan dibuktikan dengan cara yang konyol. Pada pekan lalu, pemain Barrow mesti away day ke Kota Dover. Dalam perjalanan pulang, bus mereka rusak. Suporter yang datang ke Dover langsung turun tangan. Para pemain kembali dengan menumpang mobil para suporter.
Barrow-in-Furness terletak di barat laut Inggris. Kota ini terletak di area industri di Cumbria. Barrow-in-Furness seperti terisolasi dari mana pun. Ia ibarat kuldesak terpanjang di Tanah Britania.
Hasil survei Badan Statistik Inggris pada 2014 bahkan menyimpulkan Barrow-in-Furness sebagai tempat paling tidak bahagia di Inggris.
Galangan kapal selam Barrow-in-Furness di Inggris Foto: Reuters/Phil Noble
Evatt datang di tengah ketidakbahagiaan itu, sekitar Juni 2018. Muram Barrow-in-Furness tambah dalam karena klub mereka finis di peringkat 20 pada musim 2017/18 alias cuma satu setrip di atas zona degradasi.
Evatt bukannya datang dengan modal selangit. Ia tiba sebagai mantan caretaker Chesterfield yang hanya menangani tiga pertandingan. Pengalaman kurang, pemain pun tak ada. Lengkap sudah.
"Coba kalian pikir sendiri. Di latihan perdana, kami bahkan tidak bisa melepas tiga atau empat umpan pendek. Gila. Namun, enam pekan kemudian, kami mencetak gol lewat 24 atau 25 umpan," jelas Evatt.
"Suporter Barrow dapat bertahan selama bertahun-tahun. Saya datang ke sini saat pemain di tim tinggal empat orang. Oke, kami harus merekrut pemain. Menyerang, ekspansi, berani. Itu filosofi sepak bola saya," tutur Evatt kepada The Athletic.
*** Sepak bola yang menyenangkan tidak meninggalkan orang-orang Barrow. Ia ada di sana, hidup, dan beranak cucu. Sepak bola menyaring udara pekat kota terpencil dan menjadi kawan sederhana yang tak pernah berkhianat.