Buffon: Saya Masih Penting untuk Juventus

28 Oktober 2019 23:01 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Yang Mulia Gianluigi Buffon. Foto: Isabella BONOTTO / AFP
zoom-in-whitePerbesar
Yang Mulia Gianluigi Buffon. Foto: Isabella BONOTTO / AFP
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Gianluigi Buffon adalah anomali masa tua. Ketimbang menganggap masa tua sebagai jarak yang semakin dekat dengan ketidakberdayaan dan liang lahat, Buffon memilih untuk menerimanya dengan cara terhormat. Ia turun arena, bersiaga di depan gawang, bersorak di bangku cadangan bersama kawan-kawannya.
ADVERTISEMENT
Untuk menyadari selama apa karier Buffon, kita bisa membandingkannya dengan Antonio Conte. Buffon dan Conte pernah menjadi rekan setim di Juventus pada 2001 hingga 2004. Conte pensiun setelahnya dan mulai membangun karier sebagai pelatih.
Pada 2011, Conte menginjakkan kaki ke Juventus, Buffon masih bersiaga di depan gawang. Pada 2016, Conte menerima pinangan Timnas Italia, Buffon masih bersetia menjaga gawang. Pada 2019, Conte kembali ke Italia dan melatih Inter Milan, Buffon berstatus sebagai kiper Juventus.
Usia Buffon yang mencapai 41 tahun tidak ideal lagi untuk menjadi penjaga gawang utama. Ini bukan bicara soal fisik yang tidak lagi prima. Buffon mungkin jauh lebih bugar daripada sebagian kita yang baru menjejak usia 30-an.
ADVERTISEMENT
Kiper Juventus, Gianluigi Buffon. Foto: Marco BERTORELLO / AFP
Juventus dan tim sehat lainnya butuh regenerasi. Itulah sebabnya mereka perlu memberikan ruang dan waktu seluas-luasnya untuk pemain yang lebih muda.
Buffon butuh tetap ada di tim. Namun, kini fungsinya lebih sebagai contoh atau bukti hidup yang menegaskan: Begini, lho, yang namanya habis-habisan membela Juventus.
Berangkat dari situ, jam terbang Buffon sejak kembali ke Juventus pada bursa transfer musim panas 2019 tidak sebanyak yang sudah-sudah. Berkurang banyak malah.
Buffon cuma berlaga tiga kali dalam sembilan pertandingan awal Serie A 2019/20. Itu pun melawan tim-tim yang di atas kertas tidak berpotensi membuat Juventus babak-belur: Hellas Verona, SPAL, dan Bologna.
Kondisi itu tentu bertolak belakang dengan yang dialaminya sebelum memutuskan untuk hengkang ke Paris Saint-Germain (PSG) pada 2018/19.
ADVERTISEMENT
"Sekarang ini kondisi fisik dan psike saya membuat saya percaya bahwa saya masih penting bagi Juve. Saya memang belum berpikir jauh soal masa depan dan melakukan psikoanalisis untuk mengevaluasi performa sendiri," jelas Buffon, dilansir Football Italia.
Buffon menyelamatkan penalti di laga ICC 2019 melawan Inter Milan. Foto: HECTOR RETAMAL / AFP
Ngomong-ngomong soal keputusan pindah ke PSG itu, yaaah... lumayan jauh dari perkiraan. Masalahnya, Buffon sudah terlanjur dicap sebagai pemain yang Juventus banget. Buffon terlanjur dipandang sebagai pemain yang lebih memilih pensiun daripada pindah ke klub lain meski awalnya ia bermain untuk Parma.
Sepak bola memang kerap bicara soal romantisme. Namun, pesepak bola tidak bisa hidup dari romantisme belaka. Ada banyak faktor yang menjadi pertimbangan, mulai dari yang terkesan realistis hingga nekat. Pokoknya campur aduk.
ADVERTISEMENT
"Saya tidak bisa menolak tawaran PSG waktu itu karena tawaran ekonomi yang mereka berikan. Jika ada klub besar yang menawarkan kerja sama denganmu saat kamu berusia 40 tahun, percayalah itu bakal membuatmu merasa tersanjung," jelas Buffon.
"Saya menginginkan pengalaman baru dan melangkah dari zona nyaman. Namun suatu malam, ketika saya sedang memikirkan bakal kembali ke Juve atau tidak, saya bertanya pada diri sendiri: Di usia 41 tahun, ngapain saya sendirian di Paris, sementara seluruh keluarga saya ada di Italia?" tambahnya.
Ya, begitulah Buffon. Barangkali ada banyak orang yang percaya bahwa tidak sulit untuk memuji dan mengaguminya. Yang sulit adalah hidup seperti Buffon.
Di satu sisi, hidup yang demikian adalah hidup yang terus mengupayakan kemenangan. Di sisi lain, hidup seperti Buffon mungkin adalah hidup yang menerima ketidakidealan sebagai kawan.
ADVERTISEMENT