news-card-video
Jakarta
imsak
subuh
terbit
dzuhur
ashar
maghrib
isya

Dia yang Bersinar Paling Terang, Alex Morgan

3 Juli 2019 18:49 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Alex Morgan di laga semifinal vs Inggris. Foto: Reuters/Benoit Tissier
zoom-in-whitePerbesar
Alex Morgan di laga semifinal vs Inggris. Foto: Reuters/Benoit Tissier
ADVERTISEMENT
Alex Morgan berlari kecil. Tidak ada gegas dalam langkah-langkah pendeknya. Namun, semua langkah itu dia ambil dengan pasti. Dia tahu persis ke mana dia menuju dan apa yang akan dilakukannya setelah sampai di tujuan. Hanya beberapa jengkal dari kotak penalti Inggris, Morgan kemudian melakukan apa yang membuatnya jadi sasaran kecaman.
ADVERTISEMENT
Beberapa detik sebelumnya, gawang Carly Telford koyak untuk kali kedua. Ini memang bukan harinya Telford. Dia dimainkan sebagai pengganti Karen Bardsley yang mengalami cedera dan ini adalah pertandingan Piala Dunia pertama wanita 31 tahun itu. Akan tetapi, di hari yang bersejarah dalam hidupnya itu Telford harus berhadapan dengan sang adidaya.
Lindsay Horan berada beberapa meter di sisi kotak penalti Inggris ketika dia menerima umpan dari Crystal Dunn. Horan tak punya banyak waktu berpikir ketika itu dan memang dia tidak membutuhkan waktu lama untuk menentukan pilihan. Horan melihat Morgan berlari kencang dengan dibayangi Demi Stokes.
Diagonal. Dengan trajektori seperti itulah Morgan membelah kotak penalti Inggris. Horan yang melihat pergerakan itu dengan segera melepas umpan lambung dan tak lama kemudian koyaklah jala gawang Telford. Dengan kepalanya, Morgan membelokkan bola kiriman Horan ke pojok kiri atas gawang Telford.
ADVERTISEMENT
Gol itu adalah yang kedua bagi Amerika Serikat pada pertandingan itu; pertandingan semifinal Piala Dunia 2019 menghadapi Inggris; pertandingan yang tidak cuma bakal menentukan siapa layak jadi finalis tetapi juga siapa yang berhak untuk membusungkan dada lebih tinggi. Ini adalah pertandingan sarat gengsi yang tensinya bakal membuat kebanyakan orang senewen.
Di situasi seperti itulah kemampuan terbaik Morgan muncul. Dia tahu sebesar apa pertaruhannya bagi Amerika di laga tersebut. Mereka datang ke turnamen sebagai juara bertahan dengan cap arogan. Agar tak jadi bahan olokan, Amerika pun harus terus membuktikan kehebatannya. Gol Morgan adalah bukti nyata kehebatan tersebut.
Selebrasi itu pun dia lakukan. Setelah berhenti hanya beberapa jengkal dari kotak penalti Inggris, Morgan melakukan perayaan dengan gerakan seperti sedang meminum teh.
ADVERTISEMENT
Kecaman pun datang. Morgan dianggap sudah mengejek budaya Inggris lewat selebrasinya. Namun, dia tak ambil pusing. Seusai pertandingan, ketika ditanya soal selebrasinya itu dia cuma berkata, "Megan (Rapinoe) punya banyak selebrasi, tapi kenapa kalian tidak pernah menanyakan apa pun kepadanya? Kenapa begitu aku yang melakukan semua langsung ribut?"
***
Arogansi adalah predikat yang tak terpisahkan dari Timnas Putri Amerika Serikat. Akan tetapi, mereka memang pantas untuk bersikap demikian. Sampai saat ini, belum ada negara mana pun yang mampu menandingi kedigdayaan Amerika di sini. Jerman sempat muncul jadi kekuatan besar di era 2000-an tetapi itu pun tidak bertahan lama.
Dengan kemenangan atas Inggris, Amerika berarti telah berhasil lolos ke final Piala Dunia Wanita untuk ketiga kalinya secara berturut-turut. Bagi Morgan sendiri, Piala Dunia kali ini punya arti yang sangat besar. Sebab, di sinilah dia benar-benar menjadi tumpuan.
ADVERTISEMENT
Morgan memulai kiprah di Timnas Amerika pada Piala Dunia 2011. Kala itu, dia merupakan anggota termuda dalam tim sehingga mendapat julukan Baby Horse, merujuk pada usia dan rambut kuncir kuda yang jadi ciri khasnya. Meski sudah mampu mencuri perhatian, Morgan belum benar-benar jadi andalan. Saat itu, Timnas Amerika masih punya Abby Wambach sebagai tombak tajam di lini depan.
Alex Morgan (kiri) bersama Abby Wambach di Piala Dunia 2011. Foto: AFP/Daniel Roland
Perlahan, Morgan mampu menemukan jalan menuju tim inti. Akan tetapi, setidaknya sampai 2015 lalu dia tetap belum bisa menjadi bintang utama. Keberadaan Wambach, bersama Hope Solo, Megan Rapinoe, dan Carli Lloyd, membuat Morgan masih dilihat sebagai pemain kelas dua di Timnas Amerika.
Padahal, sampai 2015 itu, di level klub Morgan sudah mampu meraih kejayaan. Pada 2011 dan 2013 dia menjadi juara level nasional bersama Western New York Flash dan Portland Thorns. Namun, di Timnas, Morgan masih belum bisa mencapai level keagungan senior-seniornya tadi.
ADVERTISEMENT
Salah satu yang membuat Morgan sempat terhambat adalah banyaknya cobaan luar lapangan yang dia hadapi pada masa-masa tersebut. Morgan menjadi pemain profesional pada 2010 dan setahun kemudian dia sudah menjadi penghuni tim nasional. Kesuksesan instan itu sempat membuatnya lupa daratan. Bahkan, Morgan sempat diprediksi bakal jadi talenta yang terbuang.
Empat tahun kemudian, situasi telah berubah. Gol ke gawang Inggris tadi sekaligus menandai ulang tahunnya yang ke-30. Di usia sekian, Morgan pun telah menjadi salah satu pemain paling dihormati di tim. Bersama Lloyd dan Rapinoe, Morgan adalah kapten tim saat ini. Tak cuma itu, dengan pensiunnya Wambach, dia pun menjadi sumber gol utama The Stars and Stripes.
Itulah mengapa, gol Morgan ke gawang Inggris tadi jadi sangat penting. Gol tersebut merupakan bukti bahwa dia sudah sepenuhnya bisa diandalkan oleh Timnas Amerika. Terlebih, pada pertandingan itu Rapinoe tidak dimainkan. Di laga itu, Morgan tak cuma terbukti tajam sebagai penyerang tetapi juga kompeten sebagai seorang pemimpin.
ADVERTISEMENT
Dengan perayaannya tadi Morgan menegaskan semuanya. Dia tahu bahwa dia pemain hebat, dia sadar bahwa dia adalah sosok pemimpin dari sebuah tim hebat, dan dia berhasil membawa tim hebat itu unggul atas tim hebat lainnya. Tidak ada yang salah dari sana. Kecaman yang dituai Morgan pun kebanyakan datang dari orang-orang Inggris yang tidak terima.
***
Memandang Morgan sebagai sosok arogan adalah sebuah kesalahan besar. Di lapangan, dia memang membutuhkan kepercayaan diri tinggi untuk mengatasi tekanan yang ada. Seringkali, kepercayaan diri itu disalahartikan oleh mereka yang tak paham.
Sebelum pertandingan, Morgan sebenarnya selalu merasa gugup. Ketika The Star Spangled Banner dikumandangkan, pikirannya kerapkali melayang. Terkadang, bahkan kakinya sampai sulit digerakkan. Semua itu harus dia enyahkan dengan bentakan-bentakan kecil yang dia alamatkan pada dirinya sendiri.
ADVERTISEMENT
Dengan cara itulah Morgan membangun kepercayaan diri dan rupanya selama ini dan upayanya itu berhasil. Sepak bola yang dimainkan Morgan memang pada dasarnya merupakan permainan pikiran. Dia memang punya kecepatan dan mampu bergerak secara agresif. Akan tetapi, itu cuma dia lakukan di saat-saat tertentu. Sisanya, dia lebih banyak diam sembari mengamati.
Dalam pengamatannya itu, Morgan berusaha mengukur celah dan memprediksi arah gerak pemain lawan. Dia kemudian menggunakan kepercayaan diri yang dia kumpulkan tadi untuk mencoba mengeksploitasi situasi yang ada di sekitarnya. Pergerakannya selalu tampak begitu meyakinkan dan itu adalah produk dari kekuatan mentalnya tadi.
Bagi Morgan, kekuatan mental memang sudah jadi senjata sejak masih kecil dulu. Awalnya, dia cuma asal memilih sepak bola sebagai cita-cita. Di secarik kertas, ketika sedang bermain-main di kantor ibunya, dia menuliskan cita-cita itu. Tanpa tahu bagaimana sepak bola dimainkan, Morgan memilihnya jadi jalan hidup sejak masih kanak-kanak.
ADVERTISEMENT
Megan Rapinoe dan Alex Morgan di laga vs Spanyol. Foto: AFP/Franck Fife
Akhirnya, cita-cita itu pun dia tekuni. Di tingkat sekolah, segalanya pun berjalan lancar. Namun, ketika hendak mencari beasiswa untuk kuliah, Morgan sempat menemui kendala. Dia harus bertemu dengan pelatih yang menganggapnya tidak cukup bagus dan tidak bisa sukses. Menurut pelatih itu Morgan kurang kuat dan kurang cepat.
Pada momen itulah Morgan berada di persimpangan. Usianya saat itu sudah 14 tahun dan ini adalah momen do or die baginya. Di usia seperti itu dia sudah benar-benar harus meretas jalan untuk menuju level profesional. Akhirnya, Morgan memutuskan bahwa cita-cita yang ditulis dengan asal itu layak untuk dikejar. Maka, dia pun mencoba peruntungan di tempat lain.
Akhirnya, dia pun bertemu dengan sosok yang percaya kepadanya. Di klub baru itu Morgan berhasil menemukan kemampuan terbaik dan bahkan bisa memperkuat Timnas level U-17. Setelah itu, langkah Morgan menuju level profesional pun tak terhentikan. Buktinya, ketika lulus dari Universitas Berkeley, Morgan langsung menjadi pilihan pertama dalam Draft Women Professional Soccer League 2010.
ADVERTISEMENT
Karier profesional Morgan sendiri sebagian besar dihabiskan di Amerika. Namun, pada 2016 lalu, menyusul kegagalan Timnas Amerika di Olimpiade Rio, Morgan memutukan untuk mencari ilmu di Eropa bersama tim putri Olympique Lyonnais.
Tim putri Lyon sendiri merupakan kekuatan terbesar di Eropa saat ini. Mereka praktis tidak tertandingi, tak cuma di negaranya sendiri, tetapi juga di kompetisi Liga Champions. Kesuksesan ini adalah buah tekad besar Presiden Jean-Michel Aulas yang memang ingin mengumpulkan talenta-talenta terbaik di timnya.
Morgan pernah menjadi bagian dari proyek ambisius itu meskipun tidak lama. Dalam tiga bulan, dia mampu mempersembahkan gelar ganda domestik serta Liga Champions meski pada laga final dia harus ditarik lebih cepat karena cedera.
Alex Morgan saat memperkuat Lyon. Foto: AFP/Jeff Pachoud
ADVERTISEMENT
Pengalaman bersama Lyon itulah yang kemudian dia bawa kembali ke Amerika dan membuatnya jadi pemain yang lebih matang. Bukan kebetulan jika setelah itu prestasinya bersama Timnas juga membaik. Dari 107 gol yang sudah dia ciptakan, 51 di antaranya dia cetak dalam empat tahun terakhir. Ini menunjukkan bahwa Morgan telah benar-benar sah menjadi seorang tumpuan.
Semua yang dia capai itu pun dimanfaatkan Morgan dengan optimal untuk melebarkan sayap di luar lapangan. Selain mendapat banyak uang dari sponsor, Morgan juga banyak berkecimpung di dunia yang menurutnya mampu memberi inspirasi bagi anak-anak.
Selain pesepak bola, Morgan juga merupakan seorang penulis seri novel remaja berjudul The Kicks. Novel itu sendiri sudah diadaptasi menjadi serial televisi di Amazon Prime. Morgan pun telah memproduksi serta membintangi film dengan pangsa pasar sama dengan judul Alex & Me. Selain lewat budaya pop, Morgan juga aktif sebagai duta UNICEF untuk pemberdayaan anak-anak lewat olahraga di negara-negara tertinggal.
ADVERTISEMENT
Tak heran, dengan segala yang dia miliki itu Morgan menjadi salah satu manusia paling berpengaruh di dunia versi majalah TIME. Dia menjadi satu dari dua pesepak bola yang muncul dalam TIME 100 edisi 2019 bersama Mo Salah. Ini adalah penanda bahwa Morgan bukan lagi pesepak bola biasa.
Morgan saat ini dipandang sebagai pesepak bola wanita yang level popularitasnya sekelas Ronaldo dan Messi di sepak bola pria. Namun, popularitas itu tak lantas membuatnya terlena. Dia tahu betapa sulitnya menjadi seorang atlet wanita. Dia pun menggunakan itu untuk terus dan membesarkan dunia yang telah membesarkannya. Lewat jalan inilah Morgan mampu bersinar lebih terang di antara bintang-bintang sepak bola wanita lainnya.