Duncan Edwards dan Janji yang Tak Tunai

7 Februari 2017 14:21 WIB
clock
Diperbarui 14 Maret 2019 21:18 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
ADVERTISEMENT
Duncan Edwards "The Tank" (Foto: Manchester United F.C.)
zoom-in-whitePerbesar
Duncan Edwards "The Tank" (Foto: Manchester United F.C.)
Sir Bobby Charlton adalah perlambang Manchester United. Meski klub yang berdiri tahun 1878 itu punya dua "Sir" lain, Matt Busby dan Alex Ferguson, Bobby Charlton-lah sosok Manchester United itu sendiri. Bak burung Phoenix, Sir Bobby bangkit dari pesawat yang ringsek di dekat landasan pacu Bandara Muenchen-Riem dan menjadi legenda agung Manchester United.
ADVERTISEMENT
Putra kedua Cissie Charlton ini memang pemain hebat. Sampai 20 Januari 2017, dia adalah pencetak gol terbanyak di Manchester United. 249 gol dia lesakkan selama 17 tahun berseragam merah-putih. Sebagai seorang gelandang serang, dia punya segalanya. Visi bermain, teknik, dribel, kaki kanan dan kiri yang sama-sama "hidup". Semua. Dia tidak takut membandingkan dirinya dengan pemain-pemain top lain. Alfredo Di Stefano, Raymond Kopa, Eusebio. Tidak satu pun dari mereka yang bisa bikin keder sang legenda. Tidak satu pun, kecuali Duncan Edwards.
Bagi Sir Bobby, Duncan Edwards adalah segalanya. Kakak, idola, rekan setim. Usia Edwards memang lebih tua setahun dari Charlton dan baginya, permainan Duncan Edwards sama sekali tidak bercela. Jika Sir Bobby yang nyaris sempurna saja menyebut Edwards tak bercela, bisa dibayangkan seperti apa hebatnya seorang Duncan Edwards.
ADVERTISEMENT
Tetapi faktanya adalah Duncan Edwards ini tak ubahnya mitos. Berbagai hiperbola kerap ditempelkan ketika orang sedang berbicara soal dirinya. Pemain kelahiran Dudley tahun 1936 itu selalu digambarkan sebagai seorang all-round midfielder yang bisa melakukan segalanya. Bertahan oke, menyerang pun gape. Dia kuat, tetapi punya teknik yang bagus. Meski posisi aslinya adalah gelandang bertahan, dia pun tidak canggung kala membantu serangan. Memiliki sosok seperti Duncan Edwards rasanya seperti memiliki dua pemain yang sama bagusnya sekaligus.
Namun meski sudah diberi gambaran seperti itu, tak banyak orang di zaman sekarang yang cukup beruntung untuk menyaksikan Big Dunc -- sapaan akrab Edwards -- berlaga. Untuk percaya sepenuhnya pada kesaksian Charlton pun rasanya sulit karena objektivitas pemain yang dulu mengenakan kostum nomor punggung "9" itu sudah pasti tercemar. Ada ikatan-ikatan emosional yang membuat Charlton tak bisa dipercaya sepenuhnya untuk menjadi satu-satunya penutur kisah Duncan Edwards.
ADVERTISEMENT
Sulit memang untuk tidak larut dalam emosi ketika bicara soal Duncan Edwards. Permasalahannya adalah, Duncan Edwards bukan cuma pesepak bola hebat. Lebih dari itu, dia adalah sosok Mesias yang tak pernah datang. Orang-orang melihat dirinya sebagai cahaya harapan bagi Inggris yang kala itu masih berusaha bangkit usai Perang Dunia II. Ketika menyaksikan Edwards dengan jiwa mudanya yang menggebu berlaga, orang-orang menjadi yakin bahwa masa depan tidaklah sesuram itu.
Jika Sir Bobby Charlton sulit dipercaya lantaran subjektivitasnya, bagaimana dengan Sir Stanley Matthews dan Bobby Moore? Stanley Matthews, "penyihir" kesayangan Blackpool dan Stoke City itu menyebut Edwards seperti "batu karang di tengah laut yang bergolak". Sementara itu, Bobby Moore, kapten kesayangan West Ham, menyebut bahwa ketika bertahan, Edwards adalah "Batu Gibraltar" dan ketika menyerang, dia adalah "pemain yang sangat dinamis".
ADVERTISEMENT
Pers Inggris sendiri turut serta dalam proses kanonisasi ini. Atas kemampuannya mencetak gol dari jarak jauh, mereka menyebut bahwa di dalam sepatu Edwards, tersimpan sepasang Big Bertha*.
Banyak yang mengatakan bahwa Edwards adalah perpaduan sempurna dari Roy Keane dan Bryan Robson. Keduanya merupakan mantan kapten Manchester United yang dikenal karena kharismanya yang sulit ditandingi. Meski begitu, Duncan Edwards tidak memiliki temperamen seperti yang dimiliki Keane. Dia pun bukan pemabuk seperti Robson.
Dalam video penghormatan yang dirilis Manchester United di situswebnya, ada yang menyebut bahwa Duncan Edwards bisa dengan mudah memanipulasi bola. Ke mana pun bola ingin dia arahkan, pasti bisa dia arahkan. Sayang, tidak ada keterangan jelas siapa yang mengatakan hal itu. Namun, dengan definisi semacam itu, tentu nama yang dengan cepat terlintas di benak para penggemar Manchester United, sudah pasti Paul Scholes. "Si Pangeran Jahe" itu dikenal karena kemampuannya melepas bola-bola yang sukar dicerna nalar.
ADVERTISEMENT
Jika semua definisi yang diberikan tentang Duncan Edwards itu benar, maka dia adalah sosok gelandang sempurna yang bahkan sampai sekarang belum pernah dilahirkan kembali. Edwards adalah purwarupa yang mustahil untuk (di)ada(kan) kembali.
Lebih dari itu semua, jika ada satu kata yang bisa digunakan untuk mendeskripsikan Duncan Edwards, kata itu adalah "tangguh". The Times pernah memasukkan namanya ke dalam daftar "50 Pesepak Bola Tertangguh Sepanjang Masa". Ketangguhan itu pun ditunjukkan Edwards sampai nafas penghabisannya.
Edwards tidak meninggal seketika di pesawat nahas yang jatuh di Muenchen-Riem. Dengan kondisi luka parah, dia dilarikan ke Rumah Sakit Rechts der Isar. Awalnya, para dokter optimistis bahwa Edwards bisa sembuh meski harus menjalani penggantian ginjal. Namun, ginjal baru yang diterimanya itu ternyata tidak kompatibel dengan tubuhnya. Alhasil, pendarahan internal pun dialami olehnya.
ADVERTISEMENT
Di kondisi yang memburuk, Duncan Edwards tetap tak bisa berhenti memikirkan sepak bola. Kepada asisten manajer United, Jimmy Murphy, dia sempat bertanya. "Kapan kita akan bermain melawan Wolves, Jimmy?"
Meski begitu, Duncan Edwards akhirnya harus menyerah pada maut. Walau tak pernah berhenti melawan, Edwards akhirnya meregang nyawa 15 hari setelah tragedi tersebut. Duncan Edwards meninggal pada usia 21 tahun tanggal 21 Februari 1958. Bersama nafas terakhirnya, melayang pula harapan Manchester United (dan Inggris) akan sosok pesepak bola sempurna itu.
*) Big Bertha adalah nama meriam howitzer raksasa milik Jerman.