Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.103.0
ADVERTISEMENT

We love them
We mourn for them
Unlucky boys of Red
ADVERTISEMENT
I wish I'd gone down
Gone down with them
To where Mother Nature makes their bed
We miss them
Every night we kiss them
Their faces fixed in our heads
***
Sepak bola memang hobi berandai-andai. Bagaimana seandainya gol "Tangan Tuhan" Maradona tidak disahkan wasit? Bagaimana seandainya George Best dan Heleno de Freitas tidak terjerat hedonisme? Bagaimana seandainya sepakan Stan Mortensen tidak menerpa mistar Frank Borghi dan sundulan Joe Gaetjens tidak masuk ke gawang Bert Williams? Bagaimana seandainya Uni Soviet tidak menginvasi Hongaria dan Magical Magyars tidak pernah bubar? Bagaimana seandainya Busby Babes tidak berguguran di Muenchen?
Ah, Busby Babes. Betapa romantisnya julukan itu. Romantis dan ya, tragis.
59 tahun lalu, sebuah pesawat Airspeed AS-57 Ambassador yang hendak tinggal landas dari Bandara Muenchen-Riem tak mampu lolos dari hadangan Malaikat Maut. Sang kapten, James Thain, sebetulnya sudah diperingatkan. Sekali mencoba, gagal. Dua kali mencoba, gagal lagi. Hingga akhirnya pada percobaan ketiga, burung besi itu terjerembab ke tanah.
ADVERTISEMENT
Thain jadi kambing hitam ketika itu. Kata orang, dia lupa tidak mencairkan es di mesin terlebih dahulu. Hampir sepuluh tahun lamanya dia jadi pesakitan hingga akhirnya penyebab sebenarnya kecelakaan itu ditemukan: gumpalan salju di landasan pacu.
Sore itu, 6 Februari 1958, 23 orang tewas.
Ketika pesawat yang mengangkut Buddy Holly dan Ritchie Valens jatuh kurang lebih setahun berselang, orang-orang menyebut hari itu sebagai The Day the Music Died. Lalu, ketika pesawat yang mengangkut rombongan Torino menabrak Bukit Superga kurang lebih satu dasawarsa sebelumnya, orang juga menyebut hari laknat itu sebagai The Day Italian Football Died. Dengan analogi yang sama, rasanya boleh jika kita menyebut bahwa 6 Februari 1958 adalah The Day English Football Died.
ADVERTISEMENT
Boleh saja jika hal itu dibilang berlebihan, tetapi faktanya adalah, delapan pemain Manchester United meninggal dunia hari itu. Roger Byrne (28 tahun) adalah pemain tertua yang meninggal, sementara Eddie Coleman (21 tahun & 3 bulan) jadi sosok yang termuda. Bersama Byrne dan Coleman, turut berpulang juga Tommy Taylor (26), Geoff Bent (25), Mark Jones (24), David Pegg (22), Billy Whelan (22), dan Duncan Edwards (21). Selain delapan orang yang meninggal, ada pula nama Jackie Blanchflower -- adik legenda Tottenham, Danny Blanchflower -- dan Johnny Berry yang tak mampu lagi bermain sepak bola usai tragedi itu. Mereka semua adalah bagian dari Busby Babes.
Julukan Busby Babes sendiri pertama kali ditelurkan oleh seorang jurnalis dari Manchester Evening News, Frank Nicklin. Pria yang meninggal tahun 2007 lalu ini menuliskannya pada sebuah reviu pertandingan Liverpool vs Manchester United tanggal 24 November 1951. Setelah itu, julukan ini pun melekat pada tim Manchester United yang diasuh oleh Matt Busby.
ADVERTISEMENT
Jika ada satu hal yang menjadi kesamaan antara dua era kejayaan Manchester United di bawah Busby dan Alex Ferguson, hal itu adalah keberadaan pemain-pemain jebolan akademi yang menjadi tulang punggung tim. Jika bocah-bocah binaan Busby itu disebut Busby Babes, maka pasukan muda Ferguson kerap disebut sebagai Fergie's Fledglings.
Kebijakan pro-pemain muda itu sendiri dimulai Matt Busby sejurus usai dia didapuk menjadi manajer Manchester United. Ketika itu, Perang Dunia II baru saja usai dan semua hal sedang ditata ulang. Tak terkecuali dalam perkara sepak bola.
Ketika itu, Manchester United belum seperti sekarang. Jangankan jadi klub super kaya, prestasi pun biasa-biasa saja. Sebelum liga sepak bola efektif berhenti pada 1939 (awal Perang Dunia II), United baru punya koleksi tiga trofi di almari mereka: dua gelar liga dan satu Piala FA. Busby, ketika itu, melihat situasi pascaperang itu sebagai sebuah kesempatan. Di kala tidak ada satu pihak pun yang benar-benar siap, Busby ingin agar Manchester United mencuri start sehingga bisa menjadi kekuatan besar di kemudian hari.
ADVERTISEMENT
Cara yang ditempuh Busby pun sederhana saja. Dia menyebar pencari bakat di seantero Inggris dan membuat sebuah jaringan terpadu macam jaringan mata-mata Culper di Perang Kemerdekaan Amerika Serikat. Para pencari bakat itu kemudian melakukan blusukan dan ketika sudah berhasil menemukan pemain yang diinginkan di daerah tempat mereka ditugaskan, mereka akan kembali ke Manchester.
Setibanya di Manchester, bocah-bocah itu kemudian ditempatkan di rumah-rumah penduduk sembari mengenyam pendidikan di sekolah-sekolah setempat dan di akademi Manchester United. Busby sendiri punya semacam "jaringan ibu kos" di mana para pemain muda ini bertempat tinggal. Semua biaya ditanggung oleh pihak klub.
Dari situ, hasilnya mulai tampak pada awal dekade 1950-an. Manchester United berhasil meraih gelar juara liga pertama mereka sejak 1911 pada musim 1951/52. Tak hanya itu, sejak FA Youth Cup mulai dihelat pada 1952, pemuda-pemuda binaan Manchester United itu selalu berhasil menjadi juara dalam lima tahun pertama penyelenggaraan. Mereka, di bawah bimbingan langsung Matt Busby dan para asistennya, pelan-pelan dibentuk menjadi pemain-pemain yang mampu bermain sesuai dengan keingginan sang gaffer. Di situlah tradisi Manchester United yang doyan bermain menyerang dan menghibur benar-benar dimulai.
ADVERTISEMENT
Para pemain-pemain tersebut kemudian dipromosikan ke tim utama sesuai dengan kemampuan masing-masing. Pada 1953, misalnya, Manchester United pernah menurunkan tujuh pemain berusia kurang dari 22 tahun pada sebuah pertandingan. Tak sekaligus, memang. Akan tetapi, cara yang benar memang seperti itu. Membiarkan para pemain muda tanpa arahan pemain senior pun sama saja dengan bunuh diri.
Pada musim 1955/56, Manchester United meraih gelar juara liga keempat mereka. Spesialnya, ketika itu mereka menjadi juara dengan usia rata-rata pemain 22 tahun. Dibimbing Johnny Berry yang lebih senior, para pemuda macam Bill Foulkes, Duncan Edwards, Jackie Blanchflower, Mark Jones, Tommy Taylor, dan Dennis Viollet jadi tulang punggung tim.
Mereka berhasil mengulangi kesuksesan itu pada musim berikutnya. Di Charity Shield (pendahulu Community Shield) yang jadi pembuka tirai musim, Dennis Viollet berhasil mencetak satu-satunya gol ke gawang juara Piala FA 1956, Manchester City, yang dikawal kiper legendaris Bert Trautmann. Gelar juara liga pun berhasil mereka dapatkan pada akhir musim. Di Piala Eropa (cikal bakal Liga Champions), mereka pun berhasil melaju ke semifinal. Sayang, dua gol dari Alfredo Di Stefano dan Francisco "Paco" Gento di Bernabeu memupus mimpi anak-anak muda itu.
ADVERTISEMENT
Ketika Tragedi Muenchen terjadi pada awal Februari 1958, Manchester United sedang mengejar Wolverhampton Wanderers yang unggul enam poin (ketika itu satu kemenangan dihargai dua poin) di liga. Sementara itu, di Piala Eropa mereka baru saja memastikan lolos ke semifinal usai menyingkirkan jagoan Yugoslavia, Crvena Zvezda (Red Star Belgrade). Namun, setelah tragedi itu prestasi United merosot. Mereka mengakhiri musim liga di posisi kesembilan. Sementara itu, di ajang Piala Eropa, mereka lagi-lagi harus mentok di semifinal setelah kalah agregat 2-5 dari Milan.
Ketiadaan pemain-pemain yang akhirnya gugur dan pensiun itu memang berpengaruh besar pada Manchester United. Pasalnya, mereka adalah pemain-pemain penting yang kontribusinya sulit tergantikan. Eddie Colman, misalnya, merupakan salah satu pencetak gol United tatkala menekuk Red Star di Old Trafford pada 14 Januari 1958. Sementara itu, Tommy Taylor dan David Pegg juga berkontribusi pada kemenangan United atas Dukla Praha -- klub milik militer Cekoslowakia -- pada babak sebelumnya.
ADVERTISEMENT
Tommy Taylor sendiri, bersama Dennis Viollet, merupakan sumber gol utama United kala itu. Sejak didatangkan dari Barnsley pada 1953 hingga wafat pada 1958, Taylor selalu menjadi pencetak gol terbanyak Manchester United, entah di liga maupun di seluruh kompetisi. Selama lima tahun memperkuat "Setan Merah", pemain kelahiran 1932 itu mencetak 118 gol.
Busby Babes sendiri memang punya dua definisi berbeda. Ada yang menyebut bahwa mereka yang bisa disebut sebagai Busby Babes hanyalah pemain-pemain jebolan akademi saja. Namun, dengan definisi yang lebih luas, pemain-pemain hasil transfer seperti Taylor atau Johnny Berry (dibeli dari Birmingham City) ini pun masuk hitungan.
Selain Taylor dan Berry, semua pemain yang jadi korban di Tragedi Muenchen, baik korban tewas maupun terpaksa pensiun dini, adalah jebolan akademi. Duncan Edwards dan Eddie Colman, misalnya, sama-sama masuk akademi pada tahun 1952 kala mereka berusia 16 tahun. Namun, Edwards yang berposisi sebagai left-half (semacam gelandang tengah yang bermain di sebelah kiri) memang spesial. Hanya setahun menimba ilmu, Edwards langsung dipromosikan ke tim utama. Colman yang berposisi sama dengan Edwards (tetapi bermain di sebelah kanan), membutuhkan tiga tahun untuk bisa menembus tim utama.
ADVERTISEMENT
Kedua pemain ini dikenal akan dua gaya yang berbeda. Jika Edwards adalah force of nature yang serbabisa dan sulit dihentikan, Colman adalah gelandang pesolek yang masyhur berkat liukan-liukannya. Tak heran jika julukan "Snakehips" atau "Si Pinggul Ular" melekat padanya.
Sementara itu, enam pemain lain yang gugur dan pensiun dini, semuanya memiliki posisi dan peran berbeda dalam tim. Roger Byrne dan Geoff Bent berposisi sebagai full-back (bek tengah dalam formasi 2-3-5 kala itu), Mark Jones berposisi sebagai half-back (semacam posisi Sergio Busquets saat ini), Jackie Blanchflower berposisi sama seperti Edwards dan Colman, sementara David Pegg dan Billy Whelan berposisi sebagai pemain depan. Jika David Pegg merupakan seorang kiri luar (semacam winger kiri), maka Whelan adalah seorang inside forward (semacam second striker kala itu).
ADVERTISEMENT
Semua pemain itu adalah pemain-pemain kunci mengingat mereka semua dibawa serta dalam pertandingan antarklub Eropa. Tak heran jika kemudian efeknya begitu terasa bagi Manchester United. Dari 14 laga sisa yang harus dijalani United kala itu di musim 1957/58, mereka hanya mampu menang sekali (2-1 melawan Sunderland). Itulah yang membuat posisi mereka di klasemen melorot ke urutan sembilan.
Sementara itu, di Piala FA, prestasi United masih boleh dibilang cukup baik karena mereka berhasil melaju ke partai final. Sayang, kekalahan 0-2 dari Bolton Wanderers membuat mereka pulang dari Wembley dengan tangan hampa. Padahal, pascatragedi mereka berhasil menyingkirkan tiga klub, Sheffield Wednesday, West Bromwich Albion, dan Fulham.
Manchester United butuh waktu hampir satu dekade untuk bisa pulih dan kembali menjadi kekuatan besar di Inggris (dan Eropa). Setelah Tragedi Muenchen, mereka harus merelakan kompetisi liga dikuasai oleh Wolverhampton Wanderers, Burnley, Tottenham Hotspur (yang ironisnya dikapteni Danny Banchflower), Ipswich Town, dan duo Merseyside. Keberhasilan Manchester United untuk bangkit itu kemudian mencapai puncaknya kala mereka menjadi juara Piala Eropa 1968. Ketika itu, di final, Manchester United mengalahkan Benfica dengan skor 4-1. Dua dari empat gol United kala itu dicetak oleh Bobby Charlton yang merupakan salah satu korban selamat Tragedi Muenchen.
ADVERTISEMENT
Tragedi Muenchen ini pun, meski tragis, pada akhirnya menjadi nyawa bagi Manchester United. Segala macam heroisme yang melekat pada United berhulu di sini. Cerita ini, seperti halnya keajaiban 120 detik di Camp Nou tahun 1999, jadi folklor favorit klub ini. Sah-sah saja memang, mengingat sulitnya bangkit dari hal-hal seperti ini. Dibandingkan dengan Torino yang hingga kini belum bisa bangkit dari Tragedi Superga 1949, waktu kurang dari satu dekade yang dibutuhkan Manchester United adalah sebuah prestasi yang tiada banding.
***
I wish I'd gone down
Gone down with them
To where Mother Nature makes their bed
They can't hurt you
Their style will never desert you
Because they're all safely dead
ADVERTISEMENT
I wish I'd gone down
Gone down with them
To where Mother Nature makes their bed
Morrissey - Munich Air Disaster 1958