Fabrizio Ravanelli

Fabrizio Ravanelli: Anak Bengal yang Mampir dan Jadi Bintang di Middlesbrough

8 April 2020 19:41 WIB
comment
24
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Fabrizio Ravanelli saat berseragam Middlesbrough. Foto:  Getty Images / Staff
zoom-in-whitePerbesar
Fabrizio Ravanelli saat berseragam Middlesbrough. Foto: Getty Images / Staff
"Ada sesuatu di tempat ini yang mengingatkan saya tentang Parma." Kalimat itu meluncur dari mulut Fabrizio Ravanelli saat menginjakkan kaki pertama kali di Middlesbrough.
Kepindahan Ravanelli dari Juventus ke Middlesbrough pada musim panas 1996 menimbulkan pertanyaan: Mengapa 'Si Nyonya Tua' bersedia menjual penyerang yang mencetak gol pembuka keunggulan di final Liga Champions?
Jawabannya dari sisi taktis. Juventus kala itu membangun tim dengan memusatkan serangan pada Alessandro Del Piero muda. Gaya bermain mereka berdua tidak akan nyetel jika disejajarkan.
Lagi pula, Ravanelli tidak menjadi satu-satunya pemain penting yang dilepas Juventus pada bursa transfer musim panas 1996. Gianluca Vialli dan Paulo Sousa juga dilepas.
Luciano Gaucci (kedua dari kiri) bersama Fabrizio Ravanelli (kedua dari kanan). Foto: Wikimedia Commons
Bukan berarti jawaban itu menutup tanda tanya. Kenapa pula Ravanelli yang berasal dari klub papan atas seperti Juventus mau bertungkus-lumus di klub Premier League yang buat bertahan supaya tidak degradasi saja setengah mampus?
Konon Ravanelli tak menginginkan transfer ini. Ia merasa punya andil besar dengan mencetak tak kurang dari 50 gol dalam dua musim terakhir.
Dalam perjalanan Juventus menjuarai Liga Champions 1995/96 pun, ia mencetak lima gol. Jumlah itu hanya lebih sedikit satu setrip dari torehan enam gol Del Piero yang merupakan top skorer Juventus di kompetisi itu.
Meski demikian, bukan berarti tak ada timbal-balik yang menggiurkan bagi Ravanelli. Di Juventus saat itu, gaji per pekannya senilai 7.000 poundsterling. Negosiasi mengarah agar Middlesbrough membayar 42.000 poundsterling per pekan.
Jika gaji naik enam kali lipat, siapa juga yang tidak tergiur?
Fabrizio Ravanelli. Foto: Getty Images
Para pemain Middlesbrough menganggap Ravanelli sebagai penyerang hebat. Pernyataan itu bukan sekadar basa-basi karena mereka rekan setim.
Di musim perdananya bersama Middlesbrough pada 1996/97, Ravanelli membukukan 31 gol di seluruh kompetisi. Dari total tersebut, 19 di antaranya dibuat di Premier League.
Ravanelli menjadi topskorer Middlesbrough di musim perdananya. Dalam kepala Ravanelli seperti tidak ada urgensi untuk beradaptasi. Kakinya langsung nyetel dengan skema permainan Middlesbrough asuhan Bobby Robson.
Naluri sebagai seorang penyerang membuat Ravanelli tak perlu berbasa-basi untuk mencari ruang di tanah Britania. Ravanelli bahkan menandai debutnya di Premier League bersama Middlesbrough dengan mencetak hattrick di laga melawan Liverpool.
Yang menjadi persoalan utama para pemain Middlesbrough adalah watak Ravanelli yang tak tertebak. Kepada Rob Stewart untuk FourFourTwo, Craig Hignett yang merupakan penggawa Middlesbrough saat itu, menjelaskan bahwa Ravanelli memang suka mencari masalah.
"Memiliki Ravanelli di tim saat itu sama seperti memiliki Lionel Messi atau Cristiano Ronaldo. Namun, dia egois dan suka cari masalah. Dia pemain hebat, salah satu finisher terbaik yang pernah saya lihat," tutur Hignett kepada FourFourTwo.
Fabrizio Ravanelli saat berseragam Middlesbrough. Foto: Getty Images / Ben Radford
Paradoks itu membuat sebagian pemain membencinya dan sebagian lagi mencintainya. Tidak ada yang seperti Ravanelli saat itu di Middlesbrough, kualitasnya sebagai pemain sepak bola lain daripada yang lain.
Akan tetapi, Ravanelli selalu merasa lebih besar daripada klub dan lebih utama daripada tim. Inilah yang membuatnya tak pernah benar-benar mendapat tempat di timnya saat itu.
Ravanelli bahkan tak segan mengolok-olok fasilitas latihan Middlesbrough. Barangkali ia seperti orang yang gegar kasta, dari yang serba wah di Juventus menjadi ala kadarnya di Middlesbrough.
"Tim ini punya Ferarri, tetapi tidak punya garasinya," seperti itu sindiran Ravanelli pada Middlesbrough.
Ulah Ravanelli tentu belum tandas. Pernah suatu kali ia menjelek-jelekkan rekan setimnya, Mikkel Beck, dengan menggunakan Bahasa Inggris yang patah-patah. Katanya, Beck adalah Serie B-nya Middlesbrough. Tambah celaka karena Beck tak sengaja mendengar omongan itu.
Agaknya tidak sulit untuk memahami mengapa Ravanelli bersikap demikian. Ravanelli angkat kaki dari Juventus--mungkin--dengan kekecewaan yang tidak tersampaikan. Sebelum peresmian transfer, ia masuk ke ruang direksi sambil berharap menerima ban kapten yang sebelumnya dikenakan oleh Vialli.
Namun, Ravanelli justru diminta untuk mempertimbangkan tawaran Middlesbrough. Ravanelli tidak seperti Lucifer yang diusir terang-terangan oleh Tuhan dari surga. Ravanelli memilih angkat kaki karena timnya lebih memilih anak muda bernama Del Piero.
Kenapa pula harus "Ravanelli tidak akan cocok bermain dengan Del Piero," bukannya "Del Piero tidak akan cocok bermain dengan Ravanelli?"
Siapa yang dianggap tidak cocok, dialah yang pergi. Dalam kasus ini, orang tersebut adalah Ravanelli. Dalam penentuan siapa yang berhak mewarisi tempat utama di lini serang Juventus, Ravanelli tersingkir.
Maka dengan segala talenta yang dimilikinya dan tempat yang tidak didapatnya, Ravanelli ingin membangun istananya sendiri di tempat baru.
Middlesbrough juga tidak sedang dalam keadaan baik-baik saja. Di akhir musim 1996/97, mereka terdegradasi ke Championship karena finis di posisi 19. Masalah tim sebenarnya lebih dari sekadar degradasi, tetapi atmosfer yang tak harmonis.
Emerson dan Juninho yang kala itu juga membela Middlesbrough menyebut bahwa tim mereka terdiri dari dua kelompok besar. Kelompok pertama merupakan tiga pemain berkualitas. Kelompok kedua terdiri dari delapan pemain sampah.
Kekalahan 0-2 dari Arsenal pada pekan ketujuh di kandang sendiri, Riverside Stadium, adalah awal terseoknya Middlesbrough. Mereka tak sekalipun menang dalam 12 laga beruntun Premier League.
Performa buruk ini membuat mental Middlesbrough jatuh dan di ambang degradasi. Akan tetapi, dalam situasi terpuruk seperti itu, Middlesbrough tetap sanggup menjejak ke final Piala Liga Inggris dan Piala FA.
Lagi-lagi Ravanelli yang bengal itu menjadi pahlawan. Dalam laga melawan Leicester City di final Piala Liga Inggris, ia membukukan gol yang membuat Middlesbrough unggul 1-0 di babak tambahan.
Sayangnya, Leicester justru menyamakan kedudukan jadi 1-1 sehingga mereka harus menjalani laga ulangan karena belum ada aturan adu penalti di kompetisi tersebut.
Kualitas Ravanelli sebagai gamechanger terlihat lagi semifinal Piala FA. Middlesbrough ketinggalan 0-2 dari Chesterfield sampai menit 60.
Namun, Middlesbrough memangkas jarak pada menit 64 lewat gol Ravanelli. Ketika itu, Ravanelli berhasil merangsek masuk saat kawannya menerima umpan silang kiriman Emerson.
Ravanelli sudah berada di depan kiper, tetapi ada dua pemain lawan yang mengimpitnya. Dasar bengal, tanpa ragu ia justru menyundul bola lurus ke tengah gawang. Manuver kiper tak mampu menyelamatkan gawang dari kebobolan.
Riverside Stadium, kandang Middlesbrough. Foto: Reuters/Ed Sykes
Enam menit berselang, Middlesbrough menyamakan skor lewat sepakan penalti Hignett. Di babak tambahan, tepatnya menit 100, Middlesbrough berbalik unggul 3-2 berkat gol Gianluca Festa.
Duel harus berlanjut ke partai ulang karena Chesterfield menyamakan kedudukan jadi 3-3 semenit jelang babak tambahan usai. Di laga ulang, Middlesbrough tampil perkasa. Mereka menang 3-0 dan melangkah ke final melawan Chelsea.
Tidak ada mahkota juara Piala FA yang diamankan Middlesbrough musim itu. Mereka kalah 0-2 dari Chelsea di laga pemungkas. Kekalahan ini konon ada kaitannya kedegilan Ravanelli.
Menyadur tulisan Stewart tadi, Ravanelli cedera beberapa pekan jelang final. Tim medis Middlesbrough sudah memberikan perawatan intensif lewat treatment selama 12-15 jam setiap harinya.
Alih-alih menuruti saran medis, Ravanelli menolak untuk diperiksa beberapa hari jelang final. Pemeriksaan itu penting karena menjadi dasar apakah ia bisa bermain atau tidak. Persoalannya, ia ngeyel dan langsung datang lebih cepat dari waktu yang sudah disepakati tim.
Benar saja. Ravanelli cedera lagi. Ia cuma mampu bermain 24 menit di partai puncak. Setelah ia ditarik keluar, Middlesbrough ibarat macan ompong dan dihajar 0-2 oleh Chelsea.
Pun demikian dengan Piala Liga Inggris. Sebulan sebelum gagal meraih gelar Piala FA, mimpi Middlesbrough untuk menjadi kampiun Piala Liga Inggris kandas akibat kekalahan 0-1 dari Leicester.
Sudah degradasi, kalah di dua partai final, para pemainnya saling bermasalah. Lengkaplah penderitaan Middlesbrough.
Ravanelli cuma bertahan semusim di Middlesbrough, padahal awalnya dikontrak selama empat musim. Pada 1998, ia angkat kaki ke Marseillle.
Untuk segala pengalaman ajaibnya di Middlesbrough, Ravanelli tak menyesal. Namun, ia mengirim kode bahwa pergi dari Juventus adalah langkah keliru.
"Seharusnya saya tidak meninggalkan Juventus. Namun, kala itu seperti ada dorongan dalam diri saya bahwa dengan meninggalkan Juventus saya bisa jadi lebih kuat," jelas Ravanelli, dikutip dari Planet Football.
"Saya bekerja dengan sebaik mungkin di Middlesbrough. Namun, saat bermain untuk klub seperti Juventus, tentu ada banyak pikiran yang mengusik jika mengingat segala keputusan yang sudah kau ambil. Terlepas dari itu semua, saya menyukai segala sesuatu tentang musim saya bersama Middlesbrough," tutur Ravanelli.
Suporter Middlesbrough mendukung jagoan-jagoan mereka. Foto: ADRIAN DENNIS / AFP
Di Marseille, Ravanelli cuma bertahan sampai 2000. Setelahnya berlaga di Lazio selama semusim dan kembali ke Inggris untuk membela Derby County.
Di Derby pun ulahnya belum tuntas. Dalam sebuah laga melawan Chelsea, ia terlibat cekcok dengan Marcel Desailly. Perang mulut ini diawali dengan kedegilan masing-masing dalam mempertahankan ego.
Desailly menyebut Ravanelli mengusiknya 150.000 kali sepanjang pertandingan. Ribut-ribut itu bahkan berlanjut sampai jumpa pers usai pertandingan.
Ketegangan tak mereda dalam sekejap. Agen Ravanelli, Gianni Paladini, menyebut Desailly pengecut dan arogan. Belakangan Paladini justru meminta maaf dan menjelaskan bahwa kata-kata itu bukan omongan kliennya, tetapi dia sendiri karena terbawa situasi.
Pada akhirnya, tak ada satu pun gelar juara yang diamankan Ravanelli di Britania. Kabinet trofinya terisi, tetapi semua didapat di Italia.
Bersama Juventus, ia mengemas lima gelar juara. Di Lazio--meski cuma semusim--ia mengantongi tiga medali juara, termasuk scudetto 1999/2000.
Fabrizio Ravanelli saat melatih Ajaccio. Foto: PASCAL POCHARD CASABIANCA / AFP
Benar bahwa dengan segala sikapnya, Ravanelli tak akan pernah jadi pemain kesayangan. Ia memang menjadi bintang, tetapi terangnya lekas hilang.
Ravanelli tidak akan pernah menjadi legenda yang begitu disanjung. Ia tidak bakal menjadi pahlawan seperti Diego Maradona atau Sir Alex Ferguson.
Namun, dengan satu musim yang diberikannya, orang-orang Middlesbrough akan mengingat Ravanelli dalam bentuk berbeda.
Orang-orang Middlesbrough akan selalu mengingat bahwa kota mereka pernah disinggahi oleh pemuda asal Italia berambut putih keperakan. Ia bukan hanya berbakat, tetapi juga bengal.
****
Catatan editorial:
Lewat seri 'Invasi Calcio ke Britania' ini kami akan mengajak Anda berkelana ke dekade 1990-an ketika Premier League masih baru belajar berjalan.
Pada fase itu, ada sejumlah pemain Italia yang datang untuk 'membantu' sepak bola Inggris bergerak ke masa depan. Kami ajak Anda berkenalan lebih dekat dengan mereka.
***
kumparanDerma membuka campaign crowdfunding untuk bantu pencegahan penyebaran corona virus. Yuk, bantu donasi sekarang!
Ayo, ikutan Home of Premier League dan menangi uang tunai Rp50.000.000. Buruan daftar di sini.
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten