Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.1
FIFA: Lekat dengan Kontroversi Sejak Dahulu
11 Januari 2017 9:18 WIB
Diperbarui 14 Maret 2019 21:19 WIB
ADVERTISEMENT
Usianya sudah memasuki 113 tahun. Umur yang sudah sangat uzur untuk ukuran sebuah organisasi.
ADVERTISEMENT
Namun, ibarat pepatah tua-tua keladi semakin tua semakin menjadi, Federasi Sepakbola Dunia (FIFA) justru semakin menunjukkan pengaruhnya di usia yang renta itu.
Dengan jumlah anggota 211--lebih banyak dari anggota Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB)--FIFA seakan memiliki dunia sendiri. Mereka menjadi pemegang otoritas tertinggi yang menentukan kemana arah bola bergulir.
Tak ayal, kekuatan serta pengaruh yang dimiliki FIFA kerap dimanfaatkan para oknum untuk mengeruk keuntungan pribadi. Tak tanggung-tanggung, sembilan orang pengurus FIFA didakwa bersalah atas kasus korupsi yang diselidiki oleh Biro Investigasi Federal (FBI) Amerika Serikat.
Kejadian itu sekan menjadi klimaks dari segala kontroversi yang kerap dibuat oleh FIFA. Sejak Sepp Blatter terpilih menjadi Presiden FIFA pada 1998, namanya tak pernah lepas dari kontroversi. Namun, hingga tampuk kepemimpinan berganti kepada Gianni Infanito, nyatanya kontroversi juga tak mau pergi dari FIFA.
ADVERTISEMENT
kumparan mencoba menyajikan beberapa kontroversi yang pernah dilakukan oleh FIFA.
Penentuan Tuan Rumah Piala Dunia 2018
Pada 2 Desember 2010, keputusan penuh kontroversi dibuat FIFA ketika memutuskan tuan rumah untuk perhelatan Piala Dunia 2018 di Rusia. Pemilihan Rusia sebagai tuan rumah Piala Dunia 2018 menimbulkan keheranan banyak pihak karena sanggup mengalahkan Inggris, Belgia-Belanda, dan Spanyol-Portugal.
Keputusan itu memantik reaksi keras dari Federasi Sepakbola Inggris (FA). Dugaan suap lantas muncul ke permukaan. Penyelidikan dilakukan oleh FIFA. Akan tetapi, Inggris merasa tidak puas dengan 42 halaman rangkuman yang dirilis oleh FIFA mengenai dugaan korupsi dalam proses bidding tersebut.
Inggris pun merasa kesal dan mengancam akan memboikot turnamen. Akan tetapi, belakangan sikap mereka melunak. Inggris juga menolak ketika diajukan wacana menjadi cadangan tuan rumah Piala Dunia 2018.
ADVERTISEMENT
Penentuan Tuan Rumah Piala Dunia 2022
Pada tanggal yang sama saat pengumuman penetapan Rusia sebagai tuan rumah Piala Dunia 2018, FIFA juga mengumumkan tuan rumah Piala Dunia 2022 yang diraih oleh Qatar--mengalahkan Amerika Serikat. Keputusan itu sontak menimbulkan reaksi keras dari para anggota FIFA. Pasalnya, Qatar merupakan negara dengan suhu yang cukup ekstrem, terutama ketika musim panas.
Suhu di sana bisa mencapai 110 derajat Fahrenheit (setara dengan 43.3 derakat Celcius) ketika musim panas. Hal itu dikhawatirkan menimbulkan risiko bagi para pemain dan juga suporter yang datang ke Qatar.
Lima tahun berselang, bagaikan api dalam sekam, masalah itu seakan tak pernah padam. Penangkapan pengurus FIFA oleh FBI ditenggarai juga terkait kasus dugaan suap penetapan Qatar sebagai tuan rumah Piala Dunia 2022. Sepp Blatter sebagai Presiden FIFA ketika itu diduga ikut terlihat kasus tersebut. Akan tetapi, Blatter justru menuding apa yang dilakukan oleh FBI semata-mata hanya ingin menjatuhkan dirinya.
ADVERTISEMENT
Nama Presiden UEFA Michael Plattini kemudian dituding sebagai dalang dibalik mengemukanya isu suap itu. Seiring tak terbuktinya dugaan suap tersebut, hingga saat ini, FIFA di bawah kepemimpinan Gianni Infantino, masih menetapkan penyelenggaraan Piala Dunia 2018 berlangsung di Rusia, sementara Qatar sebagai tuan rumah Piala Dunia 2022.
Penggunaan Teknologi “VAR”
Memasuki era baru menyusul lengsernya Sepp Blatter, FIFA mencoba terus mencoba meningkatkan mutu pertandingan. Seakan tak mau kalah dengan teknologi garis gawang yang ditemukan pada era Blatter, Presiden terpilih FIFA Gianni Infantino mengesahkan penggunaan teknologi Video Assistant Referee (VAR).
Untuk pertama kalinya, VAR diterapkan pada Piala Dunia Antar Klub FIFA 2016, tepatnya pada laga semi final antara Atletico Nacional melawan Kashima Antlers dan Real Madrid kontra Club America. Hanya saja penggunaan teknologi ini menuai kontroversi karena teknologi tayangan ulang ini dianggap dapat membuat para pemain kebingungan.
ADVERTISEMENT
Gelandang Real Madrid Luka Modric secara terang-terangan mengatakan tidak menyukai pengunaan VAR. Dia mencontohkan gol kedua Cristiano Ronaldo ke gawang Club America, awalnya tidak disahkan wasit. Padahal, Ronaldo jelas-jelas tidak berada dalam posisi off-side. Wasit baru mengesahkan gol tersebut setelah mengecek VAR.
Atas kejadian itu, Ronaldo bahkan menyindir penggunaan VAR ketika meninggalkan lapangan. “Televisi tidak bekerja ya?” katanya sambil tertawa.
“Saya tidak tahu harus bilang apa. Ini (VAR) sesuatu yang baru. Sejujurnya, saya tidak suka karena menimbulkan banyak kebingungan. Saya berharap rencana ini tidak dilanjutkan. Karena menurut saya sepak bola bukanlah seperti itu,” ujar Modric.
Meski demikian, FIFA bergeming. Penggunaan VAR pun siap dimasukan ke dalam pertandingan.
ADVERTISEMENT
“Hasilnya sangat positif. Tentu saja ada pelajaran, tentu saja ada beberapa topik yang harus kita lihat lebih dalam dan membahas secara lebih detail, tapi hasilnya sangat positif. Mengapa? Karena wasit telah mampu mengambil keputusan yang tepat dan keadilan dan transparansi telah dibawa ke permainan,” ucap Infantino.
Penambahan Jumlah Peserta Piala Dunia 2026
Piala Dunia kembali menimbulkan friksi. Akan tetapi, kali ini bukan tentang penunjukkan tuan rumah melainkan terkait jumlah peserta. Presiden FIFA Gianni Infantino baru saja memutuskan bahwa Piala Dunia 2026 akan diikuti oleh 48 tim dari sebelumnya 32 tim.
Kontroversi terkait membengkaknya peserta Piala Dunia 2026 itu dituding sebagai upaya FIFA mengeruk lebih banyak keuntungan dalam hak siar. Pasalnya, dengan jumlah peserta lebih banyak, jumlah pertandingan pun akan bertambah. Berarti, jumlah siaran televisi juga otomatis akan lebih banyak yang berimbas kepada hak siar.
ADVERTISEMENT
Presiden Federasi Sepakbola Jerman (DFB) Reinhard Grindel mengatakan FIFA tidak boleh melupakan Eropa sebagai pasar inti dari sepak bola. “Saya tidak senang dengan keputusan itu dan saya berharap pertanyaan-pertanyaan penting bisa diselesaikan segera oleh organisasi (FIFA),” tandasnya.