Football Rant: Yang Pragmatis, Yang Sukses di Piala Dunia

14 Juli 2018 13:19 WIB
clock
Diperbarui 14 Maret 2019 21:07 WIB
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Prancis melangkah ke final Piala Dunia 2018. (Foto: REUTERS/Lee Smith)
zoom-in-whitePerbesar
Prancis melangkah ke final Piala Dunia 2018. (Foto: REUTERS/Lee Smith)
ADVERTISEMENT
Eden Hazard mencak-mencak. Thibaut Courtois juga sama. Mereka tidak terima Belgia, tim yang mereka bela dan mereka anggap memainkan sepak bola yang lebih baik, kalah dari Prancis.
ADVERTISEMENT
"Prancis tak melakukan apa pun selain bertahan. Kalau boleh memilih, lebih baik saya kalah di perempat final melawan Brasil. Setidaknya, Brasil tampil sebagai tim yang punya keinginan untuk bermain sepak bola. Sementara, Prancis hanya sebuah tim anti-football," ujar Courtois di The Guardian. Ucapan itu senada dengan perkataan Hazard yang merasa, dirinya lebih baik kalah bersama Belgia yang bermain ofensif ketimbang Prancis yang tampil defensif.
Tudingan bermain defensif sebagai anti-football sebetulnya bukan barang baru. Bagi mereka yang mengagung-agungkan sepak bola ofensif, main defensif adalah tabu. Mereka bersikap seakan-akan sepak bola yang baik dan benar adalah sepak bola menyerang.
Prancis memang unik. Mereka justru lebih berbahaya ketika didominasi lawan ketimbang sebaliknya. Perubahan formasi yang dilakukan Didier Deschamps dari 4-3-3 ke 4-2-3-1 membuat Les Bleus lebih moncer. Belgia yang begitu agresif itu pun mereka pampat habis.
ADVERTISEMENT
Kejelian Deschamps mengubah posisi dan peran pemainnya terbukti sukses. Kylian Mbappe, misalnya, yang sebelumnya tampil sebagai penyerang sayap dalam 4-3-3, diubah menjadi gelandang sayap pada 4-2-3-1. Dengan jarak yang lebih jauh dari gawang, Mbappe ternyata justru lebih berbahaya.
Sementara itu, Blaise Matuidi, yang notabene terbiasa dimainkan sebagai gelandang tengah atau gelandang bertahan, ditaruh sebagai gelandang sayap. Hanya saja peran Matuidi diubah: Bukan sebagai gelandang ofensif, melainkan sebagai pemain yang ditugaskan untuk bertahan.
Air mata skuat Inggris usai gugur di semifinal. (Foto: REUTERS/Kai Pfaffenbach)
zoom-in-whitePerbesar
Air mata skuat Inggris usai gugur di semifinal. (Foto: REUTERS/Kai Pfaffenbach)
Pragmatisme semacam Prancis yang adaptif terhadap lawan juga dilakukan oleh Inggris. Paham bahwa mereka tidak memiliki gelandang pengontrol atau seorang playmaker, tim besutan Gareth Southgate itu lebih mengandalkan bola-bola direct dan kecepatan beberapa pemain depan mereka.
ADVERTISEMENT
Pragmatisme Inggris juga terlihat dari bagaimana mereka memanfaatkan set piece sebagai cara untuk mencetak gol. Pada akhirnya, The Three Lions memang terhenti di semifinal. Namun, tetap saja, suksesnya mereka melangkah lebih jauh menunjukkan bahwa tim-tim yang lebih adaptif bisa lebih jauh melangkah ketimbang mereka yang mengandalkan possession.
Dalam kolomnya di The Guardian, Jonathan Wilson menyebut bahwa fenomena ini timbul karena sepak bola internasional dengan format turnamen seperti Piala Dunia memang berbeda dengan liga. Dengan jarak antarpertandingan yang lebih pendek, setiap tim memang dipaksa untuk mengakali situasi. Oleh karenanya, nyaris tidak ada waktu untuk mengembangkan permainan yang betul-betul mendetail.
Di Football Rant kali ini, kumparanBOLA akan membahas perihal tren taktik tersebut. Perihal masalah yang menimpa Jerman dan Spanyol pun kami angkat. Selamat menyaksikan.
ADVERTISEMENT