Guru, Ayah, dan Filsuf: Inilah Oscar Washington Tabarez

5 Juli 2018 19:30 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Maestro sepak bola Uruguay, Oscar Washington Tabarez. (Foto: Getty Images/Dean Mouhtaropoulos)
zoom-in-whitePerbesar
Maestro sepak bola Uruguay, Oscar Washington Tabarez. (Foto: Getty Images/Dean Mouhtaropoulos)
ADVERTISEMENT
Motivasi, kata Oscar Washington Tabarez suatu kali, adalah sebuah proses internal yang terkait dengan adanya keinginan untuk meraih tujuan tertentu. Sepintas, kata-kata tersebut terdengar seperti sebuah kutipan picisan dari buku-buku motivasi yang senantiasa dikorting karena tidak laku-laku.
ADVERTISEMENT
Namun, Tabarez bukan salah satu dari mereka, para penulis yang tidak bisa melakukan apa-apa selain menggurui. Dia bisa mengatakan demikian karena dia sudah melakukan apa yang harus dilakukan untuk mendapatkan hak berkata seperti itu.
Untuk memahami Tabarez, kita harus memahami bagaimana seorang guru bekerja. Tak cuma sebagai pengajar, Tabarez juga merupakan seorang pendidik. Di bawah asuhannya, persepakbolaan Uruguay mekar kembali setelah sempat terpuruk lantaran digerus kemarahan terpendam yang lahir akibat represi junta militer.
Lahir dan besar di Montevideo, Tabarez memulai karier sebagai pemain profesional saat berusia 20 tahun. Kendati karier itu berlangsung sampai 12 tahun lamanya, Tabarez tidak pernah mendapatkan prestasi mentereng. Akhirnya, pada 1979, ketika usianya menginjak angka 32, Tabarez memutuskan untuk gantung sepatu.
ADVERTISEMENT
Karier bermain itu memang berakhir prematur. Akan tetapi, dari situlah Tabarez lahir kembali. Barangkali, sosok seperti dirinya memang tidak pas untuk diminta bertungkus lumus di lapangan. Alih-alih begitu, manusia seperti Tabarez memang sudah semestinya berada di balik kemudi, mengarahkan para pemain ke destinasi yang diidamkan.
Setelah pensiun sebagai pemain, Tabarez tidak langsung terjun ke dunia kepelatihan. Ada jeda setahun yang memisahkan karier bermain dan karier kepelatihan pria kelahiran 71 tahun silam itu. Di sela-sela itu, Tabarez menyalurkan potensinya di bidang lain.
Bidang lain yang dimaksud adalah pendidikan. Selama setahun, antara 1979 dan 1980, Tabarez sempat mengajar sejarah di sebuah sekolah dasar. Masa lalunya sebagai guru inilah yang jadi salah satu alasan mengapa di kemudian hari Tabarez dijuluki sebagai El Maestro. Secara harfiah, maestro memang berarti guru.
ADVERTISEMENT
Pada 1980, Tabarez akhirnya terjun menangani klub terakhir yang dibelanya sebagai pemain, Bella Vista. Di sana, dia bertahan selama tiga tahun sebelum dipercaya menangani Tim Nasional (Timnas) Uruguay U-20. Di sinilah rupanya kecintaan Tabarez kepada Timnas Uruguay lahir. Ini adalah titik mula bagi Tabarez untuk menjadi bapak pembangunan sepak bola Uruguay.
Terhitung hingga 2018 ini, Tabarez sudah menjadi pelatih selama 38 tahun. Dari situ, 16 tahun di antaranya dia habiskan sebagai pelatih di level Timnas. Setelah menjadi juru taktik Timnas U-20 pada 1983 dan 1987, Tabarez akhirnya ditunjuk untuk menangani Timnas senior pada 1988.
Bagi Tabarez, ini adalah kesempatan besar karena pada 1986, Uruguay menunjukkan kebangkitan sepak bola dengan keberhasilan lolos ke Piala Dunia di Meksiko. Bermodalkan pemain-pemain seperti Enzo Francescoli dan Ruben Sosa, Tabarez membawa Uruguay tampil mengejutkan di Copa America 1989. Mereka berhasil mengalahkan Argentina yang dipimpin Diego Armando Maradona, meskipun di final akhirnya ditaklukkan oleh tuan rumah Brasil.
ADVERTISEMENT
Tabarez tak berhenti di situ. Setelah menjadi runner-up Copa America, Uruguay diantarkannya ke Italia untuk mengikuti Piala Dunia 1990. Kendati demikian, Tabarez gagal membawa Uruguay melangkah lebih jauh dari babak 16 besar. Menghadapi tuan rumah di Stadio Olimpico, dua gol Toto Schillaci dan Aldo Serena memulangkan Uruguay lebih cepat.
Tabarez boleh jadi kalah di Italia. Akan tetapi, negara itu meninggalkan kesan manis baginya. Setelah menangani Boca Juniors pada 1991 s/d 1993, Tabarez bertualang ke Italia untuk membesut Cagliari dan Milan. Kesuksesan memang tidak didapat, tetapi setelah Uruguay menyingkirkan Portugal di perdelapan final Piala Dunia 2018 ini, Tabarez menyebut bahwa pengalaman di Italia membuatnya belajar bagaimana mengatur sistem pertahanan dengan baik.
ADVERTISEMENT
Tabarez pimpin latihan Timnas Uruguay. (Foto: REUTERS/Andres Stapff)
zoom-in-whitePerbesar
Tabarez pimpin latihan Timnas Uruguay. (Foto: REUTERS/Andres Stapff)
Secara umum, di level klub Tabarez memang tidak terlalu berhasil. Dari 22 tahun petualangannya, dia hanya mampu meraih tiga trofi, meski trofi-trofi itu tergolong prestisius. Pada 1987, Tabarez mempersembahkan gelar Copa Libertadores untuk Penarol. Kemudian, pada 1992 Boca Juniors diberinya gelar juara Apertura. Namun, selebihnya tak ada gelar bergengsi lain yang mampu diraih Tabarez.
Setelah berpisah selama 16 tahun, Tabarez dan Timnas Uruguay kembali berjumpa pada 2006. Penunjukan Tabarez ini didasari oleh paceklik prestasi sepak bola Uruguay. Antara 1990 sampai 2006, mereka hanya sekali lolos ke Piala Dunia, yakni pada edisi 2002. Dalam kurun waktu itu, peringkat FIFA Uruguay juga pernah anjlok sampai ke urutan 76.
Sebenarnya, ketika Uruguay lolos ke Piala Dunia 2002 itu, sudah muncul sebuah kesadaran dari pelatih Victor Pua soal bagaimana mereka perlu kerja ekstra keras untuk kembali jadi negara sepak bola besar lagi. Dalam kolomnya di BBC menyambut Piala Dunia 2002, Tim Vickery menuliskan bahwa kerendahan hati Pua itulah yang jadi kunci lolosnya La Celeste ke Korea Selatan dan Jepang.
ADVERTISEMENT
Namun, kerendahan hati Pua itu tidak cukup. Pasalnya, Uruguay butuh sesuatu yang konkret dan hal inilah yang akhirnya dibawa oleh Tabarez pada 2006.
Di bawah arahan Tabarez, sepak bola Uruguay bersalin rupa. Kepada Federasi Sepak Bola Uruguay (AUF), Tabarez memperkenalkan sebuah rencana jangka panjang yang dinamainya Proceso (Proses).
Dalam Proceso-nya itu, Tabarez mencoba untuk mengarahkan agar para pemain sepak bola di Uruguay bisa kembali bermain dengan cara yang baik dan benar. Salah satu caranya adalah memperkenalkan ulang formasi 4-3-3, termasuk di level junior. Selain itu, para pemain juga diperintahkan untuk mengisi waktu luangnya dengan membaca. Di pusat latihan Timnas Uruguay, sebuah perpustakaan dibangun untuk meningkatkan minat baca para pemain.
Timnas Uruguay rayakan gol ke gawang Rusia. (Foto: REUTERS/David Gray)
zoom-in-whitePerbesar
Timnas Uruguay rayakan gol ke gawang Rusia. (Foto: REUTERS/David Gray)
ADVERTISEMENT
Usaha pencerdasan yang dilakukan oleh Tabarez ini merupakan sebuah cara untuk menyeimbangkan identitas sepak bola Uruguay. Sebelum Tabarez datang, filosofi Garra Charua khas Uruguay itu sudah dikorup sedemikian rupa sampai akhirnya berujung pada melekatnya stereotip kasar pada para pemain Uruguay.
Garra Charua sendiri berasal dari nama sebuah suku asli Benua Amerika yang dibantai habis pada abad ke-19. Dulu, suku ini berisikan para ksatria yang tidak pernah menyerah meski akhirnya harus menemui ajal. Spirit pantang menyerah inilah yang lantas diadopsi orang-orang Uruguay sebagai identitas nasional. Tak cuma di sepak bola saja ia diterapkan, melainkan juga di aspek kehidupan lain.
Kemunculan Garra Charua sebagai identitas ini bukan kebetulan. Ketika didirikan pada 1830, Uruguay memang hanya diperuntukkan sebagai penyangga antara Brasil dan Argentina, dua negara besar Amerika Selatan. Sebagai pelanduk yang terjepit di antara dua gajah, inferioritas pun akhirnya tak terelakkan. Lewat Garra Charua, inferioritas itu disulap menjadi sebuah mentalitas yang diharapkan bisa menjadi jalan Uruguay untuk menyejajarkan diri dengan Brasil serta Argentina.
ADVERTISEMENT
Namun, pada akhirnya muncul beragam misinterpretasi terhadap Garra Charua itu tadi. Di saat sebagian orang menganggapnya sebagai semangat pantang menyerah, sebagian yang lain melihatnya sebagai sebuah izin untuk menghalalkan segala cara.
Dalam sepak bola, Garra Charua yang dikorup itu tampak pada bagaimana Uruguay memainkan sepak bolanya pada era 1980-an sampai awal 2000-an. Dengan talenta yang minim, mereka mengandalkan permainan keras menjurus kasar.
Itulah yang ingin diubah oleh Tabarez. Tidak dihilangkan sepenuhnya, memang, melainkan dilimitasi agar Garra Charua tak jadi satu-satunya jalan. Sepak bola adalah olahraga tempat bertemunya banyak hal dan ide inilah yang diupayakan Tabarez pada sepak bola Uruguay.
Suarez legenda sepak bola Uruguay. (Foto: Reuters/Max Rossi)
zoom-in-whitePerbesar
Suarez legenda sepak bola Uruguay. (Foto: Reuters/Max Rossi)
Tabarez sadar bahwa menghasilkan seorang Luis Suarez adalah hal yang sulitnya setengah mati bagi negara berpenduduk hanya 3,3 juta jiwa. Oleh karenanya, keran produksi tak boleh mampet. Pemain seperti Suarez yang bisa membuat beragam keajaiban di lapangan adalah cara Tabarez untuk menyeimbangkan teknik dan otot. Yah, meski Suarez sendiri sesekali masih menerapkan pemahaman lawas Garra Charua tadi.
ADVERTISEMENT
Proceso yang dicanangkan Tabarez tadi akhirnya berhasil. Suarez adalah salah satu pemain yang mendapat berkat dari terbentuknya sistem pengembangan pemain muda terstruktur ala Tabarez. Suarez tidak sendiri karena di Timnas Uruguay saat ini, hanya Diego Godin, Maxi Pereirea, dan Cristian Rodriguez pemain yang 'lahir' sebelum era Proceso dimulai. Oleh karenanya, tidak berlebihan untuk menyebut Tabarez sebagai seorang bapak di persepakbolaan Uruguay.
Selain kecerdasannya, satu hal lain yang membuat Tabarez berbeda dengan sosok pelatih lainnya adalah kekeraskepalaannya. Pada 2016 lalu, Tabarez didiagnosis menderita Sindrom Guillain-Barré. Pada dasarnya, Sindrom Guillain-Barré adalah penyakit saraf yang menyerang sistem imun. Itulah mengapa, Tabarez kini selalu membutuhkan tongkat, bahkan kursi roda, untuk membantu mobilitasnya.
Tongkat maupun kursi roda itu nyatanya tak pernah memadamkan api dalam diri Tabarez. Di tepi lapangan pertandingan maupun di tempat latihan, Tabarez tak pernah kehilangan suara untuk meneriaki anak-anak asuhnya yang ngawur. Di ruang konferensi pers, Tabarez juga tak pernah kehilangan ketajaman berpikirnya untuk melontarkan pernyataan-pernyataan bernada filosofis.
ADVERTISEMENT
Usia Tabarez kini sudah sangat lanjut, bahkan untuk ukuran pelatih sekalipun. Bahkan, dia adalah pelatih tertua di Piala Dunia 2018. Setelah turnamen nanti, kontraknya dengan Timnas Uruguay bakal habis dan rasa-rasanya, menilik usia serta kondisi kesehatannya, Tabarez akan pensiun dari dunia kepelatihan setelah turnamen
Kendati demikian, dia sudah meninggalkan sebuah warisan berharga. Jika nantinya Uruguay kembali bisa menjadi juara dunia, tak ada orang lain yang lebih pantas diberi ucapan terima kasih selain Oscar Washington Tabarez.