Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
ADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT
Pada bulan Februari saat kompetisi dimulai, saya dan rekan-rekan wasit begitu antusias menyambutnya sembari berharap musim ini bisa berjalan dengan lancar. Tapi, harapan tinggal harapan.
Baru beberapa pekan bergulir, merebaknya virus corona di Indonesia menyebabkan kompetisi ditunda. Kami tentu terpukul dengan keadaan ini.
Ketika itu, PSSI menghentikan liga untuk sementara waktu, saya pikir itu hanya sesaat. Saya dan teman-teman berpikir masih ada harapan untuk berlanjut, maksimal hanya berhenti 1-2 bulan. Tapi, setelah itu tak ada kepastian kapan liga dilanjutkan. Di situ saya mulai stress karena persiapan kami memang sudah matang.
Apalagi, disusul dengan keputusan AFC untuk menunda semua pertandingan di AFC Cup. Pada September, sebenarnya saya mendapat penugasan untuk memimpin laga AFC Cup di Vietnam. Namun, 10 jelang keberangkatan, datang kabar bahwa semua laga lanjutan AFC Cup musim ini resmi ditiadakan.
ADVERTISEMENT
Saya dan rekan-rekan wasit lainnya sebenarnya sempat begitu bahagia begitu mendengar kompetisi akan dilanjutkan pada Oktober lalu.
Satu pekan menjelang kick-off, kami sudah berkumpul di Jogja sebelumnya untuk mempelajari aturan-aturan baru. Kami sudah tes swab dan meninggalkan keluarga di rumah.
Namun, apa daya, kelanjutan Liga 1 yang kami nanti-nantikan dibatalkan begitu saja, hanya dua hari menjelang kick-off. Padahal, kami sudah mempersiapkan diri matang-matang untuk menyambut kembalinya kompetisi sepak bola nasional.
Ketika pengumuman lanjutan Liga 1 dibatalkan, kami saat itu masih berada di Jogja. Ketika itu, saya melihat rekan-rekan wasit sampai menangis, karena harapan adanya sumber pemasukan dari kompetisi, malah pupus lagi. Apalagi, banyak dari mereka yang datang jauh-jauh dari luar Pulau Jawa.
ADVERTISEMENT
Dada saya masih terasa sesak jika mengingat momen itu. Mengapa sulit sekali hanya untuk bermain sepak bola di negeri ini. Padahal, pertandingan digelar tanpa penonton, juga dengan menerapkan protokol kesehatan yang ketat.
Kehidupan wasit ketika tidak ada kompetisi sebenarnya berbeda dengan pemain atau pelatih. Karena, kami, para wasit, tidak memiliki gaji. Kami dibayar sesuai dengan penampilan di tiap pertandingan.
Karena itu, saat kompetisi vakum, pemasukan saya pun terhenti. Apalagi, menjadi wasit merupakan profesi saya satu-satunya.
Dengan begitu, saya harus putar otak agar tetap bisa menafkahi keluarga. Saya harus berusaha untuk cari uang, salah satunya dengan berjualan melalui online shop. Ya, apa pun itu saya lakukan yang penting halal.
Ketiadaan kompetisi bukan hanya menggerus pemasukan saya, melainkan juga insting memimpin pertandingan. Sejak Maret, saya berupaya menjaga insting dan kebugaran fisik. Saya memutuskan untuk terjun ke turnamen tarkam dan memimpin hingga partai final. Alhamdulillah, selama 3 bulan itu berjalan lancar
ADVERTISEMENT
Memang, agak sedikit berisiko karena pengamanan yang sangat minim. Namun, saya harus mengasah insting saya karena itu tidak bisa dipelajari dengan hanya membaca, harus turun langsung. Itu juga sekaligus menjaga kebugaran saya.
Dengan kondisi yang serba rumit tahun ini, saya mendapat pelajaran berharga bahwa saya tidak bisa hanya menggantungkan hidup dari profesi sebagai wasit. Karena sepak bola Indonesia masih belum jelas.
Saya berharap dengan situasi kompetisi yang tidak jelas seperti ini, PSSI dan pemerintah bisa saling mendukung. Untuk Liga Indonesia, Timnas, dan semuanya.
Intinya, untuk sepak bola Indonesia semua pihak harus saling support. Karena output-nya nanti adalah prestasi Timnas di masa yang akan datang.
Thoriq Alkatiri
Wasit Nasional Pemegang Lisensi FIFA
ADVERTISEMENT
Live Update