Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.103.0
ADVERTISEMENT

Katanya, sih, trofi kecil yang tidak penting. Tapi, ya, tetap dicaplok juga oleh klub-klub besar.
ADVERTISEMENT
Anda pernah dengar istilah “Mickey Mouse Cup” alias “Piala Mickey Mouse”? Belum? Bukan, ini bukan perkara trofi yang berbentuk tokoh legendaris Disney itu apalagi soal turnamen keluaran Disney. Ini beda cerita.
“Piala Mickey Mouse” sesungguhnya adalah ejekan. Manakala ada sebuah tim memenangi sebuah trofi yang dianggap tidak penting-penting amat, pendukung rival tim tersebut akan merendahkannya dengan sebutan itu.
Oleh karenanya, istilah “Piala Mickey Mouse” —yang sesungguhnya lebih ngetren di Inggris sana, ketimbang di belahan-belahan dunia lainnya— disematkan pada kejuaraan-kejuaraan yang tidak cukup prestisius.
Ambil contoh Piala Liga Inggris. Di Inggris sana, levelnya jelas kalah jauh dari Premier League atau Piala FA, yang notabene merupakan turnamen tertua di dunia. Premier League, sebagai liga teratas dalam piramida kompetisi Inggris, jelas punya pamor yang kuat. Sementara Piala FA, dengan status yang sudah disebutkan sebelumnya, punya “roh”-nya sendiri.
ADVERTISEMENT
Dengan status terhormat sebagai turnamen tertua di dunia itu, Piala FA disebut punya daya magis. Kendatipun seringkali memunculkan tim-tim besar dari Premier League sebagai juara, kisah giant killing (pembantaian tim raksasa) di babak-babak awal masih kerap terjadi.
Piala Liga Inggris, semestinya, juga sama —mengingat mereka juga mempertemukan tim-tim dari level teratas dengan tim-tim dari divisi bawah. Namun, berbeda dengan Piala FA, yang diikuti oleh tim-tim antah berantah di tanah Inggris, Piala Liga Inggris hanya diikuti oleh mereka yang masuk dalam sistem Football League —sehingga tidak mencakup tim-tim amatir.
Sistem Football League sendiri hanya mencakup sampai League Two, yang merupakan divisi keempat dalam piramida sepak bola Inggris. Tak mengherankan jika magnet Piala Liga Inggris tak sekuat Piala FA. Seperti yang sudah kami tuliskan tadi, Piala Liga Inggris tak punya daya magis.
ADVERTISEMENT
Jangan heran pula jika label “Piala Mickey Mouse” itu melekat erat pada Piala Liga Inggris. Menang di piala ini pun dianggap sebagai “iseng-iseng berhadiah”.
Tapi, masihkah seperti itu sekarang?
Pada 26 Februari 2017, Manchester United dan Southampton akan bertarung di Wembley untuk memperebutkan “Piala Mickey Mouse” itu. Dan, Anda benar, keduanya adalah klub Premier League.
Jika Southampton tidak bisa dikategorikan sebagai klub raksasa, lain halnya dengan United. Sebagai klub dengan gelar juara Liga Inggris terbanyak, dan baru saja mengukuhkan diri sebagai klub terkaya di dunia —mengalahkan Real Madrid dan Barcelona—, United jelas amat-amat raksasa.
Tanpa bermaksud mengecilkan “Piala Mickey Mouse” ini, semestinya United menjadikannya sebagai prioritas nomor kesekian. Tapi, justru lewat si “Piala Mickey Mouse” mereka punya kans untuk setidaknya mengakhiri musim dengan satu trofi.
ADVERTISEMENT
Nah, alasan untuk menyelamatkan muka itulah yang membuat “Piala Mickey Mouse” itu menjadi lebih penting.

Bertahun-tahun lalu, persaingan di Premier League hanya diisi oleh tiga hingga empat tim. Tentu saja, dengan begitu kans untuk menjadi juara menjadi lebih besar.
Bandingkan dengan sekarang. Klub-klub yang tadinya menjadi penggembira di papan tengah menggeliat. Membanjirnya dana dari perjanjian hak siar membuat klub-klub papan tengah pun mampu membeli pemain-pemain yang lebih berkualitas dan menggaji mahal pelatih-pelatih dari luar Inggris.
Hasilnya, seperti yang kita lihat sekarang: peta persaingan berubah. Perebutan gelar juara tidak lagi melibatkan tiga atau empat tim, tapi membengkak menjadi enam. Menundukkan tim-tim papan tengah pun tidak semudah dulu lagi. Kini, wajar melihat para raksasa dijegal oleh mereka yang dulunya hanya jadi penggembira itu.
ADVERTISEMENT
Tim yang paling layak menjadi juara, pada akhirnya, adalah ia yang paling konsisten di tengah liarnya rimba Premier League itu. Musim ini, Chelsea adalah tim yang paling konsisten itu. Sementara tim-tim papan atas lainnya kerap tersandung, The Blues acapkali sukses keluar dari masalah meskipun tidak tampil maksimal. Ini adalah mark of the champion —tanda seorang juara.
Sementara itu, tim-tim lainnya yang tidak cukup konsisten, silakan mencari apologi pada “Piala Mickey Mouse” dan Piala FA. Setidaknya untuk membuat musim mereka tidak berakhir tanpa gelar.
Dalam dunia sepak bola modern, di mana celaan di media sosial bisa amat menyentil dan menyakitkan, trofi —sekecil apa pun prestise-nya— bisa menjadi sedikit kebanggaan.
Maka, jangan heran melihat Liverpool dan Manchester City bertarung sampai mampus di final Piala Liga Inggris musim lalu. Kedua kesebelasan sama-sama menurunkan banyak pemain inti hingga akhirnya bertarung sampai babak adu penalti.
ADVERTISEMENT
Andai Liverpool menjadi juara musim lalu, Juergen Klopp pun bisa mendapatkan trofi pertamanya di klub itu ketika usia kepemimpinannya belum genap setahun. Cerita yang terdengar bagus, bukan?
Lalu, dengan nafas yang sama, narasi itu juga bisa dituliskan untuk Jose Mourinho.
Lagipula kapan lagi mendengar cerita sengit terjadi di ajang yang terpinggirkan seperti Piala Liga Inggris ini. Semalam, setelah timnya dikalahkan Hull City 1-2, Mourinho mengeluarkan trademark-nya: komentar bernada pedas.
Manajer asal Portugal itu menolak anggapan bahwa timnya kalah. Pasalnya, ia enggan menghitung gol pertama Hull yang dicetak lewat penalti Tom Huddlestone. Mourinho menilai, tidak seharusnya The Tigers mendapatkan penalti itu karena —menurutnya— tidak ada pelanggaran sama sekali.
“Hasil akhirnya 1-1. 1-1. Saya hanya melihat dua gol. Saya hanya melihat gol (Paul) Pogba dan gol fantastis mereka. Mereka melepaskan umpan silang yang bagus, dan ada pemain yang menyambarnya di tiang jauh. 1-1,” ujar Mourinho seperti dilansir The Guardian.
ADVERTISEMENT
Klasik, Jose, klasik.