Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Jurnal Foto: Kala Legenda Sepak Bola Indonesia Melebur Jadi Yudistira
9 Maret 2019 12:29 WIB
Diperbarui 20 Maret 2019 20:08 WIB
ADVERTISEMENT
Fase regional AIA Championship 2019 tidak hanya menjadi arena pembuktian bagi para pesepak bola muda, tapi juga menjadi titik temu legenda-legenda sepak bola Indonesia. Di Stadion SCG (Muangthong United FC), Bangkok, pada 7-8 Maret 2019, pesohor lapangan hijau itu melebur menjadi satu tim bertajuk Yudistira .
ADVERTISEMENT
Perjalanan tim yang terdiri dari Ponaryo Astaman, Markus Horison, Handi Ramdhan, Vennard Hubarat, Muhammad Ridwan, Firman Utina, Budi Sudarsono, dan Matias Ibo ini memang hanya sampai pada fase grup kategori AIA Partners League. Namun, terkadang sepak bola bukan hanya berkisah tentang trofi dan gelar juara.
Sepak bola juga menjadi upaya untuk mengurai kembali cerita-cerita lama yang tersimpan rapi dalam benak. Gelinding bola dan lesakan gol adalah jalan yang membawa setiap pejalan jauh untuk sejenak pulang ke tempat mereka memulai segalanya.
Barangkali kita yang tak pernah turun arena di pertandingan ala profesional pun seperti mereka. Kita yang duduk di tribune-tribune penonton, kita yang kesal karena tembakan Firman atau Ponaryo di beberapa laga lampau tak berbuah gol, dibawa kembali pada waktu-waktu menyenangkan yang mengingatkan kita akan pengertian bola sebagai teman.
ADVERTISEMENT
Eduardo Galeano lewat mahakaryanya, 'Soccer in Sun and Shadow', pernah berkisah tentang sepak bola sebagai perjalanan muram yang berawal dari keindahan kepada tanggung jawab. Tapi, sebagian dari kita mungkin tetap percaya bahwa sepak bola tak akrab dengan khianat.
Ia selalu sama, berlaku sebagai kawan baik yang gemar membawamu bersenang-senang dan membuat hidupmu tak mampu dicacah oleh berbagai tenggat dan hiruk-pikuk pekerjaan.
Sepak bola bagi kita adalah ajakan bersenang-senang di atas lapangan ala kadarnya. Ia bercerita tentang kawan-kawan yang berani memanggil-manggil nama kita dari balik pagar rumah sepulang sekolah.
Di dalamnya muncul fragmen-fragmen masa kanak yang penuh dengan tawa jenaka, kegembiraan yang meluap-luap saat kita menundukkan kawalan kawan di depan gawang yang dibangun oleh sepasang sandal jepit atau tumpukan dua-empat batu yang kita temukan entah di mana.
ADVERTISEMENT
Lesakan gol berarti kesempatan untuk berlagak seperti pemain-pemain yang menjadi idola kita. Turun arena berarti kesempatan untuk menjatuhkan diri di atas lapangan berlumpur.
Bagi kita kala itu, lapangan berlumpur bukan persoalan rumit, rumput yang buruk dan hampir gundul sekalipun tak pernah dijadikan alasan mengapa giringan bola kita macet di tengah jalan. Kita bahkan menyukai menendang bola di atas lapangan becek karena percikan airnya membuat kita merasa begitu keren saat menggiring bola.
Bagi kita pada hari-hari itu, tak ada yang lebih memuakkan selain bola yang menggelinding ke bawah kolong mobil yang diparkir di tepi lapangan. Bagi kita saat itu, tak ada yang lebih menakutkan selain teriakan ibu masing-masing yang entah bagaimana caranya selalu menemukan lapangan tempat kita bermain bola. Apa boleh bikin, saat tak ada wasit yang mengawasi pertandingan kita, ibu-ibu itu justru menjadi the law of the game yang sebenarnya.
ADVERTISEMENT
Di atas lapangan bola itu, Yudistira memang tak melulu beria-ria merayakan kemenangan. Gawang yang dikawal Markus acap kemasukan gol, sepakan Budi berulang kaki membentur tiang dan tak tepat sasaran. Tapi, apalah guna kemenangan jika tak bisa memberi kesenangan, jika ia hanya bicara soal ambisi yang tak selesai-selesai?
Maka, di atas lapangan bola yang sama itu pula mereka tertawa-tawa, memantik senyum geli dari para penyaksi yang berdiri di pinggir lapangan. Teriakan "Naik, naik!" atau "Jangan dipaksa, Lae!" dari Markus yang ada di depan mulut gawang atau giringan bola ala Handi adalah kunci yang membuka pintu pada nostalgia masa kanak.
Nostalgia adalah penanda akan zaman yang sudah hilang, sementara menyadur omongan seorang penulis, masa lalu adalah rangkaian kepergian mutlak yang lucunya, enggan dilepaskan sebagian orang.
ADVERTISEMENT
Tapi, sepak bola ibarat kawan baik yang tak berubah, yang acap muncul untuk mengingatkan kita bahwa di antara tumpukan tugas dan tuntutan selalu ada ceria yang sebenar-benarnya.
Sepak bola ala Yudistira, sepak bola yang tak kehilangan keriaannya itu, adalah pengingat bahwa walau hidup tidak pernah menjadi ajek, kebahagiaan yang diunduh dengan cara sederhana tak pernah pergi tanpa meninggalkan jejak.
***
Kredit foto: Ahmad Fuad Sufyan/The Footballicious