Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Jurnal: Kenapa, Sih, Rela Menyaksikan Timnas Kelompok Umur?
19 Februari 2019 18:33 WIB
Diperbarui 21 Maret 2019 0:04 WIB
ADVERTISEMENT
Sepak bola acap membuat pelaku dan penikmatnya menihilkan akal sehat. Mungkin apa yang diungkapkan oleh Zen RS dalam kata pengantarnya di buku 'Mencintai Sepak Bola Indonesia Meski Kusut' karangan Miftakhul Fahamsyah itu ada benarnya.
ADVERTISEMENT
Zen menulis di buku itu: "Seorang pencinta memang seringkali kehilangan kewarasannya". Apa yang ada dalam tulisan tersebut saya benar-benar menemuinya.
Sore hari di bawah teriknya matahari kota Phnom Penh saya berjalan-jalan di sekitar Stadion Nasional--venue tempat Timnas U-22 Indonesia melakoni laga perdana Piala AFF U-22 2019 melawan Myanmar.
Saya beserta beberapa rekan tiba di stadion sekitar pukul 14:30 waktu setempat. Kalau dihitung-hitung, cuma terlambat 15 menit dari kedatangan Timnas U-22. Katanya, mereka tiba menggunakan bus dan mendapatkan pengawalan seperti biasa.
Stadion siang itu menampilkan suasana yang tak saya akrabi. Cenderung sepi dan hanya petugas keamanan yang terlihat di area stadion.
Saya sengaja datang lebih awal karena memang harus mengurus beberapa syarat agar bisa masuk ke dalam stadion. Selesai dengan urusan bersifat nonteknis tersebut, saya kembali ke area luar stadion untuk berjalan-jalan.
ADVERTISEMENT
Mulailah saya menemukan pemandangan yang biasa saya lihat saat Timnas Indonesia bertanding. Puluhan orang beratribut merah putih datang bergerombol ke stadion. Ada yang membawa bendera merah putih, memakai jersi dengan lambang garuda di dada, ada pula yang menggunakan syal bertuliskan Indonesia.
Hebatnya, ada yang mengaku datang dari Jakarta langsung, ada juga yang datang dari Malaysia. Bukan perkara janggal karena tak jarang orang-orang Indonesia bekerja di negara tetangga.
Optimisme menghambur keluar dari mulut penonton sore itu. Saking yakinnya, malah ada yang memprediksi Timnas U-22 menang dengan skor telak 4-0.
Namanya bicara, ya, boleh saja. 'Kan pembuktiannya di atas lapangan.
Anak buah Indra Sjafri menggunakan jersi putih di laga tersebut. Status sebagai tim tamu membuat 'Garuda Muda' harus menggunakan jersi kedua.
ADVERTISEMENT
Laga dimulai, nyanyian dilantunkan, genderang mulai ditabuh. Tribune VIP di Stadium Nasional meriah, tapi tidak dengan pertandingannya.
Timnas U-22 tampak lesu tak berdaya. Bahkan 25 menit pertama pertandingan bak neraka untuk Andy Setyo dan kolega.
Bayangkan, tak ada peluang berbahaya yang diciptakan oleh Timnas U-22 . Justru gawang yang dikawal Awan Setho tembus terlebih dulu melalui Myat Kaung Khant pada menit ke-13.
Tertinggal dengan penampilan yang buruk membuat saya mengubah pandangan. Saya lebih tertarik melihat penonton yang datang di stadion sore itu.
Saya mulai bertanya-tanya. Kok, mereka rela, ya, menonton Timnas kelompok umur? Ini 'kan bukan Timnas Senior, tidak diakui FIFA juga, dan tak bisa mengatrol posisi di peringkat FIFA.
ADVERTISEMENT
Coba saja tengok sepak bola di Eropa sana, mana ada, sih, timnas kelompok umur yang ramai penontonnya. Sepertinya cuma di Indonesia.
Rasa penasaran itu akhirnya bisa saya keluarkan. Jeda pertandingan, saya berkeliling tribune VIP dan bertemu dengan seorang pendukung Timnas Indonesia yang datang langsung dari Jakarta bernama Dammer Saragih.
Menggunakan jersi merah ditambah topi panjang berwarna merah putih membuat identitas Dammer sebagai pendukung Timnas terpampang jelas. Tentu, saya tak langsung mengutarakan rasa penasaran saya, basa-basi menanyakan pertandingan menjadi hidangan pembuka.
"Mainnya kurang bagus, kayaknya faktor lapangan, deh," seperti itu Dammer menanggapi pertanyaan saya.
Dammer saat itu datang bersama beberapa rekannya. Saya mulai bertanya kenapa dirinya bela-belain datang untuk menyaksikan Timnas berlaga di negeri orang.
ADVERTISEMENT
"Beda, beda saja rasanya gitu kita nyanyi lagu Indonesia Raya di negeri orang 'kan lain dengan di GBK," ujar Dammer.
Ini bukan kali pertama bagi Dammer melakukan 'away day'. Dirinya sudah melakukan kegiatan ini saat AFF 2012 lalu. Ya benar, saat adanya dualisme di tubuh federasi sepak bola Indonesia.
"Saya tak peduli dengan kondisi PSSI karena saya datang ke menonton Timnas demi merah putih, demi garuda di dada," tutur Dammer.
Pertanyaan saya mulai mengerucut soal kerelaan menyaksikan Timnas kelompok umur. Jawaban dari Dammer membuat saya menelan ludah.
"Kita haus gelar, mau gelar apa pun walau itu regional, kita sudah lama menunggu. Lagi juga Timnas junior kita lebih menjanjikan daripada senior," ucap Dammer.
ADVERTISEMENT
Keikhlasan dan ketulusan Dammer untuk menyaksikan Timnas berlaga meski di negeri orang memang membuat saya berdecak kagum. Ia bahkan mengesampingkan kekecewaan yang acapkali diberikan oleh Timnas yang selalu gagal menjadi juara.
"Ini mungkin yang dinamakan gila. Tapi saya juga punya grup yang isinya rekan-rekan yang suka away bareng. Jadi saya merasa tidak gila sendiri. Ternyata banyak juga orang gila dan rela menyaksikan Timnas berlaga," ucap Dammer.
Masalah biaya, Dammer memang sudah mengalokasikan jauh-jauh hari. Pria yang bermukim di Pasar Minggu itu sudah menabung lama untuk bisa menyaksikan Timnas berlaga di negeri orang.
"Saya sudah tahu jadwal Timnas bertanding dan kemudian saya nabung," ujar Dammer.
Rasa penasaran yang berkecamuk akhirnya runtuh mendengar pernyataan Dammer sore itu. Bersamaan dengan masuknya pemain ke lapangan, saya berpamitan dengan Dammer.
ADVERTISEMENT
Mungkin, sore itu Dammer dan puluhan penonton Timnas kembali merasa kecewa. Penampilan buruk ditunjang hasil tak memuaskan menjadi akhir laga versus Myanmar.
Tapi, penonton setia Timnas rasanya kebal. Toh, mereka juga sudah terlatih untuk patah hati.