Kambing Hitam Iran Itu Bernama Sardar Azmoun

29 Juni 2018 11:24 WIB
comment
5
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Sardar Azmoun di laga melawan Maroko. (Foto: REUTERS/Lee Smith/File Photo)
zoom-in-whitePerbesar
Sardar Azmoun di laga melawan Maroko. (Foto: REUTERS/Lee Smith/File Photo)
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Namanya Sardar Azmoun. Di usianya yang menginjak 23 tahun, ia memutuskan untuk pensiun sebagai pesepak bola Timnas Iran.
ADVERTISEMENT
Sepak bola Iran adalah sepak bola yang ganas. Ceritanya berjauh-jauhan dengan hal-hal manis yang kerap muncul di lapangan bola negeri lain. Tengoklah kembali kisah kiper Timnas mereka, Alireza Beiranvand, yang harus bertahan dalam kehidupan nomad untuk menggapai hasratnya sebagai pesepak bola profesional.
Atau, cerita tentang perempuan-perempuan Iran yang bertahun-tahun diharamkan untuk menyaksikan pertandingan di stadion. Perjuangan mereka bermacam-macam. Mulai dari melanggar aturan, memanfaatkan media untuk menyerukan suara mereka, hingga menyamar sebagai pria saat menikmati laga di dalam stadion. Perjuangan mereka berakhir manis. Kini, perempuan-perempuan Iran tak dilarang lagi menyaksikan para jagoannya berlaga di stadion.
Cerita muram sepak bola Iran juga tergambar dalam perjalanan Azmoun, penyerang andalan Timnas yang ikut berlaga di Piala Dunia 2018.
ADVERTISEMENT
Menanggung hasrat untuk hidup sebagai pesepak bola profesional membuat Azmoun harus rela berjauh-jauhan dengan rumahnya. Bila dirunut, kariernya sebagai pesepak bola senior memang bermula di klub asal Iran, Sepahan.
Namun, serupa kebanyakan pesepak bola, waktunya di klub pertama ini tak lama, hanya dua tahun. Setelahnya, ia memutuskan merantau ke Rusia, menerima pinangan klub bertajuk Rubin Kazan. Sempat beberapa kali berpetualang di Rusia, Azmoun pada akhirnya kembali ke Rubin Kazan.
Iran menjadi salah satu wakil Asia di Piala Dunia 2018. Tergabung di Grup B - Spanyol, Portugal, dan Maroko menjadi lawan yang harus dihadapi di fase grup. Di atas kertas, Maroko menjadi satu-satunya lawan yang masuk akal buat Iran.
ADVERTISEMENT
Buktinya, di laga ini mereka berhasil menuliskan sejarah baru: memenangi laga di Piala Dunia setelah 20 tahun. Melawan Spanyol dan Portugal, Iran memang gagal merebut kemenangan.
Tapi, hei, hasil ini tak buruk-buruk amat. Melawan Spanyol mereka hanya kalah 0-1, melawan Portugal mereka menuai hasil imbang 1-1. Malahan di laga terakhir mereka di Rusia, Beiranvand sukses mematahkan tendangan penalti megabintang Cristiano Ronaldo.
Penyelamatan Beiranvand di laga vs Maroko. (Foto: REUTERS/Lee Smith)
zoom-in-whitePerbesar
Penyelamatan Beiranvand di laga vs Maroko. (Foto: REUTERS/Lee Smith)
Segala catatan ini barangkali memang membuat Iran dipuji, tapi bagian menyenangkan itu tak didapat oleh Azmoun yang berpredikat sebagai penyerang Timnas. Selama bertanding di Rusia, tak satu gol pun yang berhasil ia ciptakan.
Yang menjadi masalah, nama Azmoun terlanjur masyhur di seantero Iran. Tak cuma dibanding-bandingkan dengan legenda sepak bola mereka, Ali Daei, Azmoun juga berjuluk Iranian Messi. Messi-nya Iran.
ADVERTISEMENT
Gagal mencetak satu gol pun di turnamen sekelas Piala Dunia, Azmoun menelan kritik. Apa boleh buat, selalu ada kambing hitam di atas tanah sepak bola. Bila sepak bola diibaratkan sebagai satu negeri, maka ia akan menjadi wilayah yang begitu memuja kemenangan.
Pemujaan yang seperti ini menjadikan kekalahan, kegagalan, dan kesalahan sebagai aib yang begitu sulit buat diterima. Ia menjadi luka yang mengakar, kepedihan yang hanya bisa dituntaskan oleh kemenangan dan kejayaan. Namun, keduanya bukan hal yang bisa digapai semudah mendapatkan kekalahan.
Makanya, kepedihan karena kekalahan selalu menjadi luka yang berumur panjang. Kalau memang kejayaan itu belum bisa direbut, setidaknya, perlu obat untuk meredakan rasa sakitnya. Dan kambing hitam menjadi pereda nyeri yang mujarab walau tak berefek lama.
ADVERTISEMENT
Sepak bola bisa kepalang kejam bila sudah menemukan kambing hitamnya. Ingat-ingat lagi perlakuan seperti apa yang diterima David Beckham karena ia diusir di laga melawan Argentina di Piala Dunia 1998.
Orang-orang Inggris tak cuma memusuhi penggawanya sendiri, tapi juga mereka yang menjadi lawan di atas lapangan. Dua belas tahun sebelum gelaran di Prancis, mereka sudah lebih dulu mengkambinghitamkan Diego Armando Maradona yang mempermalukan Inggris dengan gol tangan Tuhannya.
Korban dalam arti harfiah mewujud dalam kisah Andres Escobar di Piala Dunia 1974. Nyawanya benar-benar dicabut beberapa hari setelah kegagalannya memimpin Kolombia di Amerika Serikat. Ia menjadi musuh (hampir) seluruh umat di Kolombia karena mencetak satu gol bunuh diri ke gawang Amerika Serikat.
ADVERTISEMENT
Beiranvand tepis eksekusi penalti Ronaldo. (Foto: REUTERS/Lucy Nicholson)
zoom-in-whitePerbesar
Beiranvand tepis eksekusi penalti Ronaldo. (Foto: REUTERS/Lucy Nicholson)
Kambing hitam pada dasarnya tak bisa melakukan apa-apa. Namun, kesedihan akan berkurang kehebatannya bila ada sosok yang dipaksa untuk menanggung segala kebencian dan amarah. Artinya, kambing hitam dipaksa menderita untuk mengurangi penderitaan orang lain.
Beban seperti itulah yang ditanggung oleh Azmoun. Celakanya, ia tak menjadi satu-satunya orang yang merasakan akibatnya. Ibunya, yang memang tak mempunyai kondisi fisik prima, juga terkena dampaknya.
Luka sang anak menjadi duka sang ibu, lara sang anak menjadi penyakit sang ibu. Barangkali itu menjadi ungkapan yang paling tepat untuk menggambarkan apa yang dialami Azmoun menyoal kritik Piala Dunia tadi.
Mengutip BBC, Azmoun menjelaskan bahwa tadinya, sang ibu sudah berhasil mengatasi penyakit yang diidapnya. Namun, kondisinya kembali memburuk begitu mengetahui tumpukan kritik yang dialamatkan kepada anaknya.
ADVERTISEMENT
Azmoun punya pilihan: Karier atau ibunya. Hasrat pesepak bola atau tanggung jawab seorang anak.
Azmoun mempertaruhkan kariernya sebagai pesepak bola. Umurnya masih belia, 23 tahun. Usia ini termasuk produktif dan kepalang prima untuk melakoni karier sebagai pesepak bola. Apalagi, ia punya atribut laga yang mengesankan. Di babak kualifikasi Piala Dunia 2018, ia mencetak 11 gol dalam 14 pertandingan. Itu belum ditambah dengan catatan bermain penuh dalam tiga laga di Rusia.
"Tadinya, ibu saya sudah cukup pulih. Ia sudah bisa mengatasi penyakit serius yang diidapnya. Tentu saja saya senang karena hal ini. Sayangnya, perlakuan yang tidak baik dari sejumlah orang yang saya terima justru berdampak pada kesehatan ibu. Perlakuan buruk ini bukan sesuatu yang pantas untuk saya terima, rekan-rekan setim saya juga tak pantas mendapatkannya."
ADVERTISEMENT
"Kondisi ini membawa saya pada satu posisi yang sulit. Saya harus memilih salah satunya. Dan saya memilih ibu saya," tutur Azmoun, mengutip BBC.
Duel Azmoun vs Soares. (Foto: REUTERS/Lucy Nicholson)
zoom-in-whitePerbesar
Duel Azmoun vs Soares. (Foto: REUTERS/Lucy Nicholson)
Keputusan ini membikin Azmoun mundur sebagai penggawa Timnas Iran. Ketimbang upayanya untuk membela negara berujung pada lara sang ibu, ia memilih untuk menjadi pecundang dan beban negara, tapi bisa mengurangi nestapa ibunya sendiri.
Kambing hitam menjadi penanda keberadaan suatu masalah di satu masa dan tempat. Kambing hitam ada karena manusia butuh sosok yang riil untuk dituding sebagai sumber dari masalah yang sebenarnya belum dipahami dengan dalam.
Namun, dalam satu fase tertentu, keberadaan kambing hitam pada akhirnya justru menjadi sakral karena dipandang sebagai juru selamat. Tumbal, kalau kata orang-orang. Tetap harus mengorbankan diri, tapi setidaknya, pengorbanan itu membawa keselamatan untuk orang lain.
ADVERTISEMENT
Itulah yang sedapat-dapatnya dilakukan oleh Azmoun. Ia mengorbankan kariernya, mematikan hasratnya supaya dapat memberikan hidup kepada ibunya. Lewat keputusannya untuk gantung sepatu sebagai penggawa Timnas, ia menggadaikan kebahagiaannya supaya dapat menebus kebahagiaan sang ibu yang sempat direnggut.