Ketiadaan Ciri Khas adalah Ciri Khas Carlo Ancelotti

3 Oktober 2018 13:57 WIB
clock
Diperbarui 14 Maret 2019 21:06 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Pelatih Napoli, Carlo Ancelotti. (Foto: Reuters/Jennifer Lorenzini)
zoom-in-whitePerbesar
Pelatih Napoli, Carlo Ancelotti. (Foto: Reuters/Jennifer Lorenzini)
ADVERTISEMENT
"Ejekan dari para suporter Juventus itu sudah biasa kuterima. Yang bisa kulakukan, ya, cuma menghibur diri dengan trofi Liga Champions 2003 itu," kata Carlo Ancelotti dengan wajah datar.
ADVERTISEMENT
Barangkali, hanya Ancelotti orang yang bisa melontarkan sindiran pedas tanpa kehilangan kontrol akan air mukanya. Lagipula, untuk apa dia harus mencak-mencak? Toh, seperti yang sudah diucapkannya sendiri, dia memang sudah tak perlu membuktikan apa-apa.
Kata-kata sindiran itu diutarakan Ancelotti selepas menemani anak-anak asuhnya bermain di kandang Juventus, akhir pekan lalu. Memang, Napoli harus menelan kekalahan 1-3 dan bermain dengan sepuluh pemain. Akan tetapi, mereka mampu memberi perlawanan hebat dan Ancelotti pun merasa cukup puas dengan performa para pemainnya. Itulah pula mengapa dia merasa tak perlu melakukan konfrontasi apa-apa.
Sebagai seorang pelatih, kredensial milik Ancelotti sulit sekali ditandingi. Dia punya koleksi tiga trofi Liga Champions dan itu diraihnya dengan dua klub berbeda, Milan dan Real Madrid. Sampai saat ini, keberhasilan itulah yang menjadi definisi perjalanan karier Ancelotti, meskipun di kancah domestik dia sebenarnya tak kalah hebat.
ADVERTISEMENT
Jika Ancelotti berhasil menjuarai Liga Champions bersama dua klub, di kancah domestik dia mampu melakukannya bersama empat tim berbeda. Milan, Chelsea, Paris Saint-Germain, dan Bayern Muenchen, semua pernah merasakan sentuhan tangan dingin Ancelotti dengan meraih gelar juara liga. Rentetan gelar di curriculum vitae-nya inilah yang membuat Ancelotti disambut begitu meriah ketika memutuskan datang ke Napoli.
Pada dasarnya, Ancelotti adalah seorang pelatih juara. Maurizio Sarri, sementara itu, meskipun sudah mampu membawa Napoli tampil begitu perkasa dengan Sarriball-nya yang begitu memanjakan mata, tetap belum bisa dikatakan demikian.
Namun, perbedaan Ancelotti dengan Sarri tidaklah sampai di sana saja. Ada beragam alasan mengapa Ancelotti sudah menjadi pelatih juara dan Sarri belum. Alasan-alasan itulah yang pada akhirnya jadi pembeda sesungguhnya di antara dua pelatih tersebut.
ADVERTISEMENT
Untuk memahami sosok Ancelotti sebagai pelatih, kita mau tak mau harus menengok jauh ke belakang, ke tahun 1997, ketika dia tengah menjalani pendidikan pelatih di Coverciano. Ketika itu, untuk bisa lulus dari kawah candradimuka pelatih-pelatih Italia itu, Ancelotti menulis tesis tentang hal yang nantinya bakal jadi salah satu ciri khasnya dalam melatih.
'Il Futuro del Calcio: Piu Dinamicita'. Itulah kalimat yang dipilih Ancelotti untuk jadi judul tesis masternya. Dalam bahasa Indonesia, kata-kata itu kurang lebih berarti 'Masa Depan Sepak Bola: Lebih Dinamis'.
Bagi Ancelotti, dinamika adalah filosofinya. Dalam kamus pria kelahiran Reggiolo itu, satu-satunya yang konstan adalah perubahan itu sendiri dan itulah yang dia jiwai serta terapkan di sepanjang kariernya.
ADVERTISEMENT
Ancelotti bersama Paolo Maldini. (Foto: AFP/Stringer)
zoom-in-whitePerbesar
Ancelotti bersama Paolo Maldini. (Foto: AFP/Stringer)
Selama menjadi pelatih, Ancelotti sama sekali tidak punya ciri khas. Akan tetapi, ketiadaan ciri khas itu, di sisi lain, merupakan ciri khasnya. Terhitung sejak menangani Parma pada 1997 sampai menangani Napoli di 2018 ini, Ancelotti sama sekali tidak pernah punya formasi tetap.
Bersama Parma, Ancelotti menggunakan pakem 4-4-2 berlian. Formasi itu nantinya akan dia terapkan pula di masa-masa awalnya bersama Milan. Akan tetapi, sebelum itu dia terlebih dahulu menggunakan formasi 3-4-1-2 ketika membesut Juventus antara 1999 dan 2001.
Di Milan, setelah kedatangan Ricardo Kaka, Ancelotti mengubah formasinya dari 4-3-1-2 menjadi 4-3-2-1 alias formasi pohon natal yang, barangkali, bisa disebut sebagai formasi yang paling identik dengan Ancelotti. Meski begitu, pakem 4-3-2-1 itu sejatinya tak lebih dari cara Ancelotti untuk menunjukkan fleksibilitasnya itu. Siapa yang dia miliki di arsenalnya akan dia gunakan sebaik-baiknya. Sesederhana itu sebenarnya filosofi Ancelotti.
ADVERTISEMENT
Fleksibilitas taktik Ancelotti itu berlanjut bilamana dirinya dipercaya menanganai Chelsea. Kala itu, Ancelotti punya dua formasi berbeda, yakni 4-4-2 berlian dan 4-3-3.
Jika Michael Essien bisa bermain, maka 4-4-2 berlian yang dipilih. Namun, apabila pemain asal Ghana itu absen, maka Ancelotti akan bermain dengan pakem 4-3-3, di mana Salomon Kalou bermain sebagai penyerang sayap.
Michael Essien di Chelsea (Foto: Reuters)
zoom-in-whitePerbesar
Michael Essien di Chelsea (Foto: Reuters)
Beranjak dari Chelsea, Ancelotti diminta untuk mengangkat prestasi Real Madrid yang mentok kala berada di bawah besutan Jose Mourinho. Dengan materi pemain yang kurang lebih sama, Ancelotti mampu membawa El Real merengkuh La Decima yang begitu diidam-idamkan Florentino Perez.
Kala itu, yang jadi perhatian utama Ancelotti adalah bagaimana memaksimalkan trio Cristiano Ronaldo, Gareth Bale, dan Karim Benzema di lini depan. Oleh karenanya, formasi 4-3-3 pun dipilih. Ancelotti kemudian menyusun komposisi lini tengahnya agar bisa berfungsi sebagai mesin penyokong trio maut tadi.
ADVERTISEMENT
Berikutnya, bersama Bayern Muenchen, Ancelotti mewarisi skuat besutan Pep Guardiola yang terbiasa bermain dengan formasi 4-3-3. Sebenarnya, di sini Ancelotti tidak banyak membuat perubahan. Akan tetapi, demi mengakomodasi Thomas Mueller, Arjen Robben, dan Franck Ribery sekaligus, Ancelotti sesekali mengubah pakemnya menjadi 4-2-3-1.
Dengan formasi 4-2-3-1 itu, Ancelotti jelas akan mengorbankan satu gelandang tengahnya. Semua pemain sudah tahu rasanya dicadangkan oleh Ancelotti, entah itu Arturo Vidal, Javi Martinez, maupun Thiago Alcantara. Satu-satunya pemain yang hampir selalu dimainkan oleh Ancelotti di tengah adalah sang metronom, Xabi Alonso.
Bersama Napoli, Ancelotti melakukan hal yang tidak jauh berbeda dengan apa yang diperbuatnya bersama Bayern. Dia mewarisi tim yang sudah begitu fasih bermain possession football dalam balutan formasi 4-3-3 dan kemudian membuat tim itu jadi lebih lugas dalam menyerang dengan melakukan perubahan formasi menjadi 4-4-1-1.
ADVERTISEMENT
Insigne kreator terbaik Napoli. (Foto: Reuters/Ciro De Luca)
zoom-in-whitePerbesar
Insigne kreator terbaik Napoli. (Foto: Reuters/Ciro De Luca)
Fleksibilitas Ancelotti ini sejatinya tidak hanya diwujudkan lewat pergantian formasi dari satu tim ke tim lainnya. Lebih dari itu, ada dua hal krusial yang hampir dia selalu lakukan supaya timnya bisa berjalan dengan lancar. Pertama, rotasi pemain. Kedua, mengubah peran pemain.
Untuk rotasi pemain, ini adalah salah satu perbedaan paling menonjol antara rezim Sarri dan Ancelotti. Musim lalu, Sarri yang begitu saklek itu hampir selalu menurunkan pemain yang sama dari pekan ke pekan, terutama di Serie A. Ini membuat para pemain pun kehabisan bensin di masa-masa krusial kompetisi. Bahkan, presiden klub Aurelio De Laurentiis sendiri sampai secara terbuka menyebut bahwa keengganan Sarri melakukan rotasi itu adalah biang kegagalan Partenopei.
ADVERTISEMENT
Ancelotti, dalam hal ini, benar-benar merupakan antitesis Sarri. Musim lalu, Sarri memainkan 23 pemain dalam satu musim penuh. Saat ini, Ancelotti sudah menurunkan 21 pemain berbeda. Kebijakan ini memang sempat menimbulkan riak kala yang jadi korban adalah kapten Marek Hamsik. Namun, perlahan hasilnya sudah bisa terlihat di mana permainan Napoli jadi semakin agresif dan segar.
Bicara soal Hamsik, pemain asal Slovakia itu adalah proyek terbaru Ancelotti dalam hobinya mengutak-atik peran dan posisi pemain. Sebelum Hamsik, Angel Di Maria di Real Madrid dan Florent Malouda di Chelsea pernah merasakan perubahan ini. Dua pemain yang disebut belakangan aslinya adalah pemain sayap. Namun, keunggulan teknik dan fisik mereka membuat Ancelotti mengubah keduanya jadi gelandang tengah.
ADVERTISEMENT
Untuk Hamsik, perubahan yang dilakukan agak berbeda. Jika sebelumnya Hamsik bermain sebagai mezzala di formasi 4-3-3 milik Sarri, kali ini dia ditarik mundur untuk melakoni peran regista menggantikan Jorginho. Dalam formasi 4-4-1-1 tadi, perubahan peran Hamsik akhirnya berujung juga pada perubahan peran Allan.
Selebrasi Allan Marques bersama Marek Hamsik. (Foto: Getty Images/Francesco Pecoraro)
zoom-in-whitePerbesar
Selebrasi Allan Marques bersama Marek Hamsik. (Foto: Getty Images/Francesco Pecoraro)
Sebelum-sebelumnya, Allan adalah gelandang perusak yang perannya begitu terbatas. Bersama Ancelotti, pemain asal Brasil itu diberi kebebasan lebih. Dia adalah gelandang sapu jagat yang bermain sedikit ke depan dan diberi lisensi melakukan apa pun, mulai dari tekel sampai dribel. Inilah yang membuat eks pemain Udinese itu jadi salah satu penampil paling menonjol Napoli sejauh ini.
Kemudian, di lini depan, Ancelotti benar-benar memfokuskan taktiknya untuk kemaslahatan Lorenzo Insigne. Seperti halnya Hamsik dan Allan, peran Insigne juga diubah oleh Ancelotti. Jika sebelumnya dia adalah penyerang sayap, kali ini pemain mungil itu dimainkan di area sentral sebagai seconda punta alias second striker. Alasan Ancelotti menempatkan Insigne di situ adalah agar si pemain tak lagi perlu repot-repot bertahan.
ADVERTISEMENT
Hasilnya, Insigne pun jadi begitu produktif dengan raihan 5 gol dalam 7 laga di Serie A. Dibantu dengan keberadaan tandem yang punya atribut berbeda seperti Arkadiusz Milik, Insigne pun mendapat kebebasan luar biasa untuk berkreasi. Selain Allan, Insigne adalah penampil terbaik Napoli sejauh ini di musim 2018/19.
Jadi, begitulah. Bersama Napoli, Ancelotti masih melakukan apa yang selama ini sudah dia lakukan. Dia masih bertahan dengan ciri khasnya, yakni dengan berusaha sefleksibel mungkin menyesuaikan taktiknya dengan komposisi yang ada.
Soal hasil, sampai saat ini jelas belum bisa dinilai. Namun, keberhasilan Napoli melakukan comeback kala menghadapi Lazio dan Milan di dua pekan pertama Serie A serta bagaimana mereka menekan Juventus justru saat sedang bermain dengan sepuluh orang menunjukkan preseden baik. Napoli di bawah Ancelotti bukan lagi sebuah tim yang piawai menyerang, tetapi juga tim yang tahu bagaimana mengusahakan kemenangan.
ADVERTISEMENT