Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Kisah Fabio Cannavaro: Dari Bocah Jalanan hingga Jadi Juara Dunia
8 Juni 2021 13:56 WIB
·
waktu baca 6 menitADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT
Kala itu, Timnas Italia berhasil menjadi juara Piala Dunia. Hal tersebut diraih mereka usai sukses menaklukkan Timnas Prancis lewat adu penalti di partai puncak. Skuat besutan Marcelo Lippi pun menjadi juara dunia untuk yang keempat kalinya.
Salah satu pemain yang jadi sorotan di pentas empat tahunan tersebut adalah Cannavaro. Akibat aksinya yang tangguh menggalang lini pertahanan Italia, dengan hanya kebobolan dua gol selama turnamen, ia pun dijuluki sebagai “Tembok Berlin”. Namun siapa sangka, bek yang kini aktif menjadi pelatih itu memiliki masa lalu yang cukup sulit.
Cannavaro muda bermain sebagai gelandang kanan. Namun, ia merasa posisi ini bukan ditakdirkan untuknya. Pemain kelahiran 13 September 1973 akhirnya memantapkan hati untuk bermain sebagai bek tengah. Keputusan itu sebenarnya sedikit mengagetkan, lantaran tinggi badannya tak ideal untuk profil seorang bek tengah.
ADVERTISEMENT
Sebagai bek tengah, tinggi badan Cannavaro hanya 176 sentimeter, jauh dari ukuran ideal untuk seorang bek tengah kala itu yang identik dengan tubuh tinggi, berbadan besar, dan jago menabrakkan badan.
Ketika itu, Cannavaro dianggap terlalu kecil untuk berduel dengan pemain lawan. Akan tetapi, ia anak yang terlahir dari kerasnya kota Naples. Cannavaro paham makna kerja keras dan bertarung.
Lompatannya saat itu membuat Cannavaro terkenal di kerasnya kota Naples, sebuah kawasan dengan ekonomi rendah di mana sepak bola jalanan menjadi primadona.
Cannavaro terus memainkan sepak bola jalanan di kota Naples selama bertahun-tahun. Ia menjadi seorang pemain tangguh yang kerap mengejutkan lawan dengan skill menempel musuh dan mencuri bola. Dalam benaknya, Cannavaro bermimpi untuk bisa membela Napoli suatu saat nanti.
ADVERTISEMENT
Sepanjang sejarah, Napoli sendiri tergolong dalam klub biasa-biasa saja. Namun, sejak kedatangan Diego Armando Maradona di Kota Naples, klub tersebut menjadi salah satu kekuatan terbesar sepak bola Italia, bahkan dunia. Mereka mendominasi kompetisi di Negeri Pizza dengan memenangi turnamen Copa Italia, Scudetto, hingga Piala Eropa.
Saat Napoli mengalami masa jaya, Cannavaro masih berusia 12 tahun. Ia turut menjadi saksi dari keberhasilan klub yang bermarkas di Stadion San Paolo. Cannavaro pun kerap menonton pertandingan il Partenopei dan merayakan kemenangan bersama klub idolanya.
Setelah menunggu waktu yang cukup lama, Cannavaro akhirnya punya kesempatan untuk membela Napoli. Namun saat dirinya melakukan debut, masa kejayaan Napoli telah habis. Era Diego Maradona telah berakhir menyusul ditangkapnya sang legenda akibat terjerat kasus penyalahgunaan obat-obatan terlarang.
ADVERTISEMENT
Namun karena sukses tampilkan permainan konsisten, Cannavaro direkrut oleh klub Parma pada musim panas 1995. Kala itu, Napoli mengalami masalah finansial hingga harus menjual aset mudanya tersebut.
Tiba di Ennio Tardini pada usia 21 tahun, Cannavaro telah memulai kilau sejarah dalam kariernya. Bersama Parma, ia tumbuh menjadi bek luar biasa.
Kekurangan dalam hal tinggi badan berhasil Cannavaro tutupi dengan kemampuan melompat yang luar biasa. Ia juga diberkahi kecepatan, sebuah berkah yang membantunya menyerobot bola dari kaki lawan. Dua kelebihan itu, daya melompat dan kecepatan, dibingkai dengan kemampuan membaca pertandingan.
Lagi-lagi, Cannavaro menyadari kalau tinggi badan bisa menjadi masalah, terutama ketika harus menghalau bola dan beradu sundulan dengan pemain lawan yang lebih tinggi. Namun teknik bertahan sang pemain memang berada pada level elite. Oleh sebab itu, segala situasi genting bisa ditaklukkan dengan sangat baik.
ADVERTISEMENT
Di Parma, kedatangan Lillian Thuram dan Gianluigi Buffon semakin memperkokoh lini pertahan tim. Dengan Cannavaro, mereka berdua sukses membentuk salah satu pertahanan paling kuat di sepak bola Eropa.
Kualitas bertahan Parma saat itu banyak mendapat sanjungan, terutama dengan keberadaan Cannavaro. Bahkan, sebulan setelah jalani laga Internasional melawan Irlandia Utara pada Januari 1997, Cannavaro diikutsertakan oleh pelatih Cesare Maldini ke dalam skuat Italia yang akan jalani laga kualifikasi Piala Dunia melawan Inggris di Wembley.
Meski saat itu ditugaskan untuk mengawal Alan Shearer yang notabene merupakan striker haus gol, Cannavaro sukses meredam kehebatan sang penyerang dengan baik. Setelah pertandingan mengesankan itu, ia terus menjadi andalan Timnas Italia dalam berbagai laga.
Bersanding dengan Alessandro Nesta yang mulai populer dengan Lazio, keduanya membentuk lini pertahanan Italia yang dikenal paling terorganisir, berwibawa, dan tanpa celah. Saat itu juga, baik Cannavaro maupun Nesta langsung diplot sebagai masa depan Timnas Italia untuk beberapa tahun ke depan.
ADVERTISEMENT
Akan tetapi, hati Cannavaro pernah tersayat setelah tak mampu mengatasi ketajaman David Trezeguet di laga final Piala Eropa tahun 2000.
Kembali ke level klub, Cannavaro terus merasakan kejayaan bersama Parma dengan memborong dua gelar Copa Italia dan Piala Eropa, sebelum akhirnya ia diboyong Inter Milan di tahun 2002. Tahun tersebut juga menjadi sejarah bagi Cannavaro.
Sebab, sang pemain diberi mandat untuk gantikan peran Paolo Maldini sebagai kapten Timnas Italia yang putuskan pensiun setelah gagal juarai Piala Dunia di Korea Selatan-Jepang.
Dengan penuh keyakinan, Cannavaro terus melaju dan tingkatkan kualitas demi bisa menjadi jawara suatu saat nanti. Waktunya bersama Inter Milan tak berlangsung lama. Ia sempat mengalami kegagalan dan membuatnya direkrut Juventus pada tahun 2004. Kembali bertemu dengan Buffon dan Lillian Thuram, Cannavaro temukan permainan terbaiknya.
Bersama Si Nyonya Tua, Cannavaro sukses berikan dua gelar Liga Italia secara beruntun, meski pada akhirnya gelar tersebut harus dicabut setelah klub terlibat dalam kasus calciopoli. Meski begitu, kualitas sang pemain tetap tak terbantahkan. Hal itu terbukti saat dirinya mendapat penghargaan sebagai bek terbaik.
ADVERTISEMENT
Berkat capaiannya itu, Cannavaro akhirnya dipanggil kedalam skuat Italia yang berlaga di Piala Dunia Jerman tahun 2006. Bersama Buffon yang berada di bawah mistar, ia tampak gagah dengan ban kapten yang melingkar di lengannya.
Saat itu, Italia di bawah asuhan Marcello Lippi tidak terlalu diunggulkan. Pasalnya, sepak bola di sana sedang dihantam kasus korupsi yang amat memalukan. Tapi, semua yakin jika keajaiban bisa terjadi.
Berada satu grup dengan Ghana, Amerika Serikat, dan Republik Ceko, Italia mampu menjadi jawara grup dengan koleksi tujuh poin. Mentalitas tim saat itu benar-benar menjadi kunci sukses Gli Azzuri.
Italia menerapkan pola pertahanan disiplin dan melakukan serangan efektif melalui Luca Toni, Vincenzo Iaquinta, Alberto Gilardino dan Alessandro Del Piero. Selain itu, peran Gianluca Zambrotta dan Fabio Grosso juga semakin menambah dimensi permainan tim.
ADVERTISEMENT
Saat bertemu Timnas Jerman di partai semifinal, Cannavaro tampil begitu memukau. Tim Panser yang diisi pemain-pemain superior soal tinggi badan, mampu diredam dengan sangat baik olehnya. Cannavaro dengan kemampuan timing yang tepat beberapa kali memenangkan duel dengan para penggawa Timnas Jerman.
Setelah sukses bawa Timnas Italia menang dengan skor 2-0 melawan tim tuan rumah, Cannavaro semakin bersemangat tampil di final. Pasalnya, ia bakal bertemu Prancis yang dulu pernah menyakitinya di partai final Piala Eropa tahun 2000.
Dengan misi balas dendam, Cannavaro tampil gagah dalam memimpin rekan-rekannya. Ia berkali-kali gagalkan serangan hingga membuat lawan frustrasi. Setelah pertandingan berakhir imbang hingga waktu perpanjangan, kedua tim harap-harap cemas dalam drama adu penalti yang sangat menentukan.
Kala itu, Trezeguet yang sempat menjadi pahlawan Prancis di Piala Eropa, harus berubah menjadi pecundang karena sepakan 12 pas nya gagal menjebol jala Gianluigi Buffon. Italia pun menang dengan skor 5-3 setelah Fabio Grosso menjadi penentu kemenangan Gli Azzurri.
ADVERTISEMENT
Olympiastadion yang terletak di Berlin menjadi saksi dari perjalanan Timnas Italia dalam meraih gelar juara dunia ketiga, khususnya perjalanan sang defender yang pada akhirnya meraih trofi Ballon D’or di tahun yang sama tersebut.
Menurut catatan Transfermarkt, Cannavaro berhasil mengemas 18 gol dan 4 assist dari 677 pertandingan di level klub saat masih aktif bermain. Adapun bersama Timnas Italia, ia telah menorehkan 2 gol dari 136 caps.
Selepas gantung sepatu, Cannavaro menjadi pelatih. Kini, ia sedang bekerja di klub asal China, Guangzhou Evergrande. Pada musim ini, Cannavaro membawa timnya tersebut bertengger di urutan keempat dalam klasemen sementara Grup B di Liga Super Cina dengan koleksi 7 poin dari empat laga.
****
ADVERTISEMENT