Kisah Martin Bengtsson, Eks Inter Milan yang Sempat Depresi & Ingin Bunuh Diri

4 Juli 2022 12:06 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Martin Bengtsson. Foto: Stefania M. D'Alessandro/Getty Images
zoom-in-whitePerbesar
Martin Bengtsson. Foto: Stefania M. D'Alessandro/Getty Images
ADVERTISEMENT
Mantan pemain Inter Milan, Martin Bengtsson, pernah mencoba bunuh diri saat masih berkarier sebagai pesepak bola. Niatan tersebut terjadi saat dirinya berumur 17 tahun atau pada tahun, ketika dirinya direkrut Nerazzurri.
ADVERTISEMENT
Masuk sebagai pemain junior di klub yang memiliki nama dan sejarah panjang membuat sosoknya selalu diharapkan untuk bisa melebihi karier dari Ibrahimovic atau Wayne Rooney. Namun kenyataannya, mimpi dan kariernya tiba-tiba hancur setelah sembilan bulan di Italia. Bengtsson malah mengalami depresi hebat karena cedera yang menimpanya tak kunjung membaik.
Akhirnya, Bengtsson terpaksa harus kembali ke negara asalnya yaitu Swedia. Banyak yang berharap dia lekas kembali menuju Milan. Sayangnya, takdir berkata lain. Sampai usianya menginjak 18 tahun, tidak pernah ada peluang untuk kembali sehingga memutuskan untuk pensiun dini.
Dalam masa penyembuhan, Bengtsson akhirnya mulai menulis setelah disarankan oleh terapisnya. Hal itu dilakukan Bengtsson karena ia sering dianggap berhenti berkarier karena narkoba. Padahal sebenarnya ia tengah berjuang untuk segera pulih total dari cedera yang dialaminya selama ini.
Martin Bengtsson. Foto: Stefania M. D'Alessandro/Getty Images
"Saya marah dengan apa yang telah terjadi dan itu bisa menjadi motivasi saya untuk mulai menulis. Dan ketika saya menulis, saya sadar bahwa ini adalah cerita yang hilang. Tidak ada yang dapat menceritakannya kecuali dari saya sendiri," ucap Bengtsson kepada CNN Sport.
ADVERTISEMENT
Ketika Bengtsson mulai menerbitkan karya pertamanya yaitu "In the Shadow of San Siro" pada 2007, ia berharap supaya sepak bola mulai saat itu bisa lebih memahami soal kesehatan mental pemain. Berdasarkan pengalamannya, ia merasa tidak hanya menghadapi cedera fisik saat meninggalkan Inter Milan pada 2004, namun juga menderita secara mental.
Setelah bukunya terbit, Bengtsson pun memutuskan hijrah ke Berlin di mana ia bertemu pembuat film dan penulis, Ronnie Sandahl pada 2011, lalu keduanya menjalin hubungan sebagai teman baik. Pria yang kini berusia 36 tahun itu, mengaku sudah sejak lama mengagumi sosok Sandahl dalam dunia seni.
Tepat 9 tahun pertemanan keduanya berlangsung, Sandahl kemudian berhasil menerjemahkan cerita Bengtsson ke layar kaca dengan judul "Tigers" yang rencananya akan dirilis di bioskop Inggris pada 1 Juli 2022. Melalui film tersebut, Sandahl mengisahkan perjalanan hidup Bengtsson sebagai pemain muda yang gagal mencapai cita-citanya sebagai bintang sepak bola karena berbagai permasalahan salah satunya yaitu terkait dengan kesehatan mental.
Martin Bengtsson. Foto: Stefania M. D'Alessandro/Getty Images
Dalam film itu juga diungkapkan banyak sekali seluk-beluk yang dialami oleh pemain sepak bola muda dalam menggapai mimpinya. Tidak seenak yang dilihat di layar kaca, ternyata kehidupan pesepak bola juga tidak jauh dari realitas sehari-hari yang banyak diselimuti oleh persaingan yang tidak sehat hingga egoisme antarmanusia.
ADVERTISEMENT
Hal ini dibuktikan melalui data ESPN yang mengatakan bahwa hanya 1% peluang bagi pesepak bola usia 9 tahun untuk bisa mewujudkan mimpinya menuju karier profesional. Sisanya, mereka akan lebih sering dianggap gagal sebagai pesepak bola sehingga masa depannya akan suram.
Sandahl \melihat bahwa dunia sepak bola tidak sekeren kedengarannya, lebih tepatnya di sana cenderung serupa halnya dengan perdagangan manusia. Sebuah studi oleh CIES Football Observatory menyatakan bahwa klub-klub Inggris saja telah mengumpulkan lebih dari USD 2,17 miliar (Rp 34,4 triliun) pada Juli 2015 hingga Februari 2022 dari hasil transfer pemain muda yang baru lulus dari akademi dan setidaknya telah bermain selama 3 tahun.
Banyaknya uang serta keuntungan itu, seakan sudah menutupi betapa pentingnya nasib anak muda itu untuk dilindungi dari pemanfaatan bakatnya belaka oleh segelintir pihak. Apalagi ketika banyak klub atau akademi yang tidak pernah memikirkan soal kesehatan mental khususnya bagi para pesepak bola muda.
ADVERTISEMENT
Melalui berbagai pertimbangan itulah, Liga Inggris misalnya untuk musim 2021/22 lalu telah menerapkan peraturan bagi setiap akademi sepak bola untuk menyediakan fasilitas psikolog untuk para muridnya. Hal ini dilakukan untuk mencegah terjadinya depresi bagi pemain muda yang tentunya sangat rawan terjadi akibat ekspektasi dan tuntutan yang sangat tinggi.
Penulis: Bennartho Denys