Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Kisah Sani Riski, Terjebak di Persimpangan Akibat PSSI Disanksi FIFA
1 Maret 2019 18:33 WIB
Diperbarui 21 Maret 2019 0:03 WIB
ADVERTISEMENT
"Harapan saya, Pak (Argo Yuwono). Maaf, bukannya saya mau dikasihani. Maaf Pak, tapi sampai sekarang masih kontrak (rumah) dan gadai dalam waktu dua tahun."
ADVERTISEMENT
Jika lazimnya orang akan malu mengatakan hal demikian, apalagi itu diucapkan di tengah-tengah sosok Kabid Humas Polda Metro Jaya. Akan tetapi, pria itu mengucapkannya seolah-olah hanya setangkup roti yang langsung habis dimakan dalam sekali gigit di pagi hari.
Ya, itulah sosok Edi Riyadi. Ayah dari pesepak bola yang kini namanya tengah melambung, Sani Riski Fauzi. Dengan tegas dan tanpa ditutup-tutupi, ia juga menyebutkan beberapa pekerjaan yang pernah ia lakoni, seperti jadi tukang bangunan, tukang cat, tukang ojek, serta kehidupannya yang serba sederhana di sebuah desa di daerah Cicurug, Sukabumi, Jawa Barat.
Meski begitu, ia tidak menutupi kebanggaan sekaligus rasa haru saat anaknya menjadi salah satu penggawa Timnas U-22 yang sukses menggondol trofi Piala AFF. Edi pun hadir menemani anaknya dalam acara apresiasi terhadap prestasi Sani yang diadakan di Mako Brimob Kwitang, Jakarta Pusat, Jumat (1/3/2019).
ADVERTISEMENT
Pada kesempatan itu pula, Edi menceritakan bagaimana sang anak mengenal bola pada awalnya hingga bergabung dengan kepolisian sebelum akhirnya dipanggil Timnas U-22.
Perkenalan Sani dengan Sepak Bola
Mengenakan baju hitam, Edi menyambut kumparanBOLA dengan hangat. Dengan logat bahasa Sunda khas Sukabumi yang kental, Edi bercerita perihal perkenalan sang anak dengan sepak bola.
"Jadi begini, dulu sejak usia dua tahun sudah ketahuan ada ciri khasnya (Sani suka bola), waktu itu saya punya uang Rp 30 ribu, saya belikan mainan robot-robotan. Nah, mainan itu tidak dimainkan. Tapi, kalau dikasih bola baru dia mau, bahkan sampai tidur bolanya dipeluk terus," ujar Edi memulai ceritanya.
Dari situ, ia mulai berkisah bahwa darah sepak bola Sani ini memang sudah turun dari dua orang sekaligus, yakni sang kakek, Damung Niharja, dan sang ibu, Ida Kusumawati. Sang kakek adalah pemain tim Putra Sunda, sedangkan sang ibu pernah bermain di Galanita--kompetisi sepak bola untuk perempuan pada 1980-an silam.
ADVERTISEMENT
"Kalau saya memang di bola tidak cocok, karena saya emosian. Kalo saya cita-citanya mau jadi petinju. Terus, waktu dulu saya juga pernah pengen jadi tentara. 'Kan dulu dari RT ada dua jatah jadi tentara, tapi enggak direstuin orang tua. Intinya, jd tentara enggak kesampaian, lalu punya cita-cita jadi petinju," ujar Edi.
"Dulu saya sampai ngumpulin pasir pake karung untuk dipukul-pukulin), ini urat tangan saya sampai patah skrg. Saking saya senangnya (sama tinju)," tambahnya.
Dengan seorang ayah yang pernah coba jadi petinju, disertai kakek dan ibu yang juga seorang pesepak bola, tak heran darah atlet mengalir dalam diri Sani. Kesadaran Edi dan istrinya akan bakat sepak bola yang dimiliki Sani membuat mereka memasukkan Sani ke tim sepak bola Cicurug, PSPB (Persatuan Sepak Bola Putra Bangsa) pada usia 8 tahun.
ADVERTISEMENT
Di situlah, Sani mulai menekuni sepak bola dengan lebih serius. Ketika sudah masuk tim inilah, Sani kembali menunjukkan gelagat bahwa ia memang benar-benar menyukai sepak bola. Sang ayah kembali bercerita perkara suatu kejadian yang membuatnya semakin yakin Sani memang berbakat di sepak bola.
"Ada cerita unik juga waktu dulu. Jadi dia (Sani) malamnya panas, intinya sakit dia. 'Kan di sana kalau SSB latihannya Minggu, nah Sani itu malemnya panas. Sama ibunya dibilangin jangan latihan, tapi Sani bilang pokoknya mau latihan, karena kalau di lapangan banyak teman. Tapi, memang kalau sudah di lapangan mah alhamdulillah sembuh, sehat," ujar Edi.
Menekuni Sepak Bola dengan Lebih Serius
Seiring bertambahnya usia, Sani mulai menekuni sepak bola dengan lebih serius. Menginjak usia 12-13 tahun, ia mulai ikut beberapa kompetisi sepak bola, salah satunya Liga Danone di Bandung. Pada 2010, ia menjadi pemain harapan, sementara setahun berselang, ia keluar sebagai pencetak gol terbanyak.
ADVERTISEMENT
Mulai tekunnya Sani akan sepak bola ini diamini oleh sang ayah. Dengan sifat dasar Sani yang memang tekun, ulet, dan mau bekerja keras plus disiplin, Sani mampu menjadi pemain inti di PSPB yang diasuh oleh Acep Engkus. Dari PSPB ini pula, beranjak memasuki usia 16-17, ada sebuah jalan takdir yang membawanya ke Ibu Kota.
"Waktu masih kelas dua SMA, pas masih di PSPB, dari Jakarta ada yang mantau, Urakan FC. Waktu itu dia sekitar 16-17 tahun. Nah, Urakan itu lagi cari bakat untuk Soeratin daerah Jakarta. Terus ada laga persahabatan antara PSPB lawan Gema Putra," kenang sang ayah.
"Sani 'kan main tuh, sampai dia golin (bikin gol). Abis main dia dipanggil sama pelatih PSPB, Acep Engkus. Yang dibawa itu dua orang, Sani sama Egi. Ceritanya untuk ikut pelatihan di Urakan FC. Dia berangkat akhirnya ke Pasar Rebo. Dia ikut latihan di sana, enggak tahu berapa lama, ikut Soeratin. Egi dipulangin, Sani mah terus," lanjutnya.
ADVERTISEMENT
Bersama Urakan FC, Sani mampu merasakan atmosfer Piala Soeratin, tepatnya pada 2014 silam. Ia tampil gemilang, dan sukses mengantarkan Urakan FC ke Bandung untuk mengikuti babak lanjutan Soeratin. Sayang, di babak delapan besar, mereka dikalahkan oleh Persib Bandung. Namun, dari Urakan inilah, jalan Sani berkarier di sepak bola terbuka lapang.
"Waktu itu dia main di Urakan, mungkin ada pembicaraan antara pelatih Urakan dengan PPLP Ragunan, waktu dia SMA kelas dua, ada pengumuman kalau Sani harus pindah ke PPLP Ragunan. Dia masuk Ragunan tuh, dan saya ngurus soal pindahannya dia ke Jakarta. Setelah dari situ, diurus di situ, dia semangat di situ, sampai ceritanya lulus dia dari situ (PPLP Ragunan)," ungkap Edi.
ADVERTISEMENT
Namun, setelah lulus dan bersiap untuk terjun di dunia sepak bola profesional, kegamangan menghampiri Sani. Bukan karena tidak ada klub yang mau menggunakan jasanya, melainkan PSSI yang terkena sanksi FIFA. Hal itu terjadi pada 2015, tepat ketika Sani lulus dari bangku sekolah. Edi pun mengakui ketika itu Sani sempat bingung akan ke mana, karena sepak bola tidak ada.
Beruntung, Sani memiliki ibu yang bisa memberikan dorongan semangat. Sang ibu yang mengungkapkan bahwa "kalau memang rezeki Sani di sepak bola, pasti akan jalan lagi", menghidupkan semangat dalam diri Sani. Ketika itulah tawaran dari kepolisian datang. Polisi sedang membutuhkan atlet dan Sani dalam posisi kosong.
Meski sempat minder, keseriusan Sani membuat dirinya pun lulus masuk Sekolah Polisi Negara (SPN) di Lido, Bogor. Di situ, ia ditempa jadi polisi, dan setelah melalui masa pendidikan yang apik, Sani lulus dari SPN pada 7 Maret 2017. Kisah ini pun dikenang Edi dengan baik.
ADVERTISEMENT
"Nah dia (Sani) sempet bingung tuh karena PSSI dibekukan. Saya ngomong, 'Sani gimana PSSI dibekukan?' Tapi istri saya ngomong, 'Ya biarin pak, kalau rezeki mah enggak ke mana. Kalau memang rezeki Sani di bola pasti akan jalan lagi di bola'," ujar Edi.
"Terus waktu itu dari atlet ragunan ada permintaan untuk jadi polisi. Dia izin ke saya ikut tes di SPN, buat pengalaman. Ya, alhamdulillah Sani dapet," lanjutnya.
Di Lido pula, setelah lulus pada Maret 2017, Sani memulai lembaran baru dalam hidupnya yakni menjadi polisi sekaligus pesepak bola. Di Kepolisian, ia pernah bertugas di Satuan Sabhara Polda Metro Jaya, dan kini ia bertugas di Satuan Brimob Polda Metro Jaya. Sedangkan di level klub, usai tampil apik bersama Bhayangkara FC U-19, ia mulai main reguler bersama tim senior pada musim lalu.
ADVERTISEMENT
***
Waktu sudah beranjak siang. Obrolan kami dengan Edi harus diakhiri karena kebetulan beberapa orang juga ingin mengobrol dengannya. Tak lupa, Edi mengungkapkan harapan akan masa depan Sani.
"Harapan ke depan, semoga Sani lebih giat lagi, dikasih kesehatan, semoga dia dikasih yang terbaik ke depannya," ucap Edi.
Harapan orang tua Sani tampaknya serupa dengan keinginan pecinta sepak bola nasional. Karena, Sani kini bukan hanya milik kedua orang tuanya, bukan hanya milik klubnya, melainkan juga sudah menjadi milik masyarakat Indonesia.