Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
ADVERTISEMENT
Selebrasi gol Marco Tardelli ke gawang Jerman Barat pada final Piala Dunia 1982 adalah salah satu selebrasi gol yang paling kerap diputar ulang. Momen itu memang amat ikonik dan kuat. Tak hanya itu, proses terjadinya gol pun terhitung menarik.
ADVERTISEMENT
Jika kita menyaksikan tayangan ulang gol tersebut via YouTube, misalnya, kita akan melihat sosok pemain Italia bernomor punggung "7" di dalam kotak penalti Jerman. Postur pemain itu memang agak "aneh" untuk pemain bernomor punggung seperti itu. Tubuhnya kekar, alih-alih ramping, dan wajar saja, karena dia memang bukan pemain sayap atau pemain depan. Si pemain bernomor punggung "7" itu adalah seorang pemain bertahan bernama Gaetano Scirea.
Lalu bagaimana sosok pemain bertahan bisa berada di kotak penalti dan terlibat dalam sebuah gol open play?Jawabannya sederhana: Karena dia, Scirea, adalah seorang libero.
***
Kata "libero" sendiri berasal dari bahasa Italia yang berarti "bebas". Dalam urusan sepak bola, orang Italia mengenal terma "battitore libero" yang secara harfiah berarti "pemukul bebas". Terma ini digunakan untuk mendefinisikan cara, posisi, dan peran bermain pemain-pemain seperti Scirea ini. Mereka adalah para pemain bertahan yang diberi kebebasan, baik itu dalam perkara bertahan maupun menyerang.
ADVERTISEMENT
Dalam urusan bertahan, para libero ini biasanya ditempatkan di antara dua bek sentral dan penjaga gawang. Dalam sepak bola modern, mereka disebut spare man, seperti bek yang berada di tengah dalam formasi tiga bek. Dalam jagat persepakbolaan di mana mayoritas tim menggunakan dua penyerang sebagai juru gedor utama, keberadaan satu pemain bertahan sisa ini difungsikan untuk menghalau bola dan/atau pemain yang lolos dari penjagaan dua stopper. Itulah mengapa posisi-cum-peran ini amat populer di Italia. Dengan catenaccio alias pertahanan gerendel sebagai identitas, libero adalah simbol dari sepak bola Italia itu sendiri.
Dari sini, tak heran jika banyak sekali nama libero legendaris yang berasal dari Italia. Sejak Ivano Blason menjadi pionir bersama Triestina-nya Bela Guttmann, muncullah nama-nama agung seperti Armando Picchi (Grande Inter), Gaetano Scirea (Juventus), hingga Franco Baresi (Milan).
ADVERTISEMENT
Meski begitu, ada perbedaan yang mendasar antara libero era awal seperti Blason (dekade 1950-an) dan Picchi (dekade 1960-an) dengan libero-libero generasi berikut seperti Scirea (1970-an s/d 1980-an) dan Baresi (1980-an s/d 1990-an). Blason dan Picchi adalah libero yang tugas utamanya murni untuk urusan bertahan. Mereka inilah yang kemudian disebut sebagai sweeper. Tugas utama mereka adalah menghalau dan menyapu, meski tak menutup kemungkinan pula bagi mereka untuk menjadi inisiator serangan. Picchi, di era Helenio Herrera yang sangat mengandalkan serangan balik, juga sesekali menjalankan tugas ini dengan membawa bola sampai ke lapangan tengah.
Sementara itu, Scirea dan Baresi, seperti halnya Franz Beckenbauer, Velibor Vasovic, Lothar Matthaeus (di pengujung kariernya), dan Matthias Sammer, adalah libero-libero adiluhung yang selain luar biasa tangguh dalam bertahan, juga punya kemampuan membangun serangan yang luar biasa. Mereka punya kemampuan olah bola dan visi yang sukar dicari padanannya. Orang-orang ini tak ubahnya deep-lying playmaker yang kini jadi nyawa nyaris setiap tim sepak bola.
ADVERTISEMENT
Adapun, kepopuleran libero di Italia sering membuat orang salah mengira bahwa peran/posisi ini ditemukan oleh orang-orang Italia. Memang benar bahwa Ivano Blason adalah salah satu libero generasi awal, akan tetapi penemu posisi/peran ini sebenarnya merupakan seorang Rumania bernama Alexandru Apolzan.
Apolzan sendiri merupakan jagoan Tim Nasional Rumania dan Steaua Bukarest persis setelah Perang Dunia II selesai. Oleh pelatih Magical Magyars, Gusztav Sebes, Apolzan dipuji setinggi langit. Bagi Sebes, Apolzan -- bersama dua rekannya yang lain, Ion Voinescu dan Titus Ozon -- adalah pemain-pemain yang kualitasnya setara dengan para penggawa Hongaria kala itu. Tentu saja, Hongaria ketika itu mendapat julukan “Magical Magyars” bukan tanpa alasan kuat. Mereka adalah tim paling dominan di dunia pada awal hingga (mati prematur pada) pertengahan 1950-an.
ADVERTISEMENT
Sayang, ketika itu Rumania sangat tertutup dari dunia luar sehingga sedikit sekali info yang bisa dikorek mengenai Apolzan. Dari berbagai mitos mengenai dirinya, ada yang mengatakan bahwa Apolzan mulai bermain sebagai sweeper/libero sebagai respons terhadap tim Brasil yang memainkan 4-2-4 asimetris. Brasil sendiri kemudian menjadi juara dunia 1958 & 1962 menggunakan formasi unik tersebut.
Meski di atas kertas tertulis bahwa Brasil memainkan empat penyerang, secara teknis, penyerang tengah mereka tetap dua orang. Dua penyerang tengah itu kemudian tetap berhadapan dengan dua orang bek tengah. Untuk mengakali pemain-pemain dengan teknik individual ciamik tersebut, Apolzan kemudian berinisatif untuk menjadi pemain yang berpatroli di belakang dua stopper tersebut.
Awalnya, peran/posisi libero ini amat populer dalam sistem pertahanan dengan basis penjagaan orang-per-orang (man-to-man marking). Dengan begitu, para libero akan benar-benar berfungsi sebagai spare man yang bisa mendatangkan keuntungan numerikal baik dalam situasi defensif maupun ofensif. Namun, ketika totaal voetbal ala Belanda menghancurkan sistem ini dengan mudah, sistem pertahanan pun berubah.
ADVERTISEMENT
Sebelum pertahanan zona menjadi satu-satunya cara bertahan dewasa ini, dunia pernah mengenal sebuah cara bertahan bernama zona mista. Lagi-lagi, orang-orang Italia-lah yang menjadi pelopornya.
Secara sederhana, zona mista ini merupakan hibrida antara man-to-man dan zonal marking. Setiap pemain masih diberi tanggung jawab untuk menjaga satu orang lawan. Akan tetapi, siapa harus menjaga siapa tidak lagi terikat pada posisi awal, melainkan kebutuhan. Jika ada pemain yang out-of-position, maka pemain terdekat harus segera mengisi area yang ditinggalkan tersebut. Fluiditas itulah yang dipinjam zona mista dari totaal voetbal.
Dalam sistem pertahanan zona mista inilah Gaetano Scirea berkibar. Gelar Piala Eropa (pendahulu Liga Champions) dan Piala Dunia diraih pria yang meninggal dunia akibat kecelakaan mobil tahun 1989 ini. Di Juventus, Scirea dilatih oleh Giovanni Trapattoni, sementara di timnas, dia berada di bawah arahan Enzo Bearzot.
ADVERTISEMENT
Setelah mencapai puncak pada dekade 1980-an, popularitas libero mulai menunjukkan tanda-tanda kemerosotan pada dekade 1990-an. Meski masih banyak tim yang menggunakan, seperti Jerman dengan Sammer dan Matthaus-nya atau Rumania dengan Gheorghe Popescu-nya, libero mulai ditinggalkan, khususnya ketika dekade 1990-an makin mendekati akhir.
Di final-final kompetisi Eropa, misalnya, Real Madrid 2000 dan Internazionale 1998 menjadi dua tim terakhir yang menggunakan libero. Real Madrid menggunakan Ivan Helguera di final Liga Champions 2000 sementara Inter memasang Salvatore Fresi di final Piala UEFA 1998. Kecenderungan tim-tim era modern untuk menggunakan penyerang tunggal membuat keberadaan libero/sweeper menjadi mubazir.
Salah satu contoh paling nyeleneh dari hal mubazir ini adalah ketika Italia bertemu Spanyol di fase grup Euro 2012 lalu. Ketika itu, Italia menggunakan Daniele De Rossi sebagai libero sementara Spanyol menggunakan formasi striker-less 4-6-0. Alhasil, pertandingan pun berlangsung amat menjemukan dari kacamata penikmat (walau menarik dari kacamata pengamat taktik), meski berakhir tidak dengan tanpa gol (1-1).
ADVERTISEMENT
Libero sendiri, seperti halnya pemain no. 10 klasik, meski sudah “punah”, tetap merupakan sebuah peran yang amat dihormati. Pasalnya, dibutuhkan pemain yang betul-betul spesial untuk bisa memainkan peran ini dengan baik. Siapa pula yang berani meragukan kualitas seorang Franz Beckenbauer atau Gaetano Scirea? Mereka adalah kearifan zaman yang mungkin memang akhirnya harus ditempatkan di rak tertinggi lemari arsip sejarah sepak bola.