Marcello Lippi di Inter: Noda Hitam yang Terlupakan

8 Desember 2017 16:57 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Lippi pada tahun 2003. (Foto: AFP/Paolo Cocco)
zoom-in-whitePerbesar
Lippi pada tahun 2003. (Foto: AFP/Paolo Cocco)
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Pertama Helsingborg, lalu Reggina, dan setelah itu, Marcello Lippi dimakzulkan.
ADVERTISEMENT
Tak banyak sosok seperti Lippi. Dari pandangan pertama saja, sudah bisa dilihat betapa mewahnya sosok satu ini. Rambut keperakan, setelan jas karya desainer kondang, plus cerutu di tangan dengan asapnya yang mengepul tebal membuat sosok Lippi tak ubahnya karakter di film-film Italia era Marcello Mastroianni.
Namun, untuk Lippi, tampak luar itu sama sekali bukan sebuah upaya untuk menutupi kekurangan di dalam. Malah, penampilan elegan yang membuat Sir Alex Ferguson tampak seperti "seorang buruh yang megap-megap" itu adalah sebuah penegasan dari Lippi bahwa dia adalah personifikasi dari "la bella figura"--berarti "figur yang elok"--itu sendiri.
Semua kisah tentang Lippi pasti narasinya selalu berputar di situ dan hal tersebut jelas tidak bisa dipisahkan dari apa yang dia capai bersama Juventus di era 1990-an. Di masa-masa itulah figur Lippi berubah dari sekadar figur menjadi sebuah mitos. Mitos tentang kesempurnaan, mitos tentang keberhasilan.
ADVERTISEMENT
Segala yang diceritakan orang tentang Lippi itu memang tak berlebihan. Dia datang ke Juventus saat tim itu sedang berada dalam masa sulit. Usai mencapai masa kejayaan di bawah Giovanni Trapattoni pada era 1980-an, awal dekade 1990-an menjadi masa-masa di mana Juventus terpuruk. Lippi pun kemudian secara instan mengubah peruntungan "Si Nyonya Tua". Dari keterpurukan di Serie A, Juventus dibawanya menguasai dunia.
Namun, masa-masa Lippi di Juventus ini tidak berakhir manis. Musim 1998/99, setelah Alessandro Del Piero mengalami cedera dan harus absen sampai akhir musim, prestasi Juventus ambles. Meski masih diperkuat nama-nama beken macam Zinedine Zidane dan Filippo Inzaghi, Bianconeri akhirnya cuma mampu finis di urutan keenam. Walau bukan sepenuhnya salah Lippi, dia akhirnya tetap mundur.
ADVERTISEMENT
Dengan reputasi yang dimilikinya, tentu saja Lippi tidak butuh waktu lama untuk mendapat tawaran pekerjaan baru. Internazionale yang pada musim 1998/99 prestasinya lebih jeblok lagi dibanding Juventus pun kemudian datang menghampiri. Inter yang baru saja ditangani empat pelatih--Luigi Simoni, Mircea Lucescu, Luciano Castellini, dan Roy Hodgson--berharap agar Lippi mampu menghadirkan stabilitas yang jelas-jelas tak mereka miliki.
Akhirnya, Lippi pun diperkenalkan pada musim panas 1999. Setelah itu, datang pula pemain-pemain berkelas dalam diri Christian Vieri, Ivan Cordoba, Angelo Peruzzi, Christian Panucci, Laurent Blanc, Clarence Seedorf, Luigi Di Biagio, sampai Vladimir Jugovic. Di saat yang bersamaan, nama-nama seperti Gianluca Pagliuca, Fabio Galante, Youri Djorkaeff, Aron Winter, Diego Simeone, dan Taribo West disingkirkan. Optimisme pun merebak di Appiano Gentile.
ADVERTISEMENT
Singkat cerita, Inter akhirnya berhasil memperbaiki peringkat pada musim 1999/2000 itu. Mereka finis di urutan keempat Serie A dan memenangi play-off melawan Parma untuk lolos ke Liga Champions. Kemudian, di Coppa Italia pun mereka berhasil melaju ke partai puncak meski kemudian harus mengakui keunggulan Lazio. Dengan kata lain, walau belum optimal, reformasi yang dilakukan Lippi mulai terasa efeknya.
Namun, semua hal positif itu cuma sampai di situ saja.
Lippi bersama Baggio dan Vialli. (Foto: Wikimedia Commons)
zoom-in-whitePerbesar
Lippi bersama Baggio dan Vialli. (Foto: Wikimedia Commons)
Musim berganti, peruntungan Inter dan Lippi pun berganti. Hanya 15 bulan setelah ditunjuk menangani Nerazzurri, Lippi dipecat.
Semua berawal dari kegagalan Inter melewati adangan Helsingborg di play-off Liga Champions. Ketika itu, skuat milik La Beneamata memang tengah compang-camping. Vieri dan Ronaldo yang diharapkan menjadi tumpuan utama lini serang masih berkutat dengan cedera. Alhasil, urusan mencetak gol pun harus diserahkan kepada Hakan Sukur serta Robbie Keane yang baru saja datang. Selain itu, beberapa nama penting seperti Angelo Peruzzi dan Christian Panucci pun telah angkat kaki.
ADVERTISEMENT
Pada leg pertama play-off, Inter bertandang ke markas Helsingborg dengan skuat seadanya. Di sebelas awal mereka, nama-nama semenjana seperti Christian Brocchi dan Cyril Domoraud. Bahkan, Andrea Pirlo yang kala itu masih belia pun dijadikan tumpuan. Dengan dikapteni pemain semenjana lain, Benoit Cauet, Inter takluk 0-1 lewat gol Michael Hansson.
Inter pun pulang ke Italia dengan kepala tertunduk. Akan tetapi, di situ mereka masih meyakini bahwa kekalahan dari tim asal Swedia itu hanya sebuah kebetulan. Di leg kedua, mereka berharap bahwa San Siro bakal menyediakan tuah yang dibutuhkan untuk lolos.
Tuah itu, pada akhirnya, tak pernah datang. Di leg kedua, Inter ditahan imbang 0-0 dan akhirnya, Inter pun harus puas turun kelas ke Piala UEFA.
ADVERTISEMENT
Hanya sekitar dua pekan setelah kegagalan memalukan di tangan Helsingborg itu, Inter menatap laga resmi ketiga mereka musim itu. Kali ini, lawannya adalah Lazio di ajang Supercoppa Italiana.
Skuat yang diturunkan Lippi pada laga melawan Lazio itu tidak jauh berbeda dari skuat saat menghadapi Helsingborg. Bedanya, di situ Cauet tak lagi menjadi kapten dan Sebastien Frey tak lagi mengawal gawang mereka. Marco Ballotta pun kemudian didapuk sebagai kapten sekaligus kiper di laga tersebut, sementara Hakan Sukur dan Robbie Keane masih diandalkan di lini depan.
Celakalah Inter karena kemudian, mereka kembali kalah. Unggul lebih dulu lewat aksi Robbie Keane, Inter akhirnya tertinggal 1-3, memperkecil kedudukan menjadi 2-3, kembali tertinggal 2-4, hingga akhirnya kalah 2-3. Sampai pada titik itu, kursi Lippi yang sudah panas dari sananya itu semakin membara.
ADVERTISEMENT
Hingga akhirnya, datanglah partai yang menentukan itu. Untuk membuka musim 2000/01, Inter harus melawat ke Oreste Granillo, markas Reggina.
Awalnya, semua bakal terlihat mulus bagi Inter setelah Alvaro Recoba membawa mereka unggul saat laga baru berusia 10 menit. Namun, duet penyerang Reggina, Davide Possanzini dan Massimo Marazzina, berkata lain. Mereka rupanya tidak rela dipermalukan di depan publik sendiri dan akhirnya, dua gol yang mereka cetak membuat Inter harus kembali ke Milan dengan menanggung malu.
"Mereka semua anak-anak manja!" semprot Lippi pada konferensi pers pascalaga ketika itu. "Kalau saya jadi bos Inter, saya bakal pecat pelatihnya dan bakal saya tendangi para pemain saya."
Tak lama kemudian, kata-kata Lippi itu menjadi kenyataan meski sampai sekarang tidak diketahui apakah Massimo Moratti pernah menendangi bokong para pemainnya. Dengan demikian, momen terburuk dalam karier Lippi itu pun terjadi.
ADVERTISEMENT
Apa yang dialami Lippi itu, menurut Wakil Presiden Inter kala itu, Peppino Prisco, merupakan imbas dari ketiadaan sistem permainan yang jelas.
"Saya merasa sedih dengan apa yang dialami Lippi, tetapi bagaimana mau menang kalau sistemnya saja tidak ada?" ucap Prisco.
Namun, Lippi punya penjelasan lain. Setelah lama bungkam perihal "tragedi" itu, Lippi angkat bicara pada 2015 lalu. Menurutnya, satu-satunya penyebab dia gagal di Inter bukanlah soal ketiadaan sistem, tetapi karena di situ, dia hampir tidak pernah bisa memainkan Ronaldo dan Vieri secara bersamaan.
"Mereka berdua sedang berada di usia matang dan siap menerkam siapa pun. Namun, dengan berbagai cedera yang menghantam, mereka akhirnya cuma bermain bersama tiga kali," keluh Lippi.
ADVERTISEMENT
Meski begitu, Lippi tak pernah menyesali keputusannya menangani Inter. Bagi pria yang kini berusia 69 tahun itu, masa-masanya bersama Inter adalah hal biasa.
"Anda tentunya tidak bisa selalu menang, 'kan?" kata Lippi. "Kadang saya di atas, kadang di bawah, dan Inter adalah momen ketika saya berada di bawah. Inter adalah tim hebat. Sayangnya, kami ketika itu tidak berhasil."
Tak cuma itu, satu hal lain yang membuat Signor Lippi tak pernah menyesali itu adalah bagaimana kiprahnya bersama Nerazzurri itu mempertemukannya kembali dengan Vieri yang pernah diasuhnya di Juventus. Bahkan, menurut kesaksian Lippi sendiri, usai dipecat, Vieri-lah yang kemudian menghiburnya.
"Sejak itu, kami tak pernah berhenti saling percaya," kenang pelatih yang membawa Italia jadi juara dunia ini.
ADVERTISEMENT
"Pada akhirnya, momen seperti itulah yang membuatmu mendapatkan sahabat," imbuhnya.
Adapun, Lippi sendiri butuh waktu setahun untuk kembali mendapat pekerjaan. Pada musim 2001/02, dia kembali ke Juventus yang baru saja mengalami kegagalan di bawah Carlo Ancelotti. Kesuksesannya di Juventus untuk kedua kalinya itu kemudian membawa dirinya ke kursi commisario tecnico Lo Nazionale. Semua itu akhirnya menjadi bagian dari perjalanan panjang Lippi yang tidak akan pernah dilupakannya sampai kapan pun.