Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Marcelo Bielsa: Menanti Ide Gila dari "Si Gila"
20 Februari 2017 13:44 WIB
Diperbarui 14 Maret 2019 21:18 WIB
ADVERTISEMENT
“Mereka amat determinan dan terorganisir, punya keyakinan penuh pada diri mereka sendiri. Ini adalah kekhasan dari pelatih mereka. Ia telah menanamkannya di dalam tim itu. Kami tahu bahwa pertandingan ini bakal berat buat kami. Sebab, ini adalah tim Athletic terbaik yang pernah saya lihat dalam beberapa tahun belakangan.”
ADVERTISEMENT
Ucapan tersebut terlontar dari mulut manajer Manchester United, Sir Alex Ferguson, sebelum anak asuhnya bertemu Athletic Bilbao dalam partai perdana kedua kesebelasan pada babak 16 besar Liga Europa 2011/12 di Old Trafford, 8 Maret 2012.
Kalimat tersebut tidak lain tidak bukan ditujukan untuk juru taktik Bilbao saat itu, Marcelo Bielsa. Dan omongan Ferguson ini benar-benar terjadi beberapa hari setelahnya. Menjalani dua pertemuan —di Old Trafford dan San Mames— United terpaksa bertekuk lutut setelah kalah agregat 3-5.
Pujian Ferguson untuk Bielsa memang beralasan. Pria yang disebut beberapa media dengan sebutan El Loco atau “Si Gila” ini memang gemar melakukan revolusi. Bilbao hanya salah satu dari sekian keberhasilannya dalam melakukan revolusi taktik pada sepak bola modern.
ADVERTISEMENT
Dalam sebuah wawancara, Bielsa menjelaskan bahwa taktiknya ini bukan sekadar hasil percobaan. Dia mengakui belajar dan melakukan analisis dari dua konsep yang digunakan oleh dua pelatih lawas asal Argentina, César Luis Menotti and Carlos Bilardo, yang sama-sama menekankan permainan mulai dari ketika tidak membawa bola.
Akibat revolusi tersebut, nama Bielsa pun melambung. Tak heran, ketika Ligue 1 Prancis masih menyisakan 12 pertandingan lagi dan dia ditunjuk sebagai pelatih Lille OSC musim depan, banyak media Prancis yang sudah berani berspekulasi: kegilaan apa lagi yang akan dia lakukan di Stade Pierre-Mauroy?
Membicarakan Bielsa tak bisa dilepaskan dari kata pressing alias bagaimana cara seorang pemain menekan lawan. Apa yang dilakukan oleh anak asuhnya sendiri bukan sekadar menekan pemain lawan, tetapi juga membuat lawan sulit untuk mengembangkan permainan.
ADVERTISEMENT
Apa yang dilakukan Bielsa memang cenderung unik dan tidak wajar. Dia mewajibkan satu pemainnya untuk memegang satu pemain lawan dan meminta mereka untuk, bagaimanapun caranya, membuat pemain lawan tak kuasa untuk mempertahankan bola —entah itu mengikuti ke manapun mereka bergerak atau dengan tekel.
Dalam suatu kejadian, dia pernah menggambarkan taktiknya dengan definisi: “Ketika lawan sedang menguasai bola, seluruh pemain harus bersiap untuk melakukan pressing. Selalu coba untuk memotong permainan lawan sedekat mungkin dengan gawang mereka. Ketika bola sudah kita dapatkan, kita tentu akan dengan mudah memainkan permainan dan menciptakan sebuah peluang.”
Tak heran, dengan model seperti itu, Bielsa melupakan pakem dasar dalam permainan sepak bola: formasi. Meski dia dikenal kerap menggunakan formasi 3-3-1-3, eks-pelatih Olympique Marseille ini tidak jarang mengutamakan konsep pressing ketimbang bermain dalam sebuah formasi.
ADVERTISEMENT
Pernah satu kali Bielsa bermain tanpa formasi karena mengharuskan pemainnya untuk masing-masing mengawal pemain lawan. Bagi Bielsa, gelandang-gelandangnya bukanlah awal untuk membangun serangan, melainkan sebagai pencegat sebelum bola sampai ke lini belakang timnya.
Keputusan Bielsa untuk kembali ke Prancis pun membuat banyak orang ingat akan prestasinya di Marseille. Satu musim lebih beberapa pekannya dia di sana, memang cukup indah dan patut untuk dikenang pendukung klub asal tenggara Prancis ini.
Bukan hanya karena sukses memberikan warna baru bagi Ligue 1, tetapi juga karena membawa Marseille menduduki posisi keempat klasemen akhir musim 2014/15—yang sekaligus terbaik dari tiga musim terakhir mereka pada kompetisi level teratas Prancis tersebut.
Berbekal nama-nama yang saat itu masih medioker, seperti Dimitri Payet, Michy Batshuayi, Florian Thauvin, Mario Lemina, dan Gianneli Imbula, Bielsa mampu mengubah Marseille menjadi tim yang sulit dikalahkan. Pada musim tersebut, Marseille bahkan sempat hanya dua kali kalah dan sekali imbang dari 15 partai Ligue 1 musim tersebut.
ADVERTISEMENT
Prestasi gemilangnya saat menangani Marseille tak membuat kariernya di sana berakhir manis. Usai menelan kekalahan dari Caen pada pertandingan pertama Ligue 1 musim 2015/16, Bielsa memilih untuk mengundurkan diri. Tak jelasnya sistem pembelian pemain dan kontrak disebut sebagai alasan mengapa Bielsa mengundurkan diri.
Kembali ke Lille, keputusan merekrut Bielsa untuk menjadi juru taktik di musim depan tentu membuat telinga lawan mereka panas. Melihat susunan pemain yang dimiliki oleh Lille saat ini, sebenarnya tidak ada yang perlu diubah oleh Bielsa. Beberapa pemain pun dirasa akan cocok jika melihat skuat Marseille di era Bielsa.
Persoalannya, apakah Bielsa mampu mengubah Lille dalam satu kedipan mata?