Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
ADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT
Ini jelas pencapaian impresif. Artinya, performa Leicester masih lebih baik ketimbang ketiga personel big six lainnya, Chelsea, Tottenham Hotspur, dan juga Manchester United.
Jamie Vardy boleh jadi yang terdepan soal kontribusi gol. Sudah 5 gol yang sukses dicetak pemain berumur 32 tahun itu atau sekitar 36% dari total gol Leicester di Premier League.
Bila Vardy jadi Batman, James Maddison yang memerankan Robin-nya. Betul, eks pemain Norwich City itu adalah kreator serangan utama Leicester. Rata-rata umpan kuncinya menyentuh 1,6 per laga. Maddison juga sejauh ini jadi penyumbang assist terbanyak klub di angka 2.
Namun, tingginya indikator performa klub tak hanya diukur dari produktivitas saja, melainkan juga resistansi mereka dalam membendung serangan lawan. Itu terpapar dengan jumlah 7 gol yang bersarang ke gawang Leicester --cuma kalah dari Liverpool.
ADVERTISEMENT
Dalam aspek defensif ini, Leicester bisa berterima kasih kepada Wilfred Ndidi dan Ricardo Pereira. Keduanya jadi penggawa The Foxes yang paling aktif memutus serangan lawan.
Menurut data WhoScored, Ndidi dan Pereira sudah menciptakan masing-masing 35 tekel sejauh ini --tertinggi di antara seluruh pemain Premier League.
Maka tak heran kalau Leicester jadi tim dengan jumlah tekel tertinggi, 177. Unggul jauh dari West Ham United di posisi kedua (165) dan peringkat ketiga Southampton (161).
Hebatnya lagi, koleksi kartu Ndidi dan Pereira begitu minim. Ndidi baru mengemas sebiji kartu kuning, sementara Pereira masih bersih. Ini menjelaskan kualitas mereka sebagai pemutus serangan.
Well, melancarkan tekel bukanlah perkara mudah. Dibutuhkan timing yang tepat --kombinasi dari kecepatan serta kemampuan dalam membaca pergerakan lawan. Bila meleset dikit, siap-siap saja menerima kartu kuning dari wasit. Paling apes, ya, diusir lantaran kartu merah.
ADVERTISEMENT
Masih segar di ingatan bagaimana N'Golo Kante jadi sosok vital saat Leicester merengkuh mahkota Premier League di musim 2015/16. Kala itu Claudio Ranieri memfungsikannya sebagai penggerus serangan lawan--untuk kemudian mengonversinya menjadi serangan balik via Daniel Drinkwater-Marc Albrighton ke Riyad Mahrez-Vardy.
Nah, sistem permainan Brendan Rodgers saat ini sebenarnya tak jauh berbeda dengan Ranieri. Leicester masih mengandalkan sisi tepi dan counter attack sebagai opsi serangan.
Sudah 2 gol yang dibuat Youri Tielemans dan kawan-kawan via serangan balik. Sebagai pembanding, tak ada klub yang mencatatkan gol lebih banyak dari mereka dengan skema demikian.
Kembali lagi kepada Ndidi dan Pereira. Menjadi spesial karena kontribusi mereka tak sebatas aksi defensif saja, tapi juga perkara mencetak angka. Keduanya berhasil mengemas masing-masing 2 gol di Premier League sejauh ini.
ADVERTISEMENT
Pereira berhasil memanfaatkan kewenangannya untuk aktif membantu serangan dari sisi sayap. Golnya ke gawang Spurs pekan keenam jadi buktinya.
Soal agresivitas, full-back asal Portugal itu sudah menunjukkannya di musim-musim sebelumnya, sih. Termasuk semasa Pereira masih berseragam Nice dan FC Porto. Total 8 gol dan 18 assist dibuatnya di pentas liga sejak empat musim ke belakang.
Sementara, Ndidi difungsikan untuk memaksimalkan umpan lambung. Posturnya yang kekar memang cukup ideal untuk menyokong lini depan Leicester yang terbilang mini. Lihat saja golnya saat berhadapan dengan Chelsea Agustus lalu, serta aksinya menjebol Newcastle United dua pekan silam.
Besar kans Pereira serta Ndidi untuk menggemukkan pundi-pundi golnya untuk Leicester . Dalam beberapa pekan ke depan mereka hanya akan berhadapan dengan lawan-lawan yang relatif buruk dalam bertahan. Sebut saja Burnley, Southampton, Crystal Palace, Arsenal, Everton, Watford, Aston Villa, dan Norwich--sebelum bersua dengan Manchester City pada pertengahan Desember.
ADVERTISEMENT