Menyelami Anomali Philippe Coutinho

26 Juni 2019 17:03 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Gelandang Brasil, Philippe Coutinho saat bertanding melawan Bolivia di Copa America 2019. Foto: Getty Images
zoom-in-whitePerbesar
Gelandang Brasil, Philippe Coutinho saat bertanding melawan Bolivia di Copa America 2019. Foto: Getty Images
ADVERTISEMENT
Bila Barcelona dan La Liga adalah realitas yang pahit bagi Philippe Coutinho, maka Tim Nasional (Timnas) serta Brasil Copa America 2019 ini adalah pelarian sempurna baginya. Ia berhasil mencetak 2 gol dari 3 pertandingan bersama Brasil di sana, torehan yang membawanya nangkring sebagai topskorer turnamen sementara --bersama Duvan Zapata.
ADVERTISEMENT
Bandingkan dengan kenyataan pahit ini: 5 gol dari 34 laga bersama Barcelona di La Liga atau 11 gol dalam 54 penampilan di lintas ajang musim 2018/19. Catatan gol Coutinho di atas jelas berada di bawah ekspektasi Blaugrana.
Minimnya kontribusi itu kemudian jadi alasan para pendukung Barcelona menuangkan cemoohan dari pinggir lapangan. Wajar, sih, Coutinho adalah penyandang predikat pemain termahal sepanjang sejarah Barcelona dengan banderol 145 juta euro.
Lantas, apa yang membuat Coutinho flop di Camp Nou?
Coutinho dalam laga Liga Champions menghadapi Lyon. Foto: AFP/Pau Barrena
Sebelum sampai sana, kita perlu mengenang kejayaan Coutinho di Liverpool pada musim 2016/17. Ia berhasil mengemas 13 gol dan 7 assist dari 31 laga di Premier League kala itu. Torehan golnya bahkan jadi yang terbanyak untuk The Reds, setara dengan raihan Sadio Mane.
ADVERTISEMENT
Keberhasilan itu tak terlepas dari kejelian Juergen Klopp yang memasangnya sebagai winger kiri dalam wadah 4-3-3. Peran Coutinho lebih dari lebih dari sekadar pemain sayap malah. Ia tak hanya dituntut untuk rajin mendulang peluang, tetapi juga diberi akses lebih untuk mengakhiri peluang tersebut.
Menurut WhoScored, Coutinho menjadi pemain Liverpool yang paling intens melepaskan tembakan dengan rata-rata 3,4 per laga di ajang Liga. Sebagai gambaran, Roberto Firmino yang berada di urutan kedua mengukir 2,9.
Nah, ini problemnya. Barcelona punya Lionel Messi dan Luis Suarez. Ya, dua pemain yang terbukti mafhum urusan ketajaman dan memproduksi peluang.
Nama yang disebut belakangan merupakan salah satu penyerang tertajam di dunia saat ini. Sementara Messi menjadi lebih komplet karena berperan menjadi playmaker di Barcelona. Singkatnya, tak ada tempat bagi Coutinho untuk memainkan porsi yang ia mainkan semasa berseragam Liverpool.
ADVERTISEMENT
Secara formasi, Barcelona sebenarnya tak jauh berbeda dengan Liverpool di edisi 2016/17, yakni sama-sama mengaplikasi pakem 4-3-3 --meski pada praktiknya berubah ke 4-4-2. Namun, bukan perkara formasi tim yang jadi penyebabnya, melainkan lebih kepada peran yang dipegang Coutinho.
Sialnya, eks penggawa Inter Milan itu tak cukup cepat soal akselerasi. Jadi bukan ide yang brilian bagi Ernesto Valverde untuk memainkannya di sisi tepi. Terutama ketika menghadapi tim yang mengandalkan kekuatan fisik.
Kekalahan 0-4 dari Liverpool di semifinal leg kedua Liga Champions jadi salah satu buktinya. Coutinho gagal bersinar melawan mantan timnya. Bukan cuma nihil umpan kunci, ia juga tak mencatatkan satupun dribel sukses dalam laga yang dihelat di Anfield tersebut.
ADVERTISEMENT
Suasana pertandingan Liverpool vs Barcelona. Foto: REUTERS/Phil Noble
Perkara kontribusi winger, Barcelona masih bisa bertumpu kepada Ousmane Dembele. Alasannya, itu tadi, ia lebih unggul soal kecepatan ketimbang Coutinho. Terpenting, pemain berusia 22 tahun itu merupakan pemain yang mahir dalam mengakomodir serangan. Sebagai gambaran, rata-rata umpan kunci sebesar 1,6 per laga di La Liga --tertinggi kedua di Barcelona setelah Messi.
Pengakomodir serangan cepat, itulah aspek yang paling dibutuhkan Barcelona, bukan sosok playmaker seperti Coutinho. Lagipula eksistensi dua atau lebih playmaker justru bakal menghambat performa tim. Torehan gol Dembele juga tak buruk-buruk amat karena sukses mengemas 8 gol di ajang liga, hanya kalah dari Messi dan Suarez.
Pemain Barcelona, Ousmane Dembele, di laga melawan Huesca. Foto: REUTERS/Albert Gea
Eks pemain Barcelona, Michael Laudrup, pernah menilai bahwa Coutinho adalah versi ofensif dari Iniesta. Keduanya sama-sama piawai dalam urusan umpan dan mengatur ritme permainan.
ADVERTISEMENT
Namun, bukan hanya visi mumpuni yang jadi aspek utama seorang gelandang. Dibutuhkan stamina serta determinasi yang lebih untuk menjajah lini tengah. Lebih-lebih untuk tim sekelas Barcelona yang menuntut kedinamisan para gelandangnya.
Nah, atribut itulah yang tak dimiliki Coutinho. Maka cukup logis andai Valverde cenderung memilih Arturo Vidal dan Arthur Melo sebagai gelandang, bukan Coutinho.
---
Juru taktik Brasil, Tite, tahu betul bagaimana kelebihan dan kekurangan Coutinho. Pria berusia 58 tahun menyerahkan jabatan playmaker tim kepadanya. Terlebih, Brasil saat ini telah kehilangan Neymar sang motor serangan yang tengah cedera.
Oke, absennya penggawa Paris Saint-Germain itu mungkin bakal mengurangi ketajaman lini depan 'Tim Samba'. Akan tetapi, di satu sisi hal itu bakal mendongkrak peran Coutinho sebagai pengatur serangan tunggal --setali tiga uang dengan porsinya bersama Liverpool.
ADVERTISEMENT
Coutinho dipasang sebagai gelandang serang dalam wadah 4-2-3-1, diapit Richarlison serta David Neres di kedua tepi. Kendati begitu, ia diberi kebebasan untuk menjelajah ke sisi sayap.
Pun demikian soal kewenangan untuk melepaskan tembakan dan tak sekadar mendulang peluang. Maka tak heran bila Coutinho berada pada posisi nomor wahid di timnya soal rata-rata intensitas tembakan (3) dan umpan kunci (4).
Oh, ya, keberadaan Firmino sebagai false nine juga turut mendongkrak performa Coutinho, khususnya dalam memanfaatkan ruang di area depan. Gol keduanya ke gawang Bolivia di laga perdana Copa America Grup A jadi buktinya. Saat sukses mengonversi umpan silang Firmino dari sisi kanan.
Gelandang Brasil, Philippe Coutinho saat menjadi mengeksekusi tendangan penalti melawan Bolivia di Copa America 2019. Foto: Getty Images
Well, Coutinho memang terbenam sejak hengkang dari Liverpool pada Januari 2016. Jumlah gol dan assist-nya mengalami penurunan drastis.
ADVERTISEMENT
Namun, hal itu tak bisa jadi tolok ukur tunggal dan dalam kasus ini, pemosisian serta perubahan perannya di Barcelona layak untuk dijadikan dalih. Toh, Coutinho terbukti masih bisa berpendar bersama Brasil, menjadi pemain tersubur di Copa America sejauh ini pula.