Michael Carrick: Sang Orkestrator dari Bayang-bayang

12 Juli 2017 16:15 WIB
clock
Diperbarui 14 Maret 2019 21:17 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Pemimpin dari balik layar, Michael Carrick. (Foto: Instagram/Manchester United)
zoom-in-whitePerbesar
Pemimpin dari balik layar, Michael Carrick. (Foto: Instagram/Manchester United)
ADVERTISEMENT
Tony Carr tidak pernah merasakan nikmat dan gemerlapnya dunia sepak bola profesional sebagai pemain. Lahir pada 1950 di London, Carr muda menghabiskan waktu tiga tahun di akademi West Ham United yang masyhur itu.
ADVERTISEMENT
Namun, meski kemudian dipromosikan dan terdaftar di tim utama West Ham selama dua musim, Carr tidak pernah tahu rasanya bermain dengan kostum kebanggaan The Hammers. Pada tahun 1971, dia akhirnya dibuang ke Barnet, menghabiskan semusim yang tidak impresif di sana, dan pensiun dini sebagai pesepak bola.
Sepintas kisah hidup Carr ini memang sangat tidak menarik. Akan tetapi, hal itu semua berubah ketika dia akhirnya memutuskan untuk kembali ke West Ham sebagai pelatih usia muda pada 1973. Selepas itu, dunia Tony Carr berubah seketika.
Puluhan tahun berkecimpung di akademi West Ham sebagai pelatih hingga akhirnya menjadi kepala, Tony Carr telah bertanggung jawab atas kelahiran talenta-talenta hebat yang di kemudian hari menjadi nama-nama besar di persepakbolaan Inggris. Puncaknya, tentu saja, terjadi pada akhir 1990-an dan awal 2000-an ketika akademi West Ham menelurkan nama Rio Ferdinand, Frank Lampard, Joe Cole, Jermain Defoe, John Terry, Glen Johnson, dan Michael Carrick.
ADVERTISEMENT
Ada sebuah cerita menarik yang terjadi pada tahun 1998 silam. Ketika itu, dalam sebuah sesi latihan, manajer Harry Redknapp berencana untuk menggelar latih tanding bagi tim utama West Ham. Kebetulan, ketika itu Redknapp kekurangan orang.
Redknapp pun menelepon Carr. "Tony," kata Redknapp kala itu. "Aku butuh satu gelandang. Bisakah kau mengirimkan satu orang ke sini?"
Carrick yang saat itu masih berusia 17 tahun dikirim oleh Carr. Selepas laga, bintang West Ham asal Israel, Eyal Berkovic, bertanya kepada Carr, "Siapa bocah itu?"
"Itu adalah Michael Carrick muda," sahut Carr.
"Well, suatu hari nanti dialah yang akan menyingkirkanku dari tim utama. Aku yakin itu," kata Berkovic.
Tony Carr bersama Lampard, Cole, dan Terry. (Foto: Twitter)
zoom-in-whitePerbesar
Tony Carr bersama Lampard, Cole, dan Terry. (Foto: Twitter)
Secara teknis, prediksi Berkovic itu tidak terbukti karena pada tahun 1999, dia dilego ke Celtic. Sementara itu, Carrick yang mulai masuk tim utama West Ham pada tahun yang sama justru disekolahkan terlebih dahulu ke Swindon Town dan Birmingham City sebelum kembali pada tahun 2000.
ADVERTISEMENT
Namun, terlepas dari benar secara teknis atau tidaknya pernyataan Berkovic itu, Carrick memang kemudian menjelma menjadi salah satu pemain paling diandalkan kubu West Ham. Meski bintang utama mereka kala itu adalah Joe Cole (yang merupakan sobat kental Carrick), West Ham tidak bisa hidup tanpa Carrick.
Tony Carr sendiri menemukan Carrick ketika sedang melawat ke Inggris Timur Laut, tepatnya ke kota Wallsend yang masuk dalam wilayah Tyne and Wear. Kala itu, di tahun 1997, Carrick masih bermain untuk Wallsend Boys Club, sebuah klub sepak bola level junior yang pernah menelurkan Alan Shearer, Steve Bruce, dan Peter Beardsley.
"Saat masih berusia 14 tahun, setiap liburan sekolah dia (Carrick --red) pasti datang ke sini (West Ham). Kita tak pernah tahu apa yang akan terjadi dengan pemain muda, tetapi Michael selalu menunjukkan bahwa dia mampu beradaptasi. Pindah dari Timur Laut ke London Timur bukan perkara mudah, tetapi bagi Michael semuanya berjalan lancar," tutur Carr dalam wawancara dengan Mirror.
ADVERTISEMENT
Carrick saat berseragam West Ham United. (Foto: Twitter/Football Memories)
zoom-in-whitePerbesar
Carrick saat berseragam West Ham United. (Foto: Twitter/Football Memories)
"Ron Greenwood dan John Lyall (dua pelatih akademi West Ham) sedari awal sudah menekankan betul bagaimana gaya bermain yang mereka inginkan; dengan satu-dua sentuhan. Itu cocok sekali untuk Michael," lanjutnya.
Sebagai pemain, memang itulah yang sangat diandalkan Carrick. Sentuhannya begitu halus dan visinya terus berkembang dari tahun ke tahun. Tak heran jika Xabi Alonso pun sampai tidak tahan untuk melontarkan pujian kepada dirinya.
Namun, secara kasatmata, Carrick memang tidak pernah terlihat melakukan hal-hal spektakuler. Lain halnya dengan Steven Gerrard, Frank Lampard, atau Paul Scholes. Cara bermain Carrick yang kelewat simpel itu seringkali dilihat sebagai sebuah keterbatasan alih-alih kelebihan.
Faktanya adalah, baik sebagai pemain sepak bola maupun sebagai pribadi, Carrick tidak pernah lekat dengan hal-hal spektakuler. Istrinya sekarang, Louise, sudah dipacarinya sejak kanak-kanak dan kehidupan rumah tangga mereka pun jauh dari rumor miring.
ADVERTISEMENT
Kemudian, satu hal lain yang menunjukkan bahwa Carrick memang tidak perlu hal-hal heboh adalah pilihan mobilnya. Di saat pesepak bola modern doyan sekali memamerkan koleksi mobil sport, Carrick dengan hipsternya mengendarai mobil Audi A6. Jika dibandingkan dengan Ferrari 599 GTB milik Cristiano Ronaldo, mobil Carrick itu tak ubahnya Toyota Avanza di depan Toyota Alphard.
Carrick elegan tapi tak cukup perlente. (Foto: Ben A. Pruchnie/Getty Images)
zoom-in-whitePerbesar
Carrick elegan tapi tak cukup perlente. (Foto: Ben A. Pruchnie/Getty Images)
Meski pilihan mobil Carrick itu ada sangkut pautnya dengan rezim Alex Ferguson yang tidak menyukai pemainnya mengendarai mobil sport, pilihan itu sangat berbau Carrick. Mobil yang cukup elegan, nyaman, tetapi tidak cukup perlente.
Carrick sebenarnya bisa jauh lebih perlente dari sekarang. Jika saja para manajer Tim Nasional Inggris bisa memahami bahwa untuk mendampingi Lampard dan Gerrard mereka butuh gelandang bertahan seperti Carrick, mungkin narasi hidup Carrick bakal sedikit lain.
ADVERTISEMENT
Namun, seperti yang sebenarnya sudah dia tunjukkan sejak masih di West Ham, dia tidak akan pernah menjadi seperti karibnya, Joe Cole, yang memang diberkati kemampuan untuk meliuk-liuk di area pertahanan lawan. Walau begitu, Joe Cole -- begitu pula Lampard dan Gerrard -- tidak akan bisa berfungsi dengan baik tanpa keberadaan Carrick.
Syukurnya, meski tidak pernah terlalu dipercaya di Three Lions -- demi tuhan, dia hanya punya 34 caps senior --, Carrick adalah konstanta tak tergantikan di Manchester United. Bersama "Setan Merah", Carrick sudah pernah mengecap semua gelar yang mungkin didapat, mulai dari Piala FA sampai Liga Champions, mulai dari Liga Inggris sampai Liga Europa. Setidaknya, meski tidak semuanya, masih ada yang mau dan mampu mengapresiasi Carrick.
ADVERTISEMENT
Musim depan adalah musim ke-11 Carrick berkostum Manchester United. Sudah tidak lama lagi memang waktunya karena usia sudah mengejar. Namun, di musim yang mungkin akan jadi musim pemungkasnya di Salford, dia diserahi tanggung jawab menjadi kapten sepeninggal Wayne Rooney.
Carrick, sang orkestrator dari bayang-bayang. (Foto: Getty Images/Shaun Botterill)
zoom-in-whitePerbesar
Carrick, sang orkestrator dari bayang-bayang. (Foto: Getty Images/Shaun Botterill)
Pemilihan Carrick menjadi kapten itu memang sudah tidak bisa diperdebatkan lagi. Selain merupakan pemain paling senior, dia pun, seperti yang diungkapkan Timothy Fosu-Mensah suatu kali, merupakan teladan yang baik, khususnya bagi para pemain muda.
Namun, ada indikasi bahwa musim depan Carrick tidak akan banyak bermain. Meski berstatus sebagai kapten tim, dia akan lebih banyak mendelegasikan tugas kepada sang wakil, Ander Herrera. Lagi-lagi, situasi ini pun sangat bernapaskan Michael Carrick. Seharusnya ada persis di bawah sorot lampu, tetapi harus rela menyingkir ke bayang-bayang.
ADVERTISEMENT
Ah, bicara soal bayang-bayang, Anda ingat partai testimonial Michael Carrick di Old Trafford tempo hari? Di situ, Carrick memang mencetak sebuah gol indah dari luar kotak penalti. Namun, yang menjadi sorotan utama laga itu justru berlanjutnya perseteruan Gary Neville dan Jamie Carragher. Di hari yang dipersembahkan untuk dirinya saja, kilau Michael Carrick masih kalah terang.
Namun, bagi Carrick sepertinya itu tak pernah jadi soal. Dia sudah terbiasa dengan itu dan barangkali, dia lebih bahagia berada di sana. Toh selama hampir 20 tahun berkarier di level tertinggi sepak bola itulah yang membuat dirinya begitu spesial. Masalahnya, jika tak ada Michael Carrick, siapa pula yang mampu menjadi Michael Carrick?