Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Mursyid Effendi: Timnas Susah Juara Bukan karena Kualat Saya, tapi PSSI Sendiri
14 Desember 2021 10:57 WIB
·
waktu baca 5 menitDiperbarui 30 Desember 2021 0:51 WIB
ADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT
Mari melihat dulu contoh di Eropa. Liverpool pernah disebut tak akan pernah lagi bisa menjuarai Liga Inggris akibat ulah Bruce Grobbelaar, kiper yang membela mereka selama 1981–1994, yang menimbulkan 'kutukan'.
Jadi, Grobbelaar mengaku pernah membuat perjanjian dengan dukun. Tidak dijelaskan detail isi perjanjiannya, tetapi kiper legendaris Zimbabwe itu bilang bahwa si dukun datang ke Anfield dan menaruh sesuatu di sekitar gawang.
Dukun tersebut mengatakan, yang intinya, kalau sampai Grobbelaar pindah dari Liverpool, Liverpool tidak akan bisa juara Liga Inggris lagi. Syarat untuk mengenyahkan 'kutukan' itu adalah Grobbelaar harus mengencingi empat sisi gawang di Anfield.
Beralih ke Portugal, ada 'kutukan' yang menyelimuti SL Benfica. Tim berjuluk As Aguias alias 'si Elang' itu pernah mengenyam kejayaan bersama pelatih asal Hongaria, Bela Guttmann.
ADVERTISEMENT
Prestasi juga Liga Portugal (2 kali) dan Piala Portugal (1 kali) disumbangkan olehnya buat Benfica. Namun, ada trofi yang sampai sekarang tidak bisa disumbangkan pelatih selain Guttmann untuk Benfica, yakni Liga Champions atau yang dulu bernama European Cup.
Benfica meraihnya secara beruntun pula, pada musim 1960/61 dan 1961/62. Kala itu, Jose Aguas dan kolega mengalahkan masing-masing mengalakah Barcelona (3-2) dan Real Madrid (5-3) di final.
Itu jelas prestasi membanggakan. Tak heran jika Guttmann meminta kenaikan gaji ke manajemen Benfica. Namun, itu ditolak mentah-mentah, Guttmann marah, dan cabut dari Benfica pada 1962 sambil melontarkan 'kutukan', "Tidak akan mungkin dalam 100 tahun kalian akan menjadi juara di Eropa!"
Nyatanya sampai sekarang, hampir genap 60 tahun, Benfica tidak pernah lagi juara Liga Champions atau juga Liga Europa. Benfica bisa mencapai lima final Liga Champions dan tiga final Liga Europa setelah era Guttmann, tetapi selalu kalah.
ADVERTISEMENT
Indonesia memiliki 'kutukan' sepak bola sendiri. Katanya, Timnas Indonesia tidak akan pernah menjadi juara karena 'kutukan' Mursyid Effendi.
Mursyid jadi pesakitan usai mencetak gol bunuh diri ke gawang Thailand pada Piala AFF 1998 di Vietnam. Pertandingan itu digembar-gemborkan sebagai laga yang menodai sportivitas dengan sebutan 'Sepak Bola Gajah'.
Entah berapa orang yang sebenarnya terlibat dalam skandal tersebut. Namun, sejarah lalu merundung Mursyid sebagai 'pendosa' tunggal yang kemudian dilarang tampil selamanya di kompetisi internasional, Nyatanya, ia tak pernah menerima langsung surat hukuman dari FIFA.
"Orang kalau enggak tahu saya, pasti memusuhi, silakan, tetapi kalau sudah ketemu pasti berbalik 360 derajat. Kalau belum tahu saya, pasti mengoloki, [isu] gol bunuh diri yang dimunculkan pasti. Kalau sudah ketemu saya, pasti berbalik. Biar saja, yang bisa menilai itu kan bukan orang, tetapi Tuhan," lanjutnya.
Mari melihatnya secara logika. Lihatlah Liverpool, mereka sukses menepis takhayul 'kutukan' tersebut dengan bukti menjuarai Liga Inggris 2019/20 sejak sebelumnya terakhir pada 1989/90.
ADVERTISEMENT
Apakah kesuksesan itu karena Liverpool pergi ke dukun? Jelas, itu bukan sebab The Reds bisa juara Liga Inggris lagi.
Liverpool benar-benar berbenah dari manajemen, perekrutan pelatih, hingga pemilihan pemain. Dengan begitu, terciptalah tim yang mampu bermain apik dan sulit dikalahkan. Trofi Premier League adalah buah yang mereka petik.
Bagaimana dengan Benfica? Kekalahan di delapan final terkesan tak masuk akal, tetapi sebenarnya bisa dicerna logika. Mari fokus ke tiga final Liga Champions di Era 60-an.
Pada final 1962/63, Benfica bertemu dengan Milan yang diperkuat Jose Altafini dan Gianni Rivera. Sebuah laga dua tim yang kekuatannya cukup seimbang, ketiadaan Jose Aguas di final menyulitkan Benfica, skor akhir 2-1. Aguas adalah pencetak gol di dua final sebelumnya.
ADVERTISEMENT
Semusim berselang, Benfica masuk final lagi, bertemu rival Rossoneri yang bernama Inter Milan. Sial karena lagi-lagi Eusebio jadi yang paling bisa diandalkan di lini depan. Nerazzurri di bawah asuhan Helenio Herrera adalah tim dengan pertahanan tangguh dan sukses menang 1-0.
Pada 1967/68, Benfica dikalahkan Manchester United yang telah bangkit usai 'Tragedi Muenchen 1958'. Dua gol Bobby Charlton dan masing-masing gol tunggal George Best serta Brian Kidd hanya bisa dibalas satu gol Jaime Graca.
Lantas, bagaimana dengan final-final setelahnya? Waktu berlalu, kompetisi Liga Portugal kalah pamor dan kalah kualitas dari liga-liga lain. Ini menyebabkan tim-tim termasuk Benfica kesulitan menjadi juara kompetisi Eropa.
Tercatat, cuma Porto yang bisa jadi juara Liga Champions asal Portugal selain Benfica. Itu pun pada 1986/87 dan 2003/04, sudah lama sekali. Porto juga menjuarai Liga Europa pada 2002/03 dan 2010/11. Untuk dua gelar di era 2000-an awal, Porto memiliki pelatih super genius: Jose Mourinho.
Artinya apa? Bisa dipelajari dari sini bahwa sebab Timnas Indonesia tidak bisa juara adalah faktor skuad, taktik, pemain, pelatih, kompetisi, manajemen di federasi, dan juga ada sedikit faktor luck.
ADVERTISEMENT
Pencapaian terbaik Timnas Indonesia di Piala AFF hingga edisi 2018 adalah lima kali runner up (2000, 2002, 2004, 2010, 2016). Lawan-lawan Indonesia di final selama itu nyaris selalu bisa selangkah di depan dari segi teknik dan mental, terlepas dari ada atau tidaknya faktor luck.