My Life as a Refugee: Lovren Menceritakan Pilunya Menjadi Pengungsi

9 Februari 2017 17:04 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Lovren paham rasanya jadi pengungsi. (Foto: Julian Finney/Getty Images)
Dejan Lovren kecil bertanya kepada ibunya, “Ke mana sepatu luncurku?” Dengan jujur ibunya menjawab, sepatu luncur itu baru saja dijual karena sang ayah sedang membutuhkan uang.
ADVERTISEMENT
Tidak ada yang lebih disukai Lovren selain meluncur di musim dingin. Namun, kebahagiaan kecil itu diberangus oleh efek dari perang saudara di kampung halamannya.
Lovren lahir dan tinggal di Kraljeva Sutjeska, sebuah desa di luar kota Zenica, yang dulu masuk dalam wilayah Yugoslavia. Ketika perang Bosnia pecah, Zenica diserang. Namun, seperti dituturkan Lovren, di desa seperti kampung halamannya itulah perangai paling buruk dari perang terjadi.
“Saudara laki-laki pamanku ditikam dengan pisau di depan orang-orang. Aku tak pernah berbicara tentang pamanku karena ini sulit untuk dibicarakan. Tapi, dia kehilangan saudaranya, salah seorang anggota keluarganya. Ini sungguh sulit…”
Ketika perang meletus, Lovren baru berusia tiga tahun. Ia masih terlalu kecil untuk memahami penyebabnya. Yang ia ingat, sebelum perang antar-etnis itu meletus, semuanya baik-baik saja. Tak ada masalah.
ADVERTISEMENT
“Kami tidak pernah punya masalah. Semuanya baik-baik saja dengan tetangga —dengan Muslim, orang Serbia, semuanya berbicara satu sama lain dengan enak. Kami menikmati hidup, segalanya seperti semestinya. Tapi, kemudian pecahlah perang.”
“Aku berharap bisa menjelaskannya, tapi tak pernah ada yang tahu apa yang sebenarnya terjadi. Semuanya terjadi begitu saja,” kata Lovren.
Akibat perang itu, Lovren dan orang tuanya pun mengungsi ke Muenchen, Jerman. Lovren beruntung, kakeknya bekerja di Muenchen sehingga ia dan keluarganya diizinkan masuk ke Jerman. Namun, ia ingat betul betapa melelahkannya perjalanan dari Zenica ke Muenchen: 17 jam, dengan berbagai pos pemeriksaan di perbatasan.
Tujuh tahun lamanya Lovren beserta ayah dan ibunya tinggal di Jerman. Hingga kemudian mereka diminta untuk pulang ke negara asal dengan alasan perang sudah selesai.
ADVERTISEMENT
Ilustrasi pengungsi (Foto: Istimewa)
Lovren, yang sudah menikmati hidup di Jerman dan memiliki banyak teman, harus membangun ulang hidup kembali. Demikian juga dengan kedua orang tuanya. Sebagai bocah Kroasia dengan aksen Jerman, ia sering diganggu di sekolahnya. Sementara itu, kedua orang tuanya kekurangan uang.
Gaji ayah Lovren sebagai tukang cat tidak mencukupi. Ibunya bekerja di WalMart dengan bayaran setara 280 poundsterling sebulan. Mereka kesulitan untuk membayar listrik dan terkadang, tidak punya cukup uang untuk seminggu.
Di tengah kesulitan itulah ayahnya menjual sepatu luncur Lovren dengan harga setara 40 pounds. “Waktu itu sungguh berat untuk orang tuaku,” ucapnya.
Dengan gelombang pengungsi yang membanjiri Eropa belakangan ini, Lovren memberikan gambaran personal dari sisi seseorang yang pernah menjadi pengungsi langsung. Para pengungsi itu, kata Lovren, pada akhirnya hanyalah korban.
ADVERTISEMENT
Lovren berbicara kepada stasiun televisi klubnya, Liverpool, dalam sebuah acara bertajuk “My Life as a Refugee”, yang kini bisa disaksikan langsung secara gratis.
“Ketika aku melihat apa yang terjadi hari-hari ini (dengan para pengungsi), aku hanya mengingat diriku sendiri, keluargaku, dan bagaimana orang-orang tidak menginginkan kami di negara mereka. Aku paham bahwa mereka hanya ingin melindungi diri, tapi orang-orang ini juga tidak punya rumah. Itu bukan salah mereka; mereka berjuang mempertahankan hidup demi anak mereka.”
“Mereka hanya ingin tempat yang aman untuk anak mereka. Berikan mereka kesempatan. Pada akhirnya, Anda akan tahu, siapa yang baik dan siapa yang tidak.”