Napak Tilas Sweeper-Keeper: Kiper yang Lebih dari Sekadar Kiper

19 Januari 2017 15:48 WIB
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
ADVERTISEMENT
Jorge Campos, sweeper-keeper dari Meksiko (Foto: Stephen Dunn)
Penjaga gawang, tulis Goenawan Mohamad suatu kali, adalah pemain yang soliter. Tetapi, lanjut Goenawan dalam tulisan yang sama, meski soliter, dia juga solider. Dia tersisih, tetapi selalu hadir, meski jauh di garis belakang.
ADVERTISEMENT
Dalam sepak bola, penjaga gawang adalah pemain spesial. Sebagai satu-satunya pemain yang boleh menggunakan tangan -- dalam taraf tertentu, seorang penjaga gawang punya tugas mahaberat: menjadi batas tipis antara tangis dan tawa tim lawan.
Butuh kualitas tak sembarangan untuk jadi seorang penjaga gawang. Selain (tentu saja) harus mampu menjaga gawang, seorang penjaga gawang juga dituntut untuk memiliki kekuatan mental yang luar biasa.
Berbuat kesalahan, meski manusiawi, adalah sesuatu yang haram ketika Anda memutuskan untuk menjadi seorang penjaga gawang. Celakanya, karena manusiawi itu tadilah mengapa berbuat kesalahan adalah suatu keniscayaan. Di sinilah tuntutan itu kemudian berlaku.
ADVERTISEMENT
Gianluigi Buffon mengatakan bahwa Anda harus cukup 'bodoh' untuk menjadi penjaga gawang. Bodoh di sini, tentu saja, tak berarti dungu atau pandir. Bodoh yang dimaksud Buffon lebih dekat dengan nekat. Sudah tahu risikonya besar sekali kok, ya, masih ada yang mau?
Namun, jika apa yang dibilang Buffon itu benar, artinya ada banyak sekali orang 'bodoh' di dunia ini. Meski sulitnya bukan kepalang, masih banyak orang yang sudi menjadi penjaga gawang. Putra Cristiano Ronaldo, misalnya.
***
Berkat Johan Cruyff (dan Rinus Michels), sepak bola modern kini punya tuntutan yang berbeda. Sekarang, semua pemain dituntut untuk benar-benar bisa bermain sepak bola. Maka dari itu, pemain-pemain ahli jagal macam Tony Adams atau Steve McMahon kini sudah sulit menemukan tempat di sepak bola level tertinggi. Mereka memang tangguh, tetapi jika mereka dimasukkan ke dalam tim, mereka akan menjadi missing link yang membuat kohesivitas tim berkurang. Dengan pemain-pemain seperti itu, bermain sebagai sebuah unit yang utuh akan sulit dicapai.
ADVERTISEMENT
Tuntutan untuk 'benar-benar bisa bermain sepak bola' ini pun tak luput mengenai para penjaga gawang. Dengan hegemoni possession football, perbedaan antarposisi dan peran semakin saru. Itulah mengapa harga bek tengah modern (baca: ball-playing defender) semakin melambung dan sweeper-keeper jadi primadona.
Ya, sweeper-keeper. Sebuah peran hibrida yang dengan fasih dijalankan Manuel Neuer dari pekan ke pekan.
Seorang sweeper-keeper tentu saja memiliki banyak kewajiban. Selain kewajiban utamanya, menjaga gawang, pemain seperti ini juga memiliki dua kewajiban tambahan. Pertama, sebagai sweeper tambahan di belakang kuartet atau trio bek, dan kedua, sebagai pemain yang mampu mengawali build-up serangan lewat kemampuan distribusi bolanya. Pokoknya, kalau bingung, lihat saja cara bermain Manuel Neuer (atau Claudio Bravo).
ADVERTISEMENT
Namun, meski terlihat sebagai sebuah (by)product sepak bola modern, sweeper-keeper sebetulnya bukan benar-benar barang baru di sepak bola. Malah, sejak Perang Dunia II kelar, sudah mulai bermunculan pemain-pemain model ini.
Mengingat pembahasan soal Claudio Bravo dan Joe Hart yang masih ramai, kami dari kumparan mengajak Anda untuk sedikit bernapak-tilas dan melacak jejak para sweeper-keeper yang jadi pendahulu Claudio Bravo.
1. Bert Trautmann
Sebelum masuk ke bagian sweeper-keeper, tahukah Anda kalau Bret Trautmann adalah mantan penerjun payung Nazi? Ya, penerjun payung Nazi dan tahanan perang, sebelum akhirnya dia menjadi legenda bersama Manchester City.
Lahir di Bremen, Jerman, tahun 1923, Bert Trautmann memperkuat Manchester City dari 1949 sampai 1964. Dalam kurun waktu 15 tahun tersebut, dia memang hanya berhasil mempersembahkan satu gelar -- Piala FA 1956 -- untuk The Citizens, tetapi Trautmann mempersembahkan gelar tersebut lewat sebuah penampilan dan pengorbanan yang luar biasa. Menghadapi Birmingham City di Old Wembley, Trautmann memainkan 15 menit terakhir laga dengan kondisi patah leher.
ADVERTISEMENT
Penyebabnya, Trautmann ini memang nekat. Selain dikenal karena keengganannya mengenakan sarung tangan, Bert Trautmann memang hobi keluar dari sarangnya untuk menghalau serangan lawan dan memulai build-up sebagai seorang kiper merangkap sweeper. Sweeper-keeper!
Konon, Trautmann mulai nekat menjadi sweeper-keeper setelah dia menyaksikan penampilan...
2. Gyula Grosics
Ya, Gyula Grosics! Penjaga gawang Hungaria ini memang fenomenal. Bersama Magical Magyars yang mengguncang dunia pada awal hingga pertengahan dekade 1950-an, nama Gyula Grosics memang tak bisa dilepaskan dari pembicaraan soal sweeper-keeper.
Di bawah komando Gusztaf Sebes, Hungaria ketika itu mampu menampilkan permainan sepak bola yang tak hanya elok, tetapi juga mematikan. Dengan pemain-pemain seperti Ferenc Puskas, Nandor Hidegkuti, Zoltan Czibor, Joszef Boszik, dan Sandor Kocsis, Hungaria mendominasi sepak bola era tersebut. Sayang, kekalahan dari Jerman Barat pada final Piala Dunia 1954 serta invasi Uni Soviet ke Hungaria tahun 1955 kemudian membuat tim itu mati prematur.
ADVERTISEMENT
Garang di depan, Hungaria juga kokoh di belakang. Gyula Grosics pun menjadi bintang.
Dengan permainan cair yang mengandalkan permutasi pemain serta penguasaan bola, Grosics tampil sebagai inisator serangan dari lini belakang. Selain itu, kemampuan Grosics mengawal gawang pun sulit ditandingi dan saking cekatannya, julukan "Black Panther" pun melekat pada Grosics.
3. Lev Yashin
Bicara soal sweeper-keeper dan sepak bola Eropa Timur, belum sah kalau belum memasukkan nama Lev Yashin, kiper yang disebut-sebut sebagai kiper terbaik sepanjang masa. Jika Grosics punya julukan "Black Panther", maka Yashin akrab dengan sebutan "Black Spider", merujuk pada sulitnya membobol gawang kiper satu ini.
Prestasi terbaik Lev Yashin sebagai seorang pesepak bola adalah ketika dia mampu membawa negaranya, Uni Soviet, menjuarai Piala Eropa edisi perdana tahun 1960. Agak disayangkan memang karena di Piala Dunia, Uni Soviet gagal berbuat banyak. Padahal, mereka jarang sekali kekurangan talenta.
ADVERTISEMENT
4. Amadeo Carrizo
Meski peran ini besar di Eropa, sweeper-keeper ternyata lahir di Argentina. Penemunya adalah Amadeo Carrizo, kiper yang masyhur bersama River Plate.
Dijuluki "Tarzan", kiper satu ini menjadi pelopor bagi kiper-kiper yang doyan berkeliaran di depan kotak penalti. Jauh sebelum Jose Luis Chilavert dan Rene Higuita menghebohkan dunia dengan kebiasaan mereka berpatroli di luar area, Carrizo sudah lebih dulu melakukannya. Seorang inovator sejati, selain menciptakan peran sweeper-keeper, dia juga menjadi kiper pertama yang mengenakan sarung tangan.
5. Jan Jongbloed
Kiper satu ini merupakan kiper paling nyentrik dalam sejarah sepak bola. Mengenakan kostum nomor 8, Jongbloed menjadi pengawal gawang Belanda era totaal voetbal.
Tak seperti pemain-pemain Timnas Belanda ketika itu yang berasal dari klub besar, Jongbloed hanyalah seorang pemain gaek dari FC Amsterdam. Bahkan, klub itu sendiri sekarang sudah tinggal nama. Akan tetapi, Jongbloed-lah sosok yang benar-benar dibutuhkan Michels ketika itu.
ADVERTISEMENT
Di Belanda sendiri, ada dua jenis kiper. Pertama, kiper seperti Jongbloed yang kini bisa dilihat jelmaannya pada sosok Jasper Cillessen, dan kedua, kiper seperti Hans van Breukelen, seorang shot-stopper sejati yang jarang beranjak dari baseline. Dikotomi itu memang sifatnya universal, namun mengingat besarnya pengaruh Jongbloed dan Van Breukelen, kedua orang inilah yang kemudian dijadikan nama spesies.
6. Rene Higuita
Boleh jadi, Rene Higuita adalah penjaga gawang paling sinting yang pernah ada dalam sejarah. Pasalnya, pemain satu ini seperti belum hidup kalau belum melakukan aksi-aksi yang membuat para fans jantungan. Kalau sweeper keeper lain paling-paling hanya berpatroli di luar kotak penalti, pesepak bola yang dikenal dekat dengan gembong narkotika Pablo Escobar ini tak puas kalau hanya sampai di situ.
ADVERTISEMENT
Tanpa perlu panjang lebar, silakan saksikan sendiri kegilaan pemain satu ini di video berikut.
7. Jorge Campos
Pemain satu ini memperlakukan sepak bola bagaikan karnaval. Semua yang dilakukan Jorge Campos memang jauh dari kata ortodoks. Selain karena hobinya bergentayangan di luar kotak penalti, pemain satu ini juga dikenal lewat kostumnya yang berwarna-warni serta cara-caranya melakukan penyelamatan yang aneh.
Dalam dunia sepak bola modern yang kian mekanis dan mengandalkan fisik, sulit bagi kiper seperti Campos untuk menemukan tempat. Tetapi, coba renungkan sejenak. Sejenak saja. Seandainya ada pemain seperti Campos di level tertinggi sepak bola sekarang ini, barangkali sepak bola takkan semenjemukan ini.