Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.88.1
ADVERTISEMENT
Orang mengenalnya sebagai The Other Cannavaro; Cannavaro yang Lainnya. Namun, bagi mereka yang pernah memujanya, Paolo Cannavaro tidaklah kalah besar ketimbang sang kakak, Fabio.
ADVERTISEMENT
Ada sebuah serial televisi yang kini sedang begitu populer di Italia. Namanya Gomorra, dan meski mengambil nama dari sebuah kota di kitab suci, serial televisi ini tidak mengisahkan tentang kehidupan kaum Nabi Luth. Adapun, di sini yang menjadi latar tempat adalah Kota Napoli; kota yang penuh dosa laiknya Gomorra.
Dalam serial televisi Gomorra, kisah tentang mafia Napoli dikedepankan dan di Napoli, para mafia ini dikenal dengan nama Camorra. Namun, ini bukan kisah soal para Don seperti yang biasa dikisahkan Mario Puzo, melainkan kisah tentang mereka yang berjuang dari titik terbawah.
Pernah suatu kali, dalam sebuah adegan dari musim pertama serial ini, diperlihatkan bagaimana melekatnya sosok seorang Paolo Cannavaro dalam relung kehidupan masyarakat Napoli. Dalam adegan itu, ditunjukkan sebuah seragam milik Cannavaro bernomor punggung 28 terpajang di dinding rumah milik salah satu karakter di serial tersebut.
ADVERTISEMENT
Paolo Cannavaro, seperti halnya sang kakak, memang putra asli Napoli. Di Partenopei pula dia memulai kariernya sebelum hijrah ke Parma pada 1999. Bersama Parma, dia bertahan selama tujuh musim meski sempat pula dipinjamkan ke Verona pada musim 2001/02. Di Parma, Cannavaro sukses membawa klub berjuluk Gialloblu itu ke semifinal Piala UEFA 2004/05.
Tak lama setelah itu, Parma kolaps dan Cannavaro pun akhirnya memilih untuk mudik ke Napoli. Kebetulan, pada 2006 itu, Aurelio De Laurentiis tengah memulai proyek untuk menggapai kembali martabat Partenopei yang tercerabut akibat krisis finansial. Di klub kota kelahirannya itu, Paolo Cannavaro didapuk menjadi pemimpin.
Napoli saat ini boleh jadi punya pujaan baru dalam diri Marek Hamsik, Lorenzo Insigne, serta Dries Mertens. Namun, tanpa andil Cannavaro, boleh jadi Napoli takkan pernah meraih apa yang mereka punya saat ini.
ADVERTISEMENT
Cannavaro adalah sosok yang membantu Napoli promosi kembali ke Serie A. Lalu, dia pulalah yang membawa Partenopei ke kompetisi antarklub Eropa, baik itu Piala UEFA maupun Liga Champions. Sampai akhirnya, Cannavaro juga yang menjadi kapten saat Napoli menjuarai Coppa Italia--yang merupakan trofi pertama dalam 20 tahun--pada 2012.
Lalu, pada 2014 lalu, di usianya yang sudah menginjak angka 33, Cannavaro akhirnya tersingkir dari Napoli. Selain karena faktor usia, kedatangan pemain-pemain baru yang lebih segar dan berkualitas juga membuat sang kapten akhirnya harus merelakan tempatnya.
Namun, sinar Paolo Cannavaro tak pernah pudar. Di Sassuolo, dia pun menjadi sosok penyelamat lagi. Dia menyelamatkan Neroverdi dari degradasi, dia pun membawa klub dari Reggio Emilia ini lolos ke Liga Europa untuk kali pertama sepanjang sejarah. Bersama Francesco Acerbi, Cannavaro selama tiga musim terakhir menjaga jantung pertahanan Sassuolo dengan sisa-sisa tenaganya.
ADVERTISEMENT
Sampai akhirnya, laga pemungkas itu tiba juga bagi Cannavaro. Sabtu, 30 Desember 2017, Cannavaro resmi memainkan laga terakhirnya bersama Sassuolo. Bertandang ke Stadio Olimpico, Sassuolo berhasil membendung agresi tuan rumah Roma dan pulang dengan tambahan satu angka.
Persis selepas laga melawan Roma itu, Paolo Cannavaro gantung sepatu. Setelah ini, dia akan memulai petualangan baru di China bersama Fabio yang kini menjadi pelatih kepala Guangzhou Evergrande. Nantinya, Paolo akan bergabung ke dalam staf kepelatihan sang kakak. Namun, sebelum itu semua, tak lupa Paolo memberikan salam perpisahan bagi sepak bola Italia yang telah membesarkannya.
"Aku benar-benar menikmati pertandingan (melawan Roma) ini," ujarnya kepada Sky Italia. "Aku masuk lapangan sebagai sosok yang telah memberikan segalanya untuk sepak bola. Ini adalah hari fantastis yang ditutup dengan performa hebat."
ADVERTISEMENT
"Aku melihat para suporter menitikkan air mata dan itu berarti, aku telah melakukan hal yang benar. Aku selalu bermimpi untuk meninggalkan sepak bola di puncak karier dan aku berterima kasih kepada Sassuolo yang telah memberiku kesempatan itu," tutupnya.
Sementara itu, pelatih Sassuolo, Beppe Iachini, meski hanya setengah musim bekerja bersama Cannavaro, tetap tak bisa menyembunyikan rasa kagumnya pada pria 36 tahun tersebut.
"Dia adalah pria hebat dan sosok profesional yang luar biasa," kata Iachini. "Sayang sekali dia harus pensiun, tetapi aku gembira di pertandingan terakhirnya, anak-anak bermain bagus. Aku yakin Sassuolo akan terus mengingatnya sampai kapan pun."
Arrivederci, Paolo! Grazie mille!