Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
ADVERTISEMENT
Joko Driyono kembali menghadiri Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan pada Kamis (11/7/2019). Agenda kali ini ialah pembacaan pembelaan atau pleidoi.
ADVERTISEMENT
Seperti diketahui, Jokdri—sapaan Joko Driyono—dituntut jaksa penuntut umum (JPU) 2 tahun 6 bulan penjara.
Kuasa hukum meyiapkan 169 halaman pleidoi sementara Jokdri punya pleidoi pribadi sebanyak tujuh halaman. Dalam pembacaan pleidoi tersebut, kuasa hukum Jokdri mengupas satu per satu pasal-pasal yang dituntut oleh JPU.
Intinya, pleidoi tersebut menginginkan mantan Ketua Umum PSSI itu dibebaskan dari segala tuntutan. Kuasa hukum Jokdri, Mustofa Abidin, menyebut bahwa lima pasal yang dituntut oleh JPU tak bisa dibuktikan di persidangan.
“Kami berkeyakinan dari pasal yang didakwaan JPU itu ada lima pasal. Semuanya tidak bisa dibuktikan di depan persidangan. Kesimpulannya, tuntutan atau dakwaan belum berhasil dibuktikan oleh JPU. Dengan kata lain, kami menginginkan terdakwa dibebaskan. Namun, semua berpulang kepada majelis hakim. Tadi juga majelis hakim menyebut ada perbedaan cukup tajam antara tuntutan JPU dan pleidoi kami. Jadi, majelis hakim meminta JPU menyampaikan replik (tanggapan pleidoi,” ujar Mustofa.
ADVERTISEMENT
Lima pasal yang dimaksud Mustofa ialah Pasal 363 KUHP, Pasal 235 KUHP, Pasal 233 KUHP, Pasal 232 KUHP, Pasal 221 KUHP juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP. Detailnya, Mustofa menyebut Pasal 233 KUHP tidak terbukti lantaran dua hal pokok dalam pasal tersebut sama sekali tidak ada.
Pertama, soal barang bukti. Mustofa menegaskan status barang-barang yang disita Satuan Tugas (Satgas) Anti-Mafia Bola sama sekali bukan barang bukti dalam perkara lain maupun perkara dari laporan Lasmi Indaryani.
“Kedua terkait perbuatan. Kami rasa itu juga tidak terbukti. Terdakwa terbukti tidak sengaja merusak, menghilangankan, atau menghancurkan. Alasannya, barang-barang yang diamankan terdakwa dengan memerintah saksi Muhammad Mardani Mogot (Dani) dan Mus Muliadi itu barang pribadi terdakwa. Lalu, barang-barang yang diambil juga masih utuh. Misalnya saja rekaman CCTV atau laptop. Terdakwa bahkan bersedia diputar rekamannya,” kata Mustofa.
ADVERTISEMENT
Menilik pernyataan itu, tak heran kalau penasihat hukum Jokdri melihat kliennya harus dibebaskan juga dari pemberatan Pasal 235 KUHP.
Sementara padangan kuasa hukum terhadap Pasal 221 KUHP juncto Pasal 55 Ayat 1 ke-1 KUHP yang dituntut JPU juga setali tiga uang. Jokdri, menurut Mustofa, tidak terbukti menghalangi penyidikan oleh Satgas.
“Justru dalam fakta persidangan terdakwa menyuruh saksi Kokoh Afiat untuk datang di penggeledahan. Soalnya, Kokoh diminta melayani Satgas. Kalau menyuruh Dani dan Mus tidak mungkin melayani. Malah, terdakwa sepakat penindakan terkait match fixing. Jadi, sama sekali tidak ada kesengajaan menghalangi penyidikan. Tidak ada kepentingan terdakwa untuk menghalangi,” tutur Mustofa lagi.
Terkait dakwaan merusak, menghilangkan, dan menghancurkan garis polisi atau Pasal 232 KUHP, kuasa hukum Jokdri menolak tuntutan itu. Pasalnya, mantan Ketua Umum PSSI tersebut sama sekali tidak sengaja memasuki garis polisi.
ADVERTISEMENT
“Terdakwa sama sekali tidak memiliki kesengajaan memasuki melanggar police line. Ada kesesatan fakta di sini. Terdakwa di luar negeri, lalu mendapat informasi tidak utuh terkait penggeledahan oleh Satgas. Dia tidak tahu kalau yang diberi garis polisi itu seluruh Rasuna Office Park (ROP). Dalam bayangan terdakwa, yang disegel hanya ruangan Komite Disiplin (Komdis) PSSI karena terkait laporan Banjarnegara. Pertanyaannya apa semua orang yang memasuki garis polisi harus dihukum? Tidak seperti itu. Nah, dalam ilmu hukum, kesesatan fakta itu bisa menghapus pidana,” ujarnya.
Terakhir, pasal yang didakwakan kepada Jokdri ialah Pasal 363 KUHP terkait pencurian. Penasihat hukum Jokdri juga tak menemukan bukti bahwa kliennya melanggar pasal tersebut.
Alasannya, Mustofa menyebut unsur dalam pasal tersebut, yaitu mengambil barang seluruhnya atau sebagian milik orang lain untuk dimiliki, tidak terbukti.
ADVERTISEMENT
“Tidak terbukti di persidangan. Barang yang diamankan terdakwa ‘kan barang milik pribadi. Terdakwa melakukan itu karena takut barang-barangnya hilang, rusak, atau tercecer saat penggeledahan. Soalnya, barang-barang itu masih dipakai. Pasal-pasal yang didakwaan boleh dibilang satu rumpun. Jadi, kami memohon kepada majelis hakim menyatakan terdakwa bebas dari segala tuntutan. Dan, mengembalikan harkat dan martabat terdakwa seperti semula,” kata Mustofa.
Pada persidangan berikutnya, JPU diberikan kesempatan oleh majelis hakim untuk menyiapkan replik secara tertulis. Majelis hakim memberikan batas waktu replik pada 15 Juli mendatang.