Psikolog Timnas U-16 Jelaskan Dampak Hujatan & Cara Kuatkan Mental Pemain Muda

28 Mei 2024 14:37 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Pelatih Nova Arianto (tengah) memberikan instruksi kepada para pesepak bola peserta seleksi gelombang 3 Tim Nasional U-16 di Lapangan A Kompleks Gelora Bung Karno, Senayan, Jakarta, Selasa (27/3/2024). Foto: Aditya Pradana Putra/Antara Foto
zoom-in-whitePerbesar
Pelatih Nova Arianto (tengah) memberikan instruksi kepada para pesepak bola peserta seleksi gelombang 3 Tim Nasional U-16 di Lapangan A Kompleks Gelora Bung Karno, Senayan, Jakarta, Selasa (27/3/2024). Foto: Aditya Pradana Putra/Antara Foto
ADVERTISEMENT
Kesadaran akan pentingnya menjaga psikologi pemain sepak bola di Indonesia, terutama pemain Timnas Indonesia, semakin meningkat. Hal yang bisa memengaruhi kondisi kesehatan mental pemain adalah hujatan dan glorifikasi yang berlebihan.
ADVERTISEMENT
Afif Kurniawan selaku psikolog yang kini bekerja untuk Timnas U-16, serta pernah menangani Timnas U-17 di Piala Dunia dan Timnas U-22 di SEA Games 2023, berbagi kepada kumparan. Pada intinya, para pemain muda ini masih dalam fase perkembangan, sehingga sistem di sekelilingnya harus mendukung dengan ideal.
"Tugas tanggung jawab kami sebagai sistem di sekitar perkembangan mereka adalah membersamai hal-hal yang sifatnya minim risiko kesehatan mental yang buruk. Menjadi pemain timnas sebenarnya sebuah capaian kebanggaan dan mereka akan terus mengembangkan mimpi-mimpi lebih tinggi, setiap pemain itu punya goal setting," terangnya pada Senin (27/5).
Menurut Afif, adanya hujatan-hujatan di media sosial dan tekanan-tekanan yang tidak masuk akal bisa menghambat perkembangan mereka. Di sisi lain, para fan juga sebaiknya tidak perlu glorifikasi berlebihan saat mereka menang.
Psikolog Afif Kurniawan saat bertugas bersama Timnas U-16. Foto: Instagram/@afif.knwn
"Ya jadi sebenarnya tidak hanya ketika kalah kemudian dihujat. Ketika pemain berhasil menang, juga tidak perlu berlebihan. Karena sebaiknya untuk membersamai kesehatan mental mereka, sebaiknya semua orang fokus pada proses yang mereka jalani," jelas Afif.
ADVERTISEMENT
Sebab biar bagaimanapun, para pemain muda masih dalam proses berkembang, jadi hasil akhir bukanlah hal yang utama. Hal yang harus disorot adalah bagaimana mereka berprogres menjadi pesepak bola yang lebih baik dan bagaimana menyeimbangkan jadwal antara latihan dengan tugas sekolah. Jika hanya melihat menang dan kalah, itu tidak adil.
"Soal mental ingin juara itu semuanya punya mental untuk menang, semuanya punya karena sudah enggak ada opsi lagi. Anda sudah di level membawa panji negara, artinya kalau kita tanyakan, mentalnya kok enggak ada mental juara hanya karena hasilnya kalah, saya pikir itu bukan pertanyaan yang pas," tegas Afif.
"Saya sebagai psikolog itu mengajak pemain justru fokusnya lebih ke bagaimana setiap hari menyiapkan mental, mindset yang tepat untuk menghadapi tantangan, misalkan besok latihan taktikal, berarti mental mindset-nya harus seperti apa? Besoknya lagi uji coba, mental mindset-nya seperti apa? Itu progres."
ADVERTISEMENT
Ekspresi pesepak bola Timnas Indonesia Arkhan Kaka Putra Purwanto (tengah) usai mencetak gol ke gawang Timnas Panama pada pertandingan penyisihan Grup A Piala Dunia U-17 2023 di Stadion Gelora Bung Tomo (GBT), Surabaya, Jawa Timur. Foto: Aditya Pradana Putra/Antara Foto
"Kalau kita bicara, oke besok menang, menang, menang, menang, lalu kemudian mereka kapan bisa fokus kepada perkembangan diri?" lanjutnya.
Afif juga menerangkan pengalamannya soal kondisi pemain usai menerima hujatan. Ini terjadi di Piala Dunia U-17, di mana para pemain menjadi murung karena hasil buruk dan respons sejumlah oknum fan. Menurutnya, tidak pas jika menaruh beban orang dewasa kepada para pemain muda.
"Ada pressure berlebih dari publik yang mengatakan bahwa 'Ya kalau sudah berani tampil di Piala Dunia, ya, harusnya mental kalian tuh bagus', 'bla bla bla bla', dan seterusnya. Itu kan beban orang dewasa. Saya setuju, kalau sudah tampil di Piala Dunia mentalnya sudah harus bagus. Tapi, coba dilihat bagaimana mereka berjuang selama 90 menit, bagaimana mereka berusaha menyelesaikan masalah selama di lapangan, bagaimana mereka menunjukkan sikap tidak ingin kalah bagi saya itu adalah mentality," bebernya.
ADVERTISEMENT
"Tapi hanya karena hasilnya kalah, kemudian dikatakan mentalnya enggak bagus, itu berarti yang salah adalah bukan di proses anak-anak tapi beban orang, ekspektasi orang dewasa yang kemudian dipasangkan pada anak-anak ini," tambah Afif.
Selebrasi pemain Timnas U-22 usai gol Ramadhan Sananta di Final SEA Games 2023. Foto: Chalinee Thirasupa/REUTERS
Beberapa kasus, ada pemain muda yang stres dan menjadi agak sedikit murung usai mendapat hasil dan respons buruk. Namun, Afif mengakatan bahwa biasanya itu terselesaikan dalam waktu 1-2 hari karena tim kepelatihan bersama psikolog sudah lebih dahulu membekali pemain dengan materi-materi preventif.
"Kalau ada satu yang merasa terburuk, ya, kita bagaimana kita kemudian berusaha untuk meningkatkan atau menaikkan kembali moral yang kita miliki atau menghadapi laga berikutnya. Karena di sepak bola itu kan situasi mudah dan cepat sekali berubah. Jadi pemain, kita ajarkan pemain untuk tidak berlama-lama dengan fase-fase stres," ucap Afif.
ADVERTISEMENT
"Jadi bukan saya minta mereka abaikan [hujatan], enggak bisa. Karena serangan-serangan seperti itu enggak bisa diabaikan, meskipun sudah tutup kolom komentar. Membatasi DM itu enggak bisa.
"Jadi pendekatan saya lebih ke pendekatan kognitif, yang membuat mereka punya keterampilan dalam mengelola pikiran dan perasaan secara pribadi, sehingga pada saat situasi buruk terjadi, mereka tidak akan berlama-lama bersedih, mereka lebih fokus kepada bagaimana caranya saya bangkit," tandasnya.