Sejarah Sponsor Liga Indonesia: Peleburan Dua Kompetisi Jadi Tonggaknya

8 April 2020 20:53 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Pertandingan lanjutan Liga I Indonesia antara Persib Bandung melawan Bhayangkara FC di Stadion PTIK, Jakarta, Rabu (23/10/2019). Foto: ANTARA FOTO/Muhammad Adimaja
zoom-in-whitePerbesar
Pertandingan lanjutan Liga I Indonesia antara Persib Bandung melawan Bhayangkara FC di Stadion PTIK, Jakarta, Rabu (23/10/2019). Foto: ANTARA FOTO/Muhammad Adimaja
Industri sepak bola Indonesia kian maju. Menggandeng sponsor sudah menjadi sebuah keharusan.
Tak cuma klub yang butuh dukungan dana pihak sponsor, operator kompetisi pun demikian. Alasannya, apalagi kalau bukan untuk memutar liga. Pada akhirnya sponsorship membuat apa pun sah dijual. Termasuk titel kompetisi.
Bicara titel liga, sejarahnya bermula 26 tahun lalu. Berawal dari pencarian solusi dari kehadiran dua kompetisi—biar gampang bilangnya dualisme liga zaman dulu, lah.
Kalau tahun 2011 ramai membicarakan dualisme PSSI—yang melahirkan dua kompetisi dan dua Timnas—beda hal pada zaman dulu. Ada Perserikatan dan Galatama, dua liga dengan level setara.
Bedanya, cuma ada di embel-embel. Satunya dikata amatir (Perserikatan), satu lagi semi-profesional.
Galatama enggak bisa dibilang profesional sepenuhnya. Alasannya, klub memang berbentuk perseroan terbatas (PT), tapi pemainnya masih amatiran.
Memang ada kebijakan penggunaan pemain asing yang bikin publik yakin Galatama liga profesional. Masalahnya, penyelenggaraannya setengah-setengah. Mulai dari kurangnya tim peserta sampai tim yang memutuskan undur diri atau bubar.
Well, di samping itu ada Perserikatan yang sudah lahir sebelum kemerdekaan Indonesia. Kompetisi pertama dimulai pada 1931, setahun setelah kelahiran PSSI pada 19 April 1930.
Sebenarnya, kompetisi ini cikal bakalnya sudah ada sejak tahun 1920-an yang masih mengusung fanatisme kedaerahan.
Selebrasi pemain Persebaya usai mencetak gol ke gawang Persik Kediri pada pertandingan Liga 1 2020 di Stadion Gelora Bung Tomo, Surabaya, Sabtu (29/2). Foto: ANTARA FOTO/Didik Suhartono
Beralih ke cerita Galatama. Kompetisi itu hadir berkat tuntutan klub-klub Indonesia untuk berbicara di turnamen internasional. Faktor demikian yang akhirnya membuat PSSI mencetuskan menggulirkan kompetisi bernama Galatama (Liga Sepak Bola Utama) pada 1979 ‘bersebelahan’ dengan Perserikatan.
Sekaligus, PSSI mewujudkan mimpi tiga tahun sebelumnya yang berencana membentuk klub profesional.
Ada delapan klub yang ikut ambil bagian pada awal Galatama. Ali Sadikin—Ketua Umum PSSI (1977-1981)—sebagai pencetusnya. Ia juga memperkenalkan program lain bernama Galakarya, Galasiswa, dan Galanita pada tahun yang sama.
Sebuah terobosan baru mengingat klub Galatama tak bergantung APBD seperti Perserikatan. Mereka benar-benar hidup mandiri dari duit PT yang menaunginya.
Hanya saja, kehadiran dua kompetisi membuat permasalahan baru. Timnas juga jadi dua. Tak heran dalam data sejarah ada dua arsitek yang menjabat pelatih Timnas pada tahun yang sama.
Belum berhenti di situ, PSSI juga selalu dipusingkan memilah Timnas yang mana untuk berlaga di level internasional. Makanya, ajang-ajang kelas satu diperuntukkan untuk Timnas Galatama, sedangkan Timnas Perserikatan cuma mengikuti event sekelas Asia Tenggara misalnya.
Pemain Timnas U-23 Indonesia foto bersama sebelum menghadapi timnas Thailand pada SEA Games 2019 di Stadion Rizal Memorial, Filipina. Foto: ANTARA FOTO/Sigid Hermawan
Masalah dua kompetisi dan dua Timnas berhenti pada 1994. Galatama cuma bertahan 15 tahun. Banyak peserta mengundurkan diri karena perusahaannya tak kuat membiayai. Isu skandal pengaturan skor dan kerusuhan penonton juga menjadi faktor hancurnya Galatama.
Pada 1994 dua kompetisi tersebut dilebur menjadi satu bernama Liga Indonesia. Niatnya, mengubah gaya Perserikatan seperti Galatama.
Namun, kesebelasan-kesebelasan Perserikatan menolak. Bukan apa-apa, tim-tim Perserikatan merasa belum mampu menjadi sebuah klub—dengan paksaan menjadi PT. Mereka masih asyik memakai gelontoran dana APBD dan tidak ingin menghilangkan fanatisme kedaerahan sebagai simbol Perserikatan.
Akhirnya, PSSI mafhum dengan keadaan tim Perserikatan. APBD masih bisa dipakai.
Dari segi kompetisi, Liga Indonesia musim 1994 ialah tonggak industri baru sepak bola Tanah Air. Ada 15 tim Galatama yang bergabung, sebanyak 19 tim lainnya berasal dari Perserikatan.
Wajah baru kompetisi pun hadir. Sejak peleburan, liga mulai memunculkan sponsor yang menjadi titel kompetisi, mulai dari produsen rokok hingga platform perdagangan elektronik.
Oh, iya, cerita ini belum selesai, lho. Ikuti terus kelanjutan sponsor-sponsor Liga Indonesia pada edisi berikutnya. Pantengin terus di kumparanBOLA.
---
kumparanDerma membuka campaign crowdfunding untuk bantu pencegahan penyebaran corona virus. Yuk, bantu donasi sekarang!