Sepak Bola, Cara Aliou Cisse Melupakan Trauma

25 Juni 2018 17:47 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Pelatih Senegal, Aliou Cisse. (Foto: REUTERS/Christian Hartmann)
zoom-in-whitePerbesar
Pelatih Senegal, Aliou Cisse. (Foto: REUTERS/Christian Hartmann)
ADVERTISEMENT
Kampung halaman tak selamanya menyenangkan buat dikenang. Salah satu orang yang merasa begitu adalah Aliou Cisse. Ia pernah begitu sedih ketika mengingat Senegal, negara tempat dia dilahirkan.
ADVERTISEMENT
Saat itu Oktober 2002, Cisse yang merumput di Premier League, Inggris, bersama Birmingham City mendapat kabar bahwa kapal feri bernama Le Joola yang berlayar dari kota Ziguinchor menuju ibu kota Senegal, Dakar, tenggelam.
Kelebihan muatan ditenggarai jadi penyebab utama. Kapasitas kapal yang seharusnya hanya mampu mengangkut 550 orang, menampung lebih dari 1.500 penumpang. Musibah tiba ketika badai datang, membuat kapal menghantam karang laut dan dalam hitungan menit kapal sudah terbalik. Dari sekian ribu penumpang, hanya 64 orang selamat.
Cisse yang mendapat kabar ini via telepon panik bukan kepalang. Ia lantas mencari kebenaran kabar lewat siaran berita di televisi. Tapi, menemukan kepastian justru membuat Cisse kian sedih lantaran musibah ini merenggut 12 nyawa sanak saudara yang terdiri dari keponakan, sepupu, bibi, dan pamannya.
ADVERTISEMENT
"Saya sedang menonton televisi saat sore hari. Kemudian saya mendapat telepon dari teman di Inggris bahwa kapal itu (Le Joola) tenggelam. Lalu saya melihat saluran lain dan di sana mereka menunjukkan peta Senegal. Kemudian saya bicara pada diri sendiri: Sesuatu benar-benar terjadi di sini," kata Cisse kepada The Guardian.
Di tengah kabar duka ini, Cisse dihadapkan pada persiapan menghadapi West Ham United. Namun saat itu, Cisse tak membiarkan kesedihan merundung dan tetap membela timnya dengan merahasiakan bahwa ada sanak saudarnya yang jadi korban kecelakaan kapal.
"Saya berusaha melindungi tim dari kesedihan hati saya. Datang ke latihan tetap tersenyum. Satu minggu itu saya menyimpan kesedihan untuk diri saya sendiri. Kami kemudian menang (melawan West Ham) dan saya pikir itu lebih berarti untuk para pendukung."
ADVERTISEMENT
Cisse ketika membela Birmingham. (Foto: PAUL BARKER / AFP)
zoom-in-whitePerbesar
Cisse ketika membela Birmingham. (Foto: PAUL BARKER / AFP)
Cisse kemudian pulang ke Senegal untuk menggelar pertandingan amal bagi korban kapal Le Joola melawan Nigeria. Namun, sepak bola dan dukungan moril dari rekan-rekannya tak sepenuhnya bisa menghapus trauma Cisse soal kehilangan keluarga dengan cara setragis itu.
Kondisi ini mencapai klimaks saat tak banyak saudara dan kerabat yang tersisa di Senegal membuat Cisse mulai enggan pulang ke kampung halaman. Alasannya cukup masuk akal; jika berada di sana, merasa sendiri dan teringat pada keluarga yang menjadi korban hanya membikin tersiksa.
"Tidak mudah ketika kehilangan 12 orang dari keluarga sendiri. Saya lalu berkata pada diri sendiri bahwa saya tidak bisa terus berada di sana (Senegal). Saya harus berada di sini (Birmingham). Saya bisa berlari, berlatih, dan bertemu dengan orang-orang. Saya juga bisa lebih sering meninggalkan rumah. Stadion adalah tempat yang paling pasti saya datangi."
ADVERTISEMENT
"Hidup memang seperti itu. Namun, saya yakin ada hikmah di baliknya. Seminggu di Senegal sebelum melawan Nigeria sangat sulit bagi saya. Saya tidak bisa tidur. Mungkin saya punya karakter yang membuat saya selalu memikirkan sesuatu secara berlebihan. Di sekitar saya sekarang hanya air mata. Sekitar saya hanya ketidakbahagiaan yang mendalam."
Siapa yang menyangka, rasa trauma dan kesedihan ini turut memengaruhi karier sepak bola Cisse baik di klub dan Timnas Senegal. Setelah bermasalah soal indisipliner di Birmingham, pelatih Steve Bruce melego Cisse ke Portsmouth pada 2004, dua tahun berselang dia pindah ke Prancis dengan membela Sedan Ardennes dan pensiun pada 2009 saat berada di tim divisi dua Liga Prancis, Nîmes Olympique.
ADVERTISEMENT
Aliou Cisse di Piala Dunia 2002. (Foto: AFP/Kim Jae-hwan)
zoom-in-whitePerbesar
Aliou Cisse di Piala Dunia 2002. (Foto: AFP/Kim Jae-hwan)
Kariernya di Timnas Senegal bahkan berakhir lebih cepat, ketika masih berusia 29 tahun. Cisse memutuskan pensiun usai membukukan 35 caps saja bagi The Lions of Teranga. Keputusan ini mengejutkan karena tiga tahun sebelumnya, Cisse adalah kapten Senegal yang mengguncang Piala Dunia 2002 di Korea Selatan dan Jepang.
Pada tahun terjadinya kecelakaan kapal feri yang merenggut 12 nyawa keluarganya itu, Cisse bersama Papa Bouba Diop, El Hadji Diouf, dan Khalilou Fadiga, Cisse membawa Senegal menang 1-0 atas tim juara bertahan, Prancis, pada laga pembuka. Kisah manis ini berlanjut hingga akhirnya Senegal menembus babak perempat final sebelum akhirnya disingkirkan Turki.
Namun demikian, kecelakaan kapal feri empat bulan setelah perhelatan Piala Dunia 2002 menjadi satu fragmen yang membikin Cisse susah melangkah dari kesedihan hingga akhirnya memutuskan pensiun dari timnas. Bagi Cisse, langkah ini mungkin cara paling jitu agar dia tak terus-menerus bertemu kesedihan.
ADVERTISEMENT
***
Kecelakaan yang merenggut 12 nyawa sanak saudara membuat karier sepak bola Cisse akhirnya selesai lebih cepat. Namun, lewat sepak bola pula, Cisse coba memulihkan perasaannya dengan bergabung bersama Timnas Senegal sebagai asisten pelatih pada 2010.
Mulai dari sini, dia memupuk kerinduan pada kampung halaman yang sempat enggan dijumpai lagi. Cisse mungkin sadar, hanya dengan prestasi yang menumbuhkan kebanggaan, kesedihan atas tragedi kapal tenggelam 2002 bisa dihilangkan.
Pada 2015, Cisse resmi menjadi pelatih kepala Senegal usai menggantikan Alain Giresse. Di bawah arahannya, pemain-pemain macam Sadio Mane, Cheikh Kouyate, dan M'Baye Niang muncul ke permukaan sebagai tumpuan. Dua tahun berselang, Cisse menggantarkan Senegal mentas kembali di Piala Dunia usai absen di tiga edisi sebelumnya.
ADVERTISEMENT
Di babak kualifiaski zona Afrika, Senegal tampil menawan dengan tidak tersentuh kekalahan dan akhirnya lolos ke Piala Dunia 2018 Rusia sebagai penyandang status juara Grup D, di atas Afrika Selatan, Burkina Faso, dan Cape Verde.
Cisse dan para pemain Senegal berbahagia. (Foto: REUTERS/Carl Recine)
zoom-in-whitePerbesar
Cisse dan para pemain Senegal berbahagia. (Foto: REUTERS/Carl Recine)
Kini, di usianya yang baru menyentuh angka 42, Cisse menjadi pelatih termuda di Piala Dunia 2018. Selain itu, dia juga satu-satunya pelatih berkulit hitam di turnamen ini. Namun, kondisi itu tidak membuat dirinya inferior dan membuktikannya dengan mengandaskan tim berperingkat 8 FIFA, Polandia, di laga perdana Grup H.
Hingga melakoni laga kedua melawan Jepang, Minggu (24/6) malam WIB, Cisse membawa Senegal sebagai satu-satunya negara asal Afrika yang belum kalah di Piala Dunia 2018. Dengan demikian, Senegal berpeluang untuk meloloskan diri ke babak 16 besar jika bisa mengalahkan atau paling tidak menahan imbang Kolombia di laga terakhir.
ADVERTISEMENT
Dan torehan ini menjadi tilas yang menunjukkan bahwa Cisse telah menemukan lagi kebahagiannya ketika pulang ke kampung halaman. Dia tak lagi berada di bawah bayang-bayang kesedihan dengan coba memberikan Senegal prestasi yang membanggakan di Piala Dunia seperti yang pernah dilakukannya pada 2002.
Namun, sebelum hajat sepak bola terbesar sejagat ini dimulai, Cisse memendam mimpi jauh lebih besar, yakni melihat wakil Afrika menjuarai Piala Dunia. "Memang sedikit lebih rumit bagi kami. Realitas kami berbeda dibandingkan benua lain, tetapi Afrika merupakan benua dengan penuh talenta," ucap Cisse seperti dilansir oleh Washington Post.
"Maka itu, saya memiliki keyakinan bahwa suatu hari nanti tim Afrika akan menjadi juara Piala Dunia. Senegal, Nigeria, dan negara Afrika lainnya mampu melakukannya, seperti Brasil, Jerman, atau tim lain di Eropa."
ADVERTISEMENT
***
Cisse kini mengenang 2002 tak hanya sebagai tahun yang menyedihkan, dia membawa kenangan Piala Dunia 2002 sebagai hasrat membawa Senegal menjadi wakil 'Benua Hitam' yang berprestasi di Piala Dunia 2018.