Sepak Bola yang Mendamaikan Tragedi

9 April 2020 12:10 WIB
clock
Diperbarui 19 April 2020 17:19 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Anak-anak Timor Leste bermain sepak bola. Foto: JEWEL SAMAD / AFP
zoom-in-whitePerbesar
Anak-anak Timor Leste bermain sepak bola. Foto: JEWEL SAMAD / AFP
Hidup tidak punya tugas untuk membuat dirinya selalu baik-baik saja. Kita--orang-orang yang dititipkan hiduplah--yang memiliki tugas untuk membuat hidup baik-baik saja.
Apa boleh buat, kita bukan Tuhan. Segala sesuatu yang bisa kita kendalikan hanya sejumput dari komponen besar yang eksis dalam dunia. Saat kita berusaha mencegah satu hal buruk, mala yang lebih besar justru datang menghajar.
Kita babak belur. Terkadang kita bahkan babak belur di waktu yang tidak mengizinkan kita untuk saling memeluk.
Sejumlah anak bermain sepak bola di Kali Biru. Foto: Fanny Kusumawardhani/kumparan
Contohnya sekarang, ketika kita bergelut melawan pandemi. Pelukan untuk saling menguatkan saat menghadapi hari buruk dan mendengar kabar tak sedap berubah menjadi ancaman yang membuat kita bisa saja saling menyakiti.
Lantas satu per satu dari kita mempertanyakan apa yang sebenarnya diinginkan oleh tahun 2020.
***
Etgar Keret punya segudang alasan logis untuk mengamuk seumur hidup. Ia penulis yang berasal dari Israel, negara yang dikecam dan dimusuhi banyak pihak.
Cerita tak sedap tentang Israel yang mengalir dalam darahnya tak sebatas kebangsaan. Kedua orang tua Keret adalah korban yang selamat dalam tragedi Holocaust. Asal-usul ini membuat Keret berhak memeram amarah dan menyebar duka dalam setiap tulisannya.
Hall of Names di dalam Yad Vashem Holocaust Museum berisi nama dan foto-foto para korban lengkap dengan kisahnya Foto: Shutter Stock
Namun, Keret tidak menulis dengan cara seperti itu. Alih-alih memaki atau meratap, ia menggunakan humor untuk berbicara lewat cerita pendek, esai, novel grafis, dan naskah filmnya. Kalaupun harus menyindir, ia akan menyindir dengan cara yang membuat kita tersenyum geli.
Pada 2004, Keret merilis antologi cerpen berbahasa Inggris yang berjudul 'The Bus Driver Who Wanted to be God and Other Stories'. Satu dari 21 cerpen dalam buku ini berjudul 'Shoes'. 'Sepatu', bila diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia.
Cerpen 'Shoes' dibuka dengan pekat: Trauma kolektif orang-orang Yahudi akan tragedi Holocaust yang diselami oleh seorang bocah. Anak ini melihat foto kakeknya yang merupakan korban Holocaust terpampang di museum.
Tragedi, trauma, dan bocah. Lengkap.
Penulis Israel, Etgar Keret. Foto: WOJTEK RADWANSKI / AFP
Beberapa hari setelah kunjungan ke museum tersebut, si bocah mendapat hadiah berupa sepasang sepatu bola bermerek adidas. Ini sepatu buatan Jerman, negara yang menjadi biang kerok tragedi Holocaust.
Si bocah menyukai sepatu ini. Ia serupa anak-anak seumurannya yang senang bermain sepak bola. Namun, sepatu buatan Jerman itu juga menghidupkan kembali ingatan akan penderitaan kakeknya yang nyaris tewas di kamp konsentrasi Nazi.
Semua ingatan buruk dan prasangka mencair dalam kehangatan permainan sepak bola si bocah dan kawan-kawannya.
Awalnya ia ragu untuk bermain dengan mengenakan sepatu tersebut. Si bocah merasa bersalah karena bersenang-senang dengan karya bangsa yang membikin kakeknya sengsara.
Seorang perempuan menaruh lilin di Memorial Holocaust. Foto: REUTERS/Vitaly Nevar
Namun, begitu kakinya yang dibungkus sepatu adidas itu menyentuh bola, tak ada lagi yang mengusik kepalanya selain bersenang-senang.
Sepak bola bekerja dengan caranya yang paling asyik. Olahraga ini bukan antidot untuk segala jentaka. Akan tetapi, sepak bola bisa menjadi pereda nyeri, mengalihkan ingatan buruk untuk beberapa saat sehingga kita bisa menikmati asyiknya waktu sekarang.
Lewat cerpen 'Shoes', secara tersirat Keret ingin menjelaskan bahwa sepak bola bukan juru selamat. Namun, sepak bola bisa membuatmu berdamai dengan tragedi dan ingatan buruk.
Ilustrasi anak-anak bermain bola. Foto: AFP/JEWEL SAMAD
'Shoes' tidak menjadi satu-satunya cerita yang menarasikan sepak bola sebagai pendamai. Di Indonesia, cerita bernuansa mirip terlihat dalam novel karangan Zen Rachmat Sugito yang berjudul 'Jalan Lain ke Tulehu'.
Gentur yang menjadi tokoh utama novel ini merupakan penggila sepak bola. Ia bahkan berkawan dengan salah seorang mantan pesepak bola. Jangan pikir si eks pesepak bola ini bergelimang prestasi. Kariernya di lapangan hijau gagal total.
Namun, orang ini pulalah yang membawa Gentur ke Tulehu, tempat setiap anak menjalani hidup dengan membawa satu pengertian tentang sepenting apa sepak bola bagi mereka.
Anak-anak di Aceh bermain sepak bola. Foto: ADEK BERRY / AFP
Sepak bola berkawan dengan ingatan masing-masing tokoh dalam novel ini. Ada yang menyenangkan seperti jam-jam bermain sepak bola sebagai pengalih penat akibat gempuran tugas, ada pula yang menyesakkan seperti konflik dan kematian.
Sepak bola yang dikisahkan di 'Jalan Lain ke Tulehu' pada akhirnya mirip dengan sepak bola yang disampaikan dalam 'Shoes'.
Jika dalam 'Shoes' sepak bola mendamaikan seorang bocah dengan tragedi dan ingatan buruk, sepak bola dalam 'Jalan Lain ke Tulehu' memampukan Gentur dan orang-orang Tulehu untuk melepaskan diri dari jerat konflik, bahkan yang berdarah sekali pun.
Novel yang rilis pada 2014 ini juga disebut Zen sebagai pra-wacana film 'Cahaya dari Timur: Beta Maluku' yang disutradarai oleh Angga Dwimas Sasongko dan diproduseri oleh mendiang Glenn Fredly.
Pada dasarnya, film ini berkisah tentang Sani Tawainella yang menyelamatkan anak-anak Tulehu dari konflik lewat sepak bola. Meski novel dan film ini berlatar sama, keduanya berdiri dengan cerita masing-masing.
Sepak bola yang membantu manusia melawan ingatan muram juga terefleksikan lewat cerita-cerita tentang stadion yang menjadi tempat pengungsian atau rumah sakit darurat. Cerita tentang orang-orang yang menonton pertandingan di tenda-tenda pengungsian juga bukan kisah baru.
Perang Dunia I membuat dunia porak-poranda. Negara-negara bermusuhan, tidak terkecuali Jerman dan Inggris. Namun, pada 25 Desember 1914, sepak bola datang dengan wajah jenaka dan tutur ramah.
Di atas No Man Land alias tanah sengketa yang sekarang adalah Belgia, tentara Inggris dan Jerman melakukan gencatan senjata, lalu bermain sepak bola bersama. Untuk sementara tak ada desingan peluru, dentuman granat, dan rintihan minta tolong.
Saat manusia kelelahan melawan bencana, penyakit, dan perang, sepak bola datang sebagai utusan Tuhan untuk menolong, menghibur, dan melerai sejenak.
Surealisme sepak bola: Perang dan anak-anak bermain sepak bola. Foto: TIMOTHY A. CLARY / AFP
Sepak bola yang ditampilkan dalam cerita-cerita tersebut menawarkan satu pilihan dalam memperlakukan tragedi, ingatan buruk, sejarah, kematian, ataupun mala.
Tragedi dan ingatan buruk mungkin tidak bisa dan tidak layak dilupakan. Namun, kita juga punya pilihan untuk tak menggunakan keduanya semata-mata demi merawat dendam dan menumbuhkan lara baru.
Siapa tahu, walau kita tak akan pernah paham apa yang diinginkan si tahun 2020, ini yang mesti dilakukan di hari-hari tersisa.
***
Catatan editorial:
Di masa social distancing seperti ini, kami akan berusaha mengulas film dan buku tentang sepak bola dan olahraga.
Sebagian bukan film atau buku baru, tetapi mungkin ini saat yang tepat untuk kembali menonton film dan membaca buku lama. Atau jangan-jangan ini menjadi waktu yang tepat untuk--akhirnya--menonton film dan membaca buku yang sudah lama tertumpuk.
***
kumparanDerma membuka campaign crowdfunding untuk bantu pencegahan penyebaran corona virus. Yuk, bantu donasi sekarang!