Setengah Abad Cafu

8 Juni 2020 7:22 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Cafu meraih banyak kesuksesan selama memperkuat AC Milan. Foto: AFP/Damien Meyer
zoom-in-whitePerbesar
Cafu meraih banyak kesuksesan selama memperkuat AC Milan. Foto: AFP/Damien Meyer
Pavel Nedved bukan pemain sembarangan. Bersama Lazio dan Juventus, pria asal Republik Ceko itu mengecap kesuksesan besar sebagai pesepak bola. Puncaknya, pada 2004, pemain berjuluk Furia Ceca (Amarah Ceko) itu merengkuh trofi Ballon d'Or.
Namun, ada satu titik dalam karier Nedved di mana dia harus rela diperlakukan bak amatiran. Pada sebuah Derby della Capitale antara Lazio dan Roma pada Desember 2000, Nedved berhadapan dengan salah satu pesepak bola terhebat sepanjang masa.
Nama pesepak bola itu Marcos Evangelista de Morais, tetapi publik sepak bola mengenalnya dengan nama Cafu.
Pertandingan belum genap berusia semenit ketika Cafu, yang bermain sebagai wing-back kanan untuk Roma, menerima umpan panjang dari Antonio Carlos Zago. Bagi Cafu, posisinya ketika menerima umpan Zago itu tidaklah menguntungkan.
Nedved yang bermain sebagai gelandang sayap kiri Lazio sudah menempelnya dengan ketat. Akan tetapi, di situasi itu kehebatan Cafu benar-benar terlihat. Usai menerima umpan Zago dengan dadanya, Cafu segera melambungkan bola melewati kepala Nedved.
Namun, Nedved tak terkecoh begitu saja, dan persistensi lawannya itu membuat Cafu harus berpikir lebih keras lagi. Hasilnya, dua sombrero lagi dilakukannya untuk betul-betul bisa melewati adangan Nedved.
Cafu sebetulnya bisa berbuat lebih banyak lagi setelah momen mencengangkan itu. Akan tetapi, Diego Pablo Simeone tak tinggal diam melihat aksinya. Oleh Simeone, Cafu dijatuhkan. Wasit pun meniup peluit dan memberikan tendangan bebas untuk Roma.
Momen di mana Cafu mengecoh Nedved dengan tiga sombrero itu memang spesial. Apalagi, saat itu Roma dan Lazio termasuk dalam kandidat kuat peraih gelar juara Serie A. Waktu itu, Derby della Capitale tak kalah bergengsi ketimbang El Clasico atau Derby della Madonnina.
Meski demikian, kehebatan Cafu tidak terwakilkan secara utuh di situ. Sebagai bek kanan, Cafu lebih dari sekadar orang yang bisa mempermalukan Nedved. Cafu, pada masa jayanya, adalah penakluk dunia.
***
Bahwa Cafu lahir pada 1970, itu merupakan sebuah pertanda tersendiri. Dua pekan sebelum Cafu dilahirkan, Carlos Alberto mencetak salah satu gol terbaik dalam sejarah untuk membawa Brasil menang 4-1 atas Italia di Final Piala Dunia 1970.
Sama seperti Cafu, Alberto juga berposisi sebagai bek kanan. Dan sama seperti Cafu pula, Alberto pun merupakan bek sayap yang lebih dikenal dengan kemampuan menyerangnya. Alberto sendiri menjadi inspirasi bagi Cafu dalam karier sepak bolanya.
Sedari kecil, Cafu sudah beroperasi di sisi kanan. Inilah mengapa julukan Cafu melekat padanya. Nama itu berasal dari sosok Cafuringa, pemain sayap kanan Brasil yang cukup populer pada pada dekade 1970-an.
Cafu kecil mengasah kemampuan sepak bolanya di jalanan Jardin Irene. Di bawah pengaruh sepak bola indah Tele Santana yang ditampilkan Brasil pada Piala Dunia 1982, Cafu memupuk mimpi untuk menjadi pemain kelas dunia.
Ketika berusia 18 tahun, Cafu akhirnya direkrut untuk masuk dalam akademi Sao Paulo. Di sinilah Cafu untuk pertama kalinya diminta untuk bermain sebagai bek kanan. Namun, pada awalnya Cafu sempat tidak nyaman mengemban peran tersebut.
"Aku sempat tidak nyaman bermain sebagai full-back, terutama karena aku harus belajar cara baru mengirim umpan silang. Akan tetapi, ketika Paulo Roberto Falcao memanggilku ke skuat Brasil pada 1990, aku menyadari bahwa Santana benar," ucap Cafu.
Santana sendiri mulai melatih Sao Paulo pada 1990. Lima tahun lamanya Cafu dibimbing oleh pria kelahiran 1931 tersebut. Santana menjadikan Cafu sebagai Leandro baru. Leandro sendiri merupakan bek kanan andalan Santana di Piala Dunia 1982.
Sepak bola ofensif ala Santana membuat para full-back diberi keleluasaan untuk membantu serangan. Bertahan seakan-akan jadi tugas nomor dua para pemain tersebut. Namun, apa yang diajarkan Santana itu memang berbuah hasil.
Selama bermain untuk Sao Paulo, Cafu berhasil meraih gelar Serie A Brasil, Copa Sudamericana, Copa Libertadores, sampai Piala Interkontinental (cikal bakal Piala Dunia Antarklub). Panggilan ke Timnas Brasil untuk Piala Dunia 1994 juga diterima Cafu.
Pada Piala Dunia 1994 itu Cafu sebetulnya hanya menjadi cadangan Jorginho. Akan tetapi, karena cedera, Jorginho hanya bermain selama 20 menit di laga final melawan Italia. Cafu kemudian masuk dan di akhir cerita Brasil juara lewat adu penalti.
Cafu (nomor 14) merayakan kemenangan Brasil di Final Piala Dunia 1994. Foto: AFP/Daniel Garcia
Penampilan mengesankan di Final Piala Dunia 1994, di mana dia membantu Brasil agar tidak kebobolan selama 100 menit, ditambah dengan rentetan trofinya bersama Sao Paulo, membawa Cafu ke La Liga pada musim 1994/95.
Kala itu Cafu direkrut oleh Real Zaragoza. Sayangnya, dia cuma bertahan selama semusim di sana. Cafu gagal menggeser posisi legenda klub Alberto Belsue dan mengalami cedera parah. Kesempatan bermainnya pun terbatas.
Dihadapkan dengan situasi sulit, Cafu memilih mudik ke Brasil. Tujuan utama Cafu sebenarnya adalah Palmeiras. Akan tetapi, karena ada perjanjian antara Sao Paulo dan Zaragoza yang melarangnya pindah ke Palmeiras, Cafu 'dibeli' terlebih dahulu oleh Juventude.
Setelah resmi jadi pemain Juventude, Cafu baru direkrut Palmeiras. Secara teknis, perjanjian antara Sao Paulo dan Zaragoza tadi tidak dilanggar. Bersama Palmeiras, Cafu kembali menemukan performa terbaik. Puncaknya adalah ketika dia membawa Brasil juara Copa America 1997.
Kesuksesan itu kembali membuka pintu Cafu ke Eropa dan setelah Copa America selesai digelar dia digaet oleh Roma. Saat itu, 'Serigala Ibu Kota' dilatih oleh Zdenek Zeman. Pelatih asal Ceko itu pun menjadi Santana baru bagi Cafu di Negeri Pizza.
Cafu datang ke Roma sebagai bek sayap ofensif. Di bawah asuhan Zeman, kemampuan menyerang Cafu semakin menjadi karena kebebasan yang diberikan pun kian besar.
Cafu saat bermain untuk AS Roma pada musim 1998/99. Foto: Getty Images/Claudio Villa
"Kami bukannya sama sekali tidak melatih pertahanan, tetapi secara taktis kami benar-benar mengejutkan. Perangkap offside kami dipasang hampir di garis tengah lapangan. Itu seperti bunuh diri! Zeman tidak peduli dan ingin kami bermain seperti itu di pertandingan liga," kenang Cafu seperti dikutip dari These Football Times.
Ajaran Zeman itu dibawa Cafu ke Timnas Brasil. Pada Piala Dunia 1998, agresivitas Cafu bahkan langsung berbuah gol pada pertandingan pembuka kontra Skotlandia. Cafu merangsek ke depan dan dengan berani melepas tembakan ke gawang Jim Leighton.
Gol pada akhirnya tidak menjadi milik Cafu karena panitia menyatakan gol tersebut merupakan hasil bunuh diri Tommy Boyd. Namun, aksi Cafu itu membuatnya jadi ancaman yang benar-benar serius bagi tim lawan.
Cafu menjadi salah satu sumber serangan utama Brasil bersama Roberto Carlos, Rivaldo, Ronaldo, dan Bebeto. Selecao asuhan Mario Zagallo pun lolos ke partai puncak usai menyingkirkan Belanda lewat adu penalti di semifinal.
Dalam pertandingan melawan Belanda, Cafu tidak bermain karena terkena akumulasi kartu. Posisinya digantikan untuk sementara oleh Ze Carlos dan Cafu baru bermain lagi pada pertandingan final kontra Prancis.
Sayangnya, perjalanan Brasil menemui antiklimaks. Prancis pimpinan Zinedine Zidane menunjukkan kedigdayaannya dengan menang telak 3-0.
Setelah Piala Dunia, Cafu bermain semusim lagi di bawah asuhan Zeman. Karena dianggap gagal, Zeman didepak Franco Sensi pada musim panas 1999 dan digantikan oleh Fabio Capello. Kedatangan Capello ini menandai lahirnya generasi emas Roma.
Cafu tak lagi bermain sebagai full-back di bawah Capello, melainkan sebagai wing-back, karena sang pelatih memainkan pakem dasar 3-5-2. Cafu beroperasi di sisi kanan, Vincent Candela mengawal sisi kiri.
Pada musim pertama di bawah Capello, Roma cuma berhasil finis di posisi keenam. Akan tetapi, pada musim panas 2000, Sensi menggelontorkan dana 50 juta euro untuk merekrut Gabriel Batistuta, Emerson Ferreira, dan Walter Samuel. Hidetoshi Nakata turut menyusul pada Januari 2001.
Dengan rekrutan-rekrutan baru ini, Roma berhenti menjadi tim kuda hitam. Mereka naik kelas jadi penantang gelar juara dan akhirnya merengkuh Scudetto pada akhir musim.
Setahun setelah merebut gelar juara Serie A, Cafu sukses meraih trofi Piala Dunia keduanya. Keberhasilan itu bahkan didapatkan Cafu sebagai kapten tim. Meski begitu, dia sempat mengalami kesulitan di Timnas Brasil pada babak kualifikasi.
Cafu mendapat kartu merah pada pertandingan melawan Paraguay dan pelatih Vanderlei Luxemburgo murka. Ban kapten di lengan Cafu dicopot oleh sang pelatih.
Luxemburgo sendiri akhirnya ditendang dan posisinya digantikan Luis Felipe Scolari. Akan tetapi, ban kapten tidak serta merta kembali ke lengan Cafu. Adalah Emerson yang dipercaya Scolari memimpin Timnas Brasil.
Cafu mengangkat trofi Piala Dunia 2002 sebagai kapten Timnas Brasil. Foto: AFP/Antonio Scorza
Namun, takdir memihak Cafu. Jelang pertandingan Final Piala Dunia 2002 menghadapi Jerman, Emerson mengalami cedera dan diharuskan absen. Ban kapten pada laga final pun melingkar di lengan Cafu lagi.
Ronaldo yang 'menghilang' pada Final Piala Dunia 1998 membayar tuntas dosanya dengan mencetak dua gol kemenangan Brasil atas Jerman. Trofi Piala Dunia jadi milik Brasil dan Cafu-lah yang berhak mengangkatnya.
Saat menjadi juara dunia untuk kali kedua, Cafu sudah berusia 32 tahun. Godaan untuk menutup karier di Jepang pun datang kepadanya. Akan tetapi, pada 2003, Cafu memilih untuk hijrah ke Milan. Sebab, ada satu target yang belum berhasil diraihnya, yaitu menjadi juara Liga Champions.
Walau sudah tak muda lagi, Cafu nyatanya masih sigap dalam melaksanakan tugas sebagai bek kanan. Dia masih agresif dalam menyerang dan semakin tangguh dalam bertahan. Pada 2005, Milan dibawanya lolos ke Final Liga Champions.
Di laga melawan Liverpool itu, Milan menjadi unggulan. Mereka bahkan berhasil mencetak tiga gol pada babak pertama. Akan tetapi, keajaiban kemudian tercipta. Liverpool mencetak tiga gol balasan dan akhirnya menang lewat adu penalti.
Pada usia 35 tahun, kesempatan Cafu untuk juara Liga Champions tampak sudah habis. Perlahan, tempatnya di sisi kanan pertahanan Milan pun tergeser oleh Massimo Oddo yang enam tahun lebih muda.
Meski begitu, pada 2007 Milan kembali berhasil menembus partai final, juga melawan Liverpool. Kali ini, Rossoneri tak lagi menyia-nyiakan kesempatan dan berhasil menang 2-1 berkat dwigol Filippo Inzaghi.
Cafu sendiri tidak bermain pada laga tersebut. Akan tetapi, karena ada di bangku cadangan, dia tetap berhak atas trofi Liga Champions perdanananya. Mimpi besar itu diwujudkan Cafu saat usianya sudah mendekati 37 tahun.
Setahun sebelumnya, Cafu akhirnya pensiun dari Timnas Brasil. Setelah Brasil kalah dari Prancis di perempat final Piala Dunia 2006, Cafu memutuskan untuk mundur.
Meskipun mundur di situasi yang mengecewakan, Cafu tetap menggoreskan catatan spesial. Dia mundur dengan catatan 142 caps yang membuatnya jadi pemain putra dengan jumlah penampilan terbanyak untuk Timnas Brasil sampai sekarang.
Pada 2008, Cafu gantung sepatu sepenuhnya. Si Kereta Ekspres (Pendolino) sampai di pemberhentian terakhirnya dengan membawa segudang trofi. Total, dia berhasil meraih 25 gelar kolektif di level klub dan internasional.
Minggu (7/6/2020), Cafu berulang tahun ke-50. Masa kejayaannya sudah lama sekali lewat. Akan tetapi, nama besar Cafu sampai sekarang belum juga luntur.
Bagi dunia sepak bola, Cafu adalah sosok spesial. Dia memang bukan bek sayap ofensif pertama di dunia. Akan tetapi, Cafu membuat keberadaan bek sayap ofensif sebagai sesuatu yang lumrah, bahkan penting, dalam sepak bola modern.
-----
Simak panduan lengkap corona di Pusat Informasi Corona. Yuk, bantu donasi atasi dampak corona.