Sopir Bus, Kuda Pacu, dan Hujan: Kisah di Balik Debut Serie A Hidetoshi Nakata

30 Maret 2020 15:48 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Hidetoshi Nakata dalam pertandingan versus Sampdoria di musim 1998/99. Foto: Wikimedia Commons/Claudio Villa
zoom-in-whitePerbesar
Hidetoshi Nakata dalam pertandingan versus Sampdoria di musim 1998/99. Foto: Wikimedia Commons/Claudio Villa
Hidetoshi Nakata bukan orang Jepang pertama yang bermain di kompetisi Eropa karena status itu sudah menjadi milik Yasuhiko Okudera pada dekade 1970-an. Dia pun bukan pesepak bola 'Negeri Matahari Terbit' pertama yang berlaga di Italia karena sebelumnya sudah ada Kazu Miura. Meski begitu, tak sedikit yang menyebut Nakata sebagai seorang pelopor.
Anggapan itu tidak salah karena sejak Nakata bermain untuk Perugia pandangan publik sepak bola Eropa terhadap pemain Asia berubah. Sejak saat itu pesepak bola dari Benua Kuning jadi lebih dihormati sampai akhirnya melihat pemain Asia bersinar di Eropa sudah tak lagi mengherankan. Nakata, sampai taraf tertentu, memang layak disebut sebagai peretas jalan.
Nakata sendiri datang ke Italia pada 1998 dan melakoni debut pada 13 September dalam laga melawan Juventus di Stadio Renato Curi. Perugia kalah 3-4 pada partai pembuka musim 1998/99 itu tetapi Nakata sukses mencuri perhatian lewat dua gol yang dicetaknya ke gawang Angelo Peruzzi. Pada hari itu sepak bola berubah untuk selama-lamanya.
Namun, sebelum kisah mengenai laga debut itu dimulai, kita harus memutar waktu ke tahun 1983, ketika seekor kuda pacu bernama Tony Bin dilahirkan di Republik Irlandia. Kuda pacu itulah yang nantinya bakal membuat Nakata bisa berkiprah di Negeri Piza. Kuda jantan berbulu cokelat itulah yang membuat Luciano Gaucci kaya raya.
Gaucci adalah presiden Perugia yang memboyong Nakata ke Umbria. Lahir di Roma pada 1938, Gaucci memulai segalanya dengan menjadi sopir bus. Akan tetapi, ambisi besarnya membuat Gaucci segera banting setir untuk memulai bisnis jasa kebersihan. Pada titik inilah mimpinya berkecimpung di sepak bola mulai muncul.
Luciano Gaucci (kedua dari kiri) bersama Fabrizio Ravanelli (kedua dari kanan). Foto: Wikimedia Commons
Dalam perjalanannya, jasa kebersihan itu tidak jadi satu-satunya lini bisnis yang dimiliki Gaucci. Dia juga mempunyai perusahaan apparel bernama Galex serta peternakan kuda pacu bernama Allevamento White Star. Berkat peternakan kuda itu, Gaucci akhirnya punya cukup uang untuk dihamburkan di sepak bola.
Pada 1983, lewat Allevamento White Star, Gaucci membeli Tony Bin dari breeder-nya. Kuda itu membuat reputasi Allevamento White Star melonjak drastis lewat keberhasilannya memenangi berbagai pacuan. Tony Bin sendiri akhirnya dijual Gaucci dengan harga 4 juta dolar AS kepada seorang pebisnis Jepang.
Uang dari penjualan Tony Bin itu, ditambah dengan hadiah uang dari kompetisi Prix de l’Arc de Triomphe dan Gran Premio del Jockey Club, membuat Gaucci jadi miliarder baru di Italia. Kekayaan yang didapat secara tiba-tiba ini kemudian membuat Gaucci berpikir untuk terlibat dalam sepak bola.
Pada 1991, Gaucci membeli Perugia yang tengah berkubang di Serie C. Hanya lima tahun kemudian, klub dari kota pelajar itu sudah kembali ke Serie A. Terakhir kali mereka berkiprah di level tertinggi sebelum itu adalah pada 1980.
Perugia sendiri sempat tampil mengejutkan di Serie A pada dekade 1970-an. Musim 1978/79, mereka sukses menyegel posisi runner-up tanpa pernah terkalahkan. Sayangnya, pada 1980 tadi mereka harus terdegradasi setelah mendapat pengurangan poin akibat skandal Totonero yang juga membuat AC Milan terdemosi.
Skuat Perugia musim 1998/99. Foto: Wikimedia Commons
Perugia akhirnya kembali ke Serie A pada 1996 tetapi langsung terdegradasi lagi. Pada 1998, mereka mendapat promosi usai mengalahkan Torino playoff Serie B. Kepastian kembali ke Serie A ini kemudian berujung pada sebuah perjudian yang dilakukan oleh Gaucci di pasar transfer.
1998 adalah tahunnya Piala Dunia dan pada turnamen di Prancis tersebut nama Nakata benar-benar mencuat. Timnas Jepang untuk pertama kalinya lolos ke putaran final dan Nakata tampil mengesankan meski harus berhadapan dengan bintang-bintang macam Diego Pablo Simeone dan Zvonimir Boban.
Di akhir kisah, Jepang gagal lolos ke babak 16 besar karena selalu kalah di fase grup. Akan tetapi, performa ciamik Nakata tak luput dari pantauan klub-klub sepak bola Eropa. Dengan mahar 4 juta euro, Nakata didatangkan Gaucci dari Bellmare Hiratsuka ke Perugia.
Sebenarnya, performa apik Nakata di Piala Dunia 1998 itu tidaklah mengejutkan. Sebab, dua tahun sebelumnya, di gelaran Olimpiade Atlanta 1996, Nakata sudah menampilkan potensi yang amat besar. Dia adalah aktor kunci di balik kemenangan Jepang atas Brasil pada perhelatan akbar tersebut.
Ketika diboyong Gaucci, usia Nakata baru berusia 21 tahun. Akan tetapi, kematangan bermainnya sudah menandingi pemain-pemain lain yang jauh lebih berpengalaman. Pada pertandingan debut melawan Juventus itu, Nakata sukses menunjukkan bahwa dia layak bermain di liga sekeras Serie A.
Hujan deras turun di Perugia pada debut Nakata tersebut. Akan tetapi, itu tak menghalangi antusiasme para suporter I Grifoni untuk memadati Stadio Renato Curi. Di bawah payung dan dari balik jas hujan, mereka berdesakan untuk menyaksikan momen bersejarah tersebut.
Di lapangan, antusiasme turut ditunjukkan para pewarta. Dalam laga itu, Juventus memainkan bintang-bintangnya, mulai dari Zinedine Zidane sampai Alessandro Del Piero, dari Filippo Inzaghi sampai Edgar Davids. Namun, yang menjadi perhatian utama adalah Nakata.
Bahkan, setelah sesi pemotretan tim selesai, Nakata harus menunggu lebih lama karena fotografer masih berebutan mengambil gambarnya. Di kerumunan itu, ada dua sentimen. Para wartawan Italia setengah berharap Nakata akan gagal. Di sisi lain, para jurnalis Jepang yang hadir tentu saja ingin pemain pujaannya membungkam segala keraguan.
Dalam susunan sebelas awal, dituliskan bahwa Nakata bermain sebagai gelandang serang. Akan tetapi, pada praktiknya, dia tak jarang menjemput bola sampai lini belakang. Selain itu, Nakata juga tak segan berjibaku untuk merenggut bola dari kuasa lini tengah Juventus yang dipimpin Zidane.
Di situ, lagi-lagi, Nakata menjadi berlian di kubangan lumpur. Praktis, selain Nakata, tak ada satu pun pemain Perugia asuhan Ilario Castagner yang sanggup menandingi kedigdayaan bintang-bintang 'Si Nyonya Tua' kecuali mungkin Gianluca Petrachi yang beroperasi di sayap kanan.
Nakata bak bekerja sendirian untuk Perugia. Di sisi lain, Juventus dengan angkuhnya mencetak tiga gol ke gawang Angelo Pagotto pada babak pertama. Davids, Igor Tudor, dan Gianluca Pessotto secara bergiliran membuat Stadio Renato Curi berhenti bergemuruh.
Para pemain Perugia pun masuk ruang ganti dengan kepala tertunduk. Akan tetapi, di situlah kemudian titik balik pertandingan terjadi. Selepas jeda, Perugia seperti menemukan energi baru untuk menyelamatkan muka di hadapan para pendukungnya.
Hanya tujuh menit setelah sepak mula babak kedua, Nakata sukses mencetak gol ke gawang Angelo Peruzzi. Memanfaatkan sodoran Petrachi, Nakata yang masuk ke area half-space kotak penalti melepaskan tembakan dari sudut sempit. Peruzzi tak mampu membendungnya dan gawang Juventus pun koyak.
Tak lama kemudian, aksi serupa membuat napas para pendukung Perugia tertahan. Akan tetapi, kali ini sepakan keras Nakata hanya membentur jala gawang bagian samping. Baru pada menit ke-59 Nakata benar-benar bisa menaklukkan Peruzzi lagi. Kali ini dia melakukannya dengan memanfaatkan scrimmage menyusul sebuah sepak pojok.
Tak lama sesudah gol kedua Nakata itu Daniel Fonseca yang menggantikan Zidane pada babak pertama sukses memecundangi Pagotto. Juventus pun kembali memegang kendali laga sehingga gol penalti Antonio Bernardini di menit terakhir jadi tak berarti apa pun.
Pada hari itu epos Nakata di Italia lahir. Dalam perkembangannya, dia tidak cuma menjadi pembeda di lapangan tetapi juga magnet di luarnya. Berkat Nakata, setidaknya 3.000 orang Jepang selalu hadir di tribune Renato Curi. Berkat Nakata pula, Calex kebanjiran pesanan jersi yang jumlahnya mencapai 70 ribu helai.
Hidetoshi Nakata saat membela Perugia di Serie A 1998/99. Foto: Getty Images/AllSport
Pada 2000, setelah satu setengah musim di Perugia, Nakata dibeli Roma dengan nilai transfer mencapai 22 juta euro, lebih dari lima kali lipat harga belinya dari Bellmare Hiratsuka. Kepindahan menuju Parma dengan harga selangit pun menyusul tak lama kemudian.
Selama di Italia, Nakata menjadi pelopor tak cuma bagi para pemain Asia tetapi juga bagi para pemain lainnya dalam memanfaatkan internet. Bukan rahasia lagi kalau Nakata tak pernah bersedia diwawancara. Sebagai gantinya, dia menggunakan situsweb pribadinya, Nakata.net, untuk membagikan informasi.
Pada puncak karier Nakata, situsweb pribadi itu bisa menarik sampai 200 ribu pengunjung setiap harinya. Perlu diingat bahwa pada masa itu internet merupakan sebuah kemewahan yang tak bisa dinikmati semua orang sehingga angka 200 ribu pengunjung tadi terbilang fantastis.
Selain itu, Nakata juga menjadi ikon fesyen. Sejak datang ke Italia, warna rambutnya sudah menyita perhatian dan inilah yang menjadi nilai jual Nakata selama berkarier di sepak bola. Sayangnya, karier ini tak berjalan terlalu lama karena pada 2006, di usia 29 tahun, Nakata memutuskan gantung sepatu.
Ketika memutuskan pensiun pasca-Piala Dunia 2006, Nakata mengaku sudah tak lagi mencintai sepak bola. Ucapan itu terbukti dengan pilihan karier yang kemudian dia ambil. Nakata kemudian terjun ke dunia fesyen dan kuliner. Dua dunia itu masih digelutinya sampai sekarang.
-----
kumparanDerma membuka campaign crowdfunding untuk bantu pencegahan penyebaran corona virus. Yuk, bantu donasi sekarang!