Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.103.0
Soundtrack untuk “Wayne Rooney: Homecoming”
10 Juli 2017 10:52 WIB
Diperbarui 14 Maret 2019 21:17 WIB

ADVERTISEMENT
Jika hidup adalah serangkaian adegan, semestinya selalu ada soundtrack yang pas untuk tiap-tiap adegan itu. Tak terkecuali ketika kau kembali ke rumah.
ADVERTISEMENT
Ada aura melankolis ketika kita mengucapkannya: “kembali ke rumah”. Entah karena sekadar terkenang atau barangkali karena kita meninggalkan urusan yang belum selesai di sana.
“Kembali ke rumah” adalah perkara menyelami kembali ingatan, menelusuri jalan-jalan sepetak di sebelah rumah, atau berhenti di stasiun kecil nan lowong, tak jauh dari tempat kita akan mengetuk pintu.
Pada Agustus 2004, Wayne Mark Rooney, yang waktu itu tengah menanti ulang tahunnya yang ke-19, meninggalkan rumahnya. Ia berangkat dari Liverpool menuju Manchester, yang jaraknya bisa ditempuh dalam waktu 45 menit menggunakan kereta.
Rooney adalah bocah ingusan dari Croxteth, sebuah lingkungan yang tak bisa dibilang mewah di Liverpool sana, dan hanya berjarak 11 menit dari stadion milik Everton, Goodison Park. Rumahnya di Croxteth tidak terlalu besar, hanya punya ruang televisi dan dapur di lantai satu dan dua kamar di lantai atas.
ADVERTISEMENT
Tapi bocah ingusan itulah yang mengejutkan banyak orang Inggris ketika ia membobol gawang Arsenal, lima hari sebelum ulang tahunnya yang ke-17. Kendati Rooney masih sempat pulang naik sepeda, dan bermain bola bersama teman-teman seumurnya di jalanan, cerita tidak pernah sama lagi untuknya.
Semenjak hari itu, Rooney dikenal sebagai prodigy. Calon pemain besar. Pada musim panas 2004 itu, ia meninggalkan Everton, klub yang dibelanya sejak bocah, dan bergabung dengan Manchester United, tempat di mana ia kelak memenangi trofi demi trofi, menjadi kapten, dan masuk buku rekor klub.
Tiga belas tahun berlalu, pada musim panas lainnya, Rooney akhirnya pulang. Ia menyambut tangan terbuka Everton, yang kini menerimanya sebagai pria dewasa.
Jika hidup adalah serangkaian adegan, semestinya (ya, semestinya) ada soundtrack yang pas untuk momen ini. Dan biarkan kami di kumparan (kumparan.com) membuatkannya untuk Rooney.
ADVERTISEMENT
Embrace - Come Back to What You Know
Kuintet asal Yorkshire ini pernah dengan jenialnya menggubah ‘Gravity’, lagu yang dibuang begitu saja oleh Coldplay, menjadi sebuah ballad yang cukup menghanyutkan. Jauh lebih sederhana dari versi milik Coldplay yang terbilang lebih introspektif.
Pada 1998, Embrace merilis album perdana mereka, 'The Good Will Out', yang dipuji banyak kritikus. Single kelima dari album ini, ‘Come Back to What You Know’, rasa-rasanya pas untuk menemani perjalanan “pulang ke rumah” Rooney.
“There’s nothing new that we can’t leave behind. Come back to what you know. Take everything, real slow. I want to lose you, but I got far too high.”
Stereophonics - Maybe Tomorrow
ADVERTISEMENT
Rooney merajah badannya dengan berbagai tattoo. Salah satunya bertuliskan “Just Enough Education to Perform” di tangan kanannya. Frase tersebut diambil dari judul album milik band asal Wales, Stereophonics, yang dirilis pada 2001.
Kelly Jones, vokalis sekaligus penulis lagu utama untuk Stereophonics, adalah orang yang bisa menyanyikan lagu ballad dengan begitu gagahnya. Jones bisa menyanyikan sesuatu yang melankolis dengan mewahnya lewat suara yang serak.
Lagu ‘Maybe Tomorrow’ adalah salah satunya. Rooney bisa mengibadahinya baik-baik: “Think I’ll walk me outside and buy a rainbow smile. But be free. They’re all free. So, maybe tomorrow, I’ll find my way home.”
The Beatles - Strawberry Fields Forever
Entah mengapa, ‘Strawberry Fields Forever’ dari kuartet asal Liverpool ini selalu terasa sebagai sebuah perayaan akan kebebasan. Kendatipun lagunya sendiri tidak penuh dengan ingar-bingar suara.
ADVERTISEMENT
Tapi, lirik bikinan John Lennon yang menyebut bahwa hidup terasa lebih mudah dengan menutup mata mengingatkan kita akan ketenangan yang biasanya amat mahal untuk dibeli. Barangkali, pulang ke rumah adalah salah satu kemewahan itu.
Oasis - Champagne Supernova
Rooney pernah meminta gitarnya ditandantangani oleh Noel Gallagher, pentolan sekaligus penulis lagu utama untuk Oasis. Ketika melakukannya, Rooney tentu tahu kalau Noel, bersama sang adik, Liam Gallagher, adalah penggemar fanatik Manchester City —rival sekota United.
‘Champagne Supernova’ yang kami masukkan di sini adalah sebuah penutup yang mewah dari magnum opus milik Oasis, ‘(What’s the Story) Morning Glory?’.
Dengan panjang hampir 8 menit, ‘Champagne Supernova’ tak ubahnya sebuah lagu penutup sebuah film, tepat ketika credit title digulirkan di ujung. Sekarang, anggaplah film itu sebagai sebuah hidup.
ADVERTISEMENT
The Verve - Bitter Sweet Symphony
Richard Ashcroft, vokalis The Verve, adalah penggemar fanatik Manchester United kendatipun ia lahir di Wigan. Sebagai orang Wigan, Ashcroft mengaku dirinya bukanlah sosok yang neko-neko. Hidup, kata dia, semestinya dijalankan dengan sepadannya saja, tidak perlu berlebihan.
‘Bitter Sweet Symphony’ adalah salah satu lagu terbaik yang pernah dibuat The Verve dan sedemikian melegendanya sehingga lagu ini begitu identik dengan mereka.
Konon, lagu ini merupakan representasi pemikiran Ashcroft menyoal asal-usul seseorang. Ke manapun orang itu pergi, ia tidak akan pernah bisa melupakan akarnya. Rooney, barangkali, juga demikian.