Tammy Abraham dan 'Patience' ala Tame Impala

10 Oktober 2019 14:57 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Penyerang andalan Chelsea, Tammy Abraham. Foto: REUTERS/David Klein
zoom-in-whitePerbesar
Penyerang andalan Chelsea, Tammy Abraham. Foto: REUTERS/David Klein
ADVERTISEMENT
Karena lebih suka mendengarkan hip-hop, dugaan kami Tammy Abraham tak pernah memutar lagu-lagu Tame Impala di kamarnya. Tapi, dua orang tak saling kenal ini punya satu kesamaan: Keduanya tahu, kesabaran itu menyeimbangkan hidup.
ADVERTISEMENT
"Has it really been that long?" begitulah sapa Kevin Parker di bagian awal single Tame Impala, Patience. Lagu ini dirilis Maret lalu, atau kurang lebih empat tahun setelah grup musik psikedelik rock asal Australia itu merilis album eksperimental Currents.
Berkat Currents, Parker dan kawan-kawannya di band bisa manggung di festival musik besar macam Coachella. Namun, di sisi lain, keberhasilan itu juga yang membikin Parker terlalu berhati-hati dalam mengomposisikan album Tame Impala selanjutnya.
Dalam lagu Patience, terdengar dua sisi dari Parker. Di bagian awal, sosok berusia 33 tahun ini bernyanyi dengan kecemasan dan rasa takut. Emosi ini muncul karena dia menduga Tame Impala sudah dilupakan karena terlalu lama asyik sendiri.
Namun, tak lama sisi lain Parker terdengar. Tanpa menggurui, sisi ini mengajak Parker melihat dunia dari sudut pandang berbeda. Terutama di bagian post-chorus, yang terdengar seperti mantra untuk fokus terhadap usaha sendiri.
ADVERTISEMENT
I should be flying straight, don't be late
'Cause time waits for no one
I should be flying straight, don't be late
'Cause time takes from everyone
Abraham sendiri pernah akrab dengan perasaan semacam itu. Takut bahwa dirinya tak cukup baik, takut dengan masa depan yang tak pernah pasti. Namun, Abraham terus melangkah, dan akhirnya menjadi pilihan utama di lini serang Chelsea musim ini.
Kisah Abraham di Chelsea bermula dari tim akademi. Suatu waktu di fase tersebut, tepatnya empat tahun lalu, sosok kelahiran London ini mencetak satu gol saat Chelsea menghadapi Manchester City dalam pertandingan final FA Youth Cup.
Rupanya, Roman Abramovich menyaksikan pertandingan yang berakhir kemenangan 2-1 untuk Chelsea itu. Setelahnya, sang pemilik Chelsea itu berfoto dengan tiga pemain muda The Blues. Salah satunya, ya, Abraham.
ADVERTISEMENT
Sejak hari itu, Abramovich sadar bahwa Abraham memiliki potensi yang terlalu bagus untuk disia-siakan. Mungkin pula pebisnis asal Rusia itu sudah mendengar bahwa Abraham memiliki obsesi untuk menjadi penyerang legendaris Chelsea seperti Didier Drogba.
Pandangan Abramovich ini tak serta merta membuat jalan Abraham menjadi mudah. Tetapi, siapa, sih, yang tumbuh dalam zona aman?
Mari maju ke 2016. Kala itu, Chelsea menjauh dari kesempatan untuk merekrut Gabriel Barbosa yang sedang bagus-bagusnya demi Abraham. Padahal, Abraham saat itu bahkan belum pernah sekali pun tampil bersama tim senior Chelsea.
Abraham kemudian dipinjamkan ke Bristol City selama 2016/17. Tim berjuluk The Robins ini sebenarnya tak istimewa di Championship. Tetapi, Abraham tetap mau memberikan upaya maksimal. Hasilnya sendiri layak dibanggakan.
ADVERTISEMENT
Pada 14 laga awal, Abraham mencetak 11 gol. Saat musim berakhir, dia sudah mencetak 26 gol. Dengan begitu, Abraham menjadi pemain pertama dalam sejarah klub yang memenangi Pemain Terbaik, Pemain Muda Terbaik, dan Topskor Bristol.
"Kemampuannya (Abraham) dalam memanfaatkan ruang yang tak dilihat oleh pemain-pemain lain jelas membuat saya kagum. Rasanya seperti dia mendekati gol di saat yang lain menjauhinya," kenang pelatih Bristol, Lee Johnson, kepada Telegraph.
"Saat dia datang ke sini, usianya baru 18 tahun. Saya sempat berpikir, 'Apakah dia peduli bahwa tim ini dilatih oleh Lee Johnson?' Pasalnya, laju kami musim itu tak cukup bagus. Tetapi, dia peduli dan tetap berjuang untuk saya."
Tammy Abraham saat memperkuat Bristol City. Foto: Twitter / Squawka
"Ini tak hanya menunjukkan bahwa dia sudah dewasa. Tetapi, terlihat dia memiliki kompas moral yang berfungsi," lanjutnya.
ADVERTISEMENT
Di musim berikutnya, berbagai klub Inggris dan Eropa tertarik untuk mendatangkan Abraham. Di sisi lain, Chelsea sudah ditawari Richarlison dari timnya langsung, Fluminense. Namun, pada akhirnya Chelsea tetap kukuh dengan keyakinannya.
Keputusan ini mulanya terlihat salah. Pada akhirnya, Richarlison bergabung dengan Watford dan mengakhiri musim 2017/18 dengan sensasional. Di musim berikutnya, sosok berusia 22 tahun ini pindah ke Everton dengan mahar 50 juta poundsterling.
Sementara, Abraham kembali dipinjamkan. Swansea City menjadi tujuan dan laju Abraham tak bagus selama 2017/18. Usai mengukir 5 gol pada 10 laga awal, dia hanya bikin 3 gol hingga akhir musim. Swansea pun pada akhirnya terdegradasi dari Premier League.
Tammy Abraham saat memperkuat Swansea City Foto: Twiter / Oddschanger
Tanda tanya pun lantas muncul. Apakah Abraham memiliki apa yang dibutuhkan untuk bersinar di Premier League? Pada tenggat bursa transfer musim panas 2018, Abraham kembali dipinjamkan ke tim Championship, Aston Villa.
ADVERTISEMENT
Di masa peminjamannya kali ini, Abraham tak merasa bahwa dia terlalu bagus untuk tampil di Championship. Malah, mentalitasnya tetap sama. Dengan peminjaman ini, Abraham ingin membuktikan bahwa kegagalannya di Swansea hanya perkara nasib buruk.
Dalam masa peminjaman kali ini, Abraham kembali ciamik dan catatan 14 gol hingga Januari 2019 sebagai bukti.
Gara-gara gol-gol ini, Wolverhampton Wanderers pun mengetuk pintu Chelsea pada bursa transfer musim dingin 2019. Saat itu Wolves sudah di Premier League dan mereka ingin Abraham, tak peduli apakah itu dengan status pinjaman atau permanen.
Mulanya Chelsea tertarik untuk meminjamkan Abraham ke Wolves. Namun, ide ini pada akhirnya tak dijalankan Chelsea karena sadar Abraham sedang bagus-bagusnya di Villa. Jika ke Wolves, Abraham jelas harus mengulang semuanya dari titik nol.
ADVERTISEMENT
Aksi Tammy Abraham (kanan) saat masih memperkuat Aston Villa. Foto: REUTERS/David Klein
Langkah manajemen Chelsea ini nyatanya tepat. Musim tersebut berakhir dengan Abraham mengukir 25 gol. Sementara, Villa berhasil promosi ke Premier League via play-off.
"Selama di Swansea, semuanya berjalan sulit untuk dia (Abraham). Tetapi, dia memutuskan datang ke Aston Villa dan terasa seperti hampir dia seorang diri yang membawa tim ini promosi ke Premier League," puji eks manajer Villa, Steve Bruce.
"Apa pun yang terjadi dalam kariernya, saya takkan kaget lagi."
Menariknya, yang dihadapi Villa di final play-off Championship adalah Derby County. Pada musim 2018/19, tim berjuluk The Rams itu tampil fantastis di bawah naungan Frank Lampard. Menariknya, usia rata-rata skuat Derby saat itu 24,1 tahun.
Sebelum laga yang berakhir kemenangan Villa 2-1 atas Derby itu, Abraham menuturkan keinginannya untuk melihat Lampard menjadi pelatih Chelsea kepada awak media. Siapa sangka, tak lama setelah laga itu, harapan ini sungguh terwujud?
ADVERTISEMENT
Membahagiakannya lagi untuk Abraham, Lampard juga mempromosikan Joe Edwards sebagai tangan kanannya di Chelsea. Sebelumnya, Edwards merupakan pelatih tim akademi Chelsea dan sudah kenal dengan Abraham sejak di tim U-8.
Lampard dan Edwards sendiri datang melatih Chelsea di masa yang tepat. Musim panas 2019, Chelsea harus menjalani hukuman larangan transfer. Dengan begitu, para pemain akademi, terutama Abraham, mendapatkan lebih banyak kesempatan.
Tammy Abraham merayakan golnya ke gawang Sheffield United. Foto: Action Images via Reuters/Paul Childs
Situasi ini betul-betul dimanfaatkan Abraham untuk melesat. Bersama Sergio Aguero, dia menjadi topskor sementara Premier League dengan 8 gol. Dia pun kini diperebutkan Timnas Nigeria dan Timnas Inggris.
Bagi Abraham, inilah buah kesabaran. Inilah hasil dari terus memanfaatkan kesempatan sebaik mungkin, entah sekecil apa pun itu. Inilah faedah dari keengganan untuk menuruti rasa iri yang pada akhirnya cuma bikin kepala penuh dengan ilusi.
ADVERTISEMENT
Karena, seperti yang Kevin Parker bilang dalam Patience, "Waktu takkan menunggu demi satu orang pun."