Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
ADVERTISEMENT
Bagi Francesco Totti, kematian bukanlah hal terburuk yang bisa menimpa dirinya. Totti tidak takut akan hal itu. Justru, hal yang paling membuatnya sengsara adalah ketiadaan pilihan selain meninggalkan Roma. Itulah yang terjadi pada Senin (17/6/2019) kemarin.
ADVERTISEMENT
Tiga dekade lamanya Totti bernaung di bawah panji Roma. Mulanya sebagai kadet, lalu sebagai pemain, kemudian sebagai legenda, hingga akhirnya sebagai direktur. Dengan rekam jejak seperti itu, muskil untuk membayangkan Totti angkat kaki dari klub ibu kota Italia tersebut. Namun, ketika Roma yang dia lihat sekarang bukan lagi Roma yang dia kenali, Totti pun mengambil langkah drastis.
Senin (17/6) sore WIB, Totti bicara panjang lebar dalam sebuah konferensi pers. Dia menggunakan kesempatan itu tak cuma untuk berpamitan tetapi juga untuk menjelaskan mengapa dia memilih untuk pergi. Ada beragam alasan yang dia paparkan, tetapi pada intinya Totti pergi karena tak sudi lagi berurusan dengan orang-orang yang kini menguasai Roma.
"Mereka ingin menyingkirkan orang-orang Roma dari Roma dan mereka telah berhasil. Meninggalkan Roma rasanya lebih menyesakkan dari ketika aku harus pensiun. Sekarang rasanya aku lebih baik mati saja," kata Totti dalam konferensi pers tersebut.
ADVERTISEMENT
Mereka yang dimaksud Totti itu adalah James Pallotta dan orang-orang bawaannya. Pallotta, lewat Raptor Group yang didirikannya di Boston, Amerika Serikat, mengambil alih Roma dari tangan keluarga Sensi pada 2011. Menurut kesaksian Totti, kedatangan Pallotta cs. itu tak membuat Roma jadi lebih baik, salah satunya karena adanya upaya 'genosida identitas' itu tadi.
Apa yang dilakukan Totti tersebut persis seperti apa yang dulu pernah diperbuat oleh CM Punk jelang kepergiannya dari WWE. Dalam istilah gulat profesional, konferensi pers Totti tadi disebut pipebomb di mana segala unek-unek ditumpahkan secara sistematis, masif, dan terstruktur.
Yang lantas membedakan situasi Totti di Roma dengan CM Punk di WWE adalah kemunculan respons terbuka. Di WWE, tentu saja, semua dibicarakan di balik layar. Sementara itu, di sepak bola, wabil khususnya di Roma saat ini, tanggapan pun disampaikan secara terbuka.
ADVERTISEMENT
Menurut Roma, apa yang disampaikan Totti mengada-ada. Mereka berkata bahwa Totti sebenarnya sudah ditawari posisi krusial sebagai direktur olahraga ketika Monchi mengundurkan diri. Akan tetapi, Totti tidak pernah mengiyakan tawaran dari kubu I Lupi tersebut. Pertanyaannya sekarang, bagaimana sebenarnya duduk perkara masalah ini?
Alright, spill.
Oke, buat menjelaskan ini semua, kita harus kembali ke masa ketika Roma diambil alih oleh Pallotta dan kroni-kroninya. Ini adalah cerita panjang. Sudah siap?
Tak pernah kami lebih siap dari sekarang.
Bagus. Oke, kumulai ceritanya.
Semua yang terjadi di Roma sekarang, seperti halnya kisah Lionel Messi dan Barcelona, berawal dari selembar serbet. Kala itu, seorang pengacara Italia-Amerika bernama Joseph Tacopina —yang sekarang jadi pemilik Venezia— menyambangi sebuah pertandingan Roma.
ADVERTISEMENT
Bukannya senang, Tacopina justru kecewa berat dengan kondisi Roma saat itu. Ada banyak sekali kekurangan, mulai dari fasilitas stadion yang tak lengkap sampai ketiadaan toko suvenir yang representatif, yang ditemui olehnya. Segala kekurangan itu dia tulis di selembar serbet tadi dan dia bawa pulang ke Amerika.
Sekembalinya ke Amerika, Tacopina menemui grup investor Raptor Group dari Boston. Singkat kata, Tacopina berhasil membujuk Raptor Group untuk membeli Roma dari tangan keluarga Sensi. Sejak 2011, Roma pun berada di bawah kepemilikan Amerika.
Awalnya, Roma dipimpin oleh seseorang bernama Thomas DiBenedetto. Namun, masa kepemimpinannya cuma seumur jagung. Dia lantas digantikan oleh Pallotta. Inilah yang kemudian menjadi pangkal dari segala masalah.
Kok, bisa?
ADVERTISEMENT
Well, kalau kita lihat dari apa yang dikatakan Totti tadi, sebenarnya ada benturan dua kepentingan. Totti adalah kaum fundamentalisnya di sini. Dia adalah orang Roma totok yang seumur hidupnya tidak pernah merasakan hidup di tempat lain. Dia lahir, besar, makan, berak, dan beranak di kota itu. Kota Roma adalah kotanya dan AS Roma adalah identitas dirinya.
Itulah kenapa, Totti ingin agar orang-orang Roma seperti dirinya lebih dihargai. Bukan kebetulan pula jika pipebomb Totti ini muncul sekarang. Pasalnya, beberapa waktu yang lalu, anak Roma asli lainnya, Daniele De Rossi, dipaksa untuk meninggalkan klub meskipun dirasa masih bisa berkontribusi. Ketika Totti berkata bahwa 'mereka ingin menyingkirkan orang-orang Roma dari Roma', kemungkinan besar inilah yang dimaksud olehnya.
ADVERTISEMENT
Nah, sementara itu, Pallotta dan kroni-kroninya kemungkinan besar punya pertimbangan lain. Mungkin, mereka sebenarnya tidak bermaksud melakukan apa yang disebut Totti. Pallotta cs. hanya bermaksud membuat Roma menjadi lebih profesional dan itu berarti harus ada yang dikorbankan. Dalam prosesnya, 'orang-orang' Roma tadilah yang menjadi korban.
Jadi, sebenarnya tidak ada apa-apa?
Ya, tidak bisa dibilang begitu juga. Masalahnya begini... Pallotta semestinya paham akan kultur persepakbolaan di Eropa. Tim-tim sepak bola Eropa bukan cuma unit bisnis seperti waralaba olahraga di Amerika sana. Ada perkara-perkara yang tak bisa diukur secara pasti seperti romantisme personal dan lain-lain. Identitas Roma, yang terwakili oleh orang-orang seperti Totti dan De Rossi, tidak semestinya dienyahkan begitu saja.
ADVERTISEMENT
Tapi, bukankah para pejabat Roma sudah menjanjikan Totti posisi penting sebagai direktur olahraga? Bukankah ini merupakan sebuah cara untuk mempertahankan identitas tadi?
Ya, betul. Tapi, seberapa besar peran Totti nantinya? Totti sudah bilang bahwa dia ingin mendatangkan Antonio Conte sebagai pelatih baru Roma. Conte, kata Totti, sudah mengiyakan tawaran darinya. Akan tetapi, kita semua tahu bahwa Conte sekarang sudah berlabuh ke Inter dan pelatih Roma saat ini adalah Paulo Fonseca.
Itu adalah bukti bahwa Totti sebenarnya tidak punya kekuatan di jajaran manajemen Roma. Dan itulah yang membuat Totti memilih untuk pergi. Dia merasa bahwa sebagai petinggi Roma tak ada lagi yang bisa dilakukan olehnya. Roma saat ini sudah terjebak dalam proses regenerasi tak berujung yang akhirnya malah menumbalkan prestasi.
ADVERTISEMENT
Ah, prestasi. Jadi, ini pangkalnya?
Jelas saja. Roma ini 'kan klub sepak bola, bukan badan usaha biasa. Bagi klub sepak bola, prestasi adalah yang utama. Dari sana, barulah keuntungan dan segala macamnya dikejar. Logika yang benar untuk menjalankan sebuah klub 'kan seharusnya begitu. Tapi, oleh Pallotta cs., logika ini dibalik.
Selama ini, yang menjadi proyek terbesar Pallotta di Roma adalah pembangunan Stadio della Roma. Roma ingin pindah dari Olimpico agar bisa meraup keuntungan maksimal. Mereka bisa menjual tiket lebih banyak, lebih leluasa dalam menjual suvenir dan semacanya, dan bahkan bisa menjual hak penamaan stadion ke pihak ketiga. Menurut Pallotta, hanya dengan beginilah Roma bisa meraih prestasi maksimal.
Akan tetapi, proses pembangunan stadion itu sampai sekarang belum jelas juntrungannya. Roma sampai sekarang pun masih bermukim di Olimpico. Untuk mengakali situasi itu, Pallotta mencoba trik lain. Dia menyewa jasa Monchi untuk menjadikan Roma pabrik pemain seperti Sevilla. Celakanya, proyek ini mati di tengah jalan karena prestasi tim justru anjlok.
ADVERTISEMENT
Saat Monchi menjabat sebagai direktur olahraga, Roma bertindak sembrono dengan menendang pemain-pemain sarat pengalaman macam Kevin Strootman dan Radja Nainggolan. Mereka pun gagal mendapatkan pemain pengganti yang sepadan. Sampai akhirnya, yang jadi korban adalah performa di lapangan.
Roma akhirnya gagal lolos ke Liga Champions dan tifosi mereka pun marah besar. Bahkan, Pallotta sendiri sampai harus mengeluarkan pernyataan terbuka untuk membicarakan masalah ini. Bagi Pallotta, relasinya dengan pendukung Roma sudah mencapai titik nadir.
Hubungan Totti dengan ini semua apa?
Tidak ada.
Lho?
Maksudnya, tidak ada keterlibatan Totti sedikit pun dalam pengambilan keputusan-keputusan tersebut.
Oooohhh.
Well, begitulah. Pada akhirnya, Totti merasa tak berdaya dan memilih untuk angkat kaki. Untuk alasan serupalah Paolo Maldini beberapa waktu lalu sempat meminta waktu sebelum mengiyakan tawaran Milan menjadi direktur olahraga. Maldini tidak mau jadi sekadar hiasan. Dia ingin berbuat sesuatu yang konkret bagi klub yang dia sayangi, tidak seperti Totti.
ADVERTISEMENT
Oke. Jadi, pada dasarnya Totti pergi karena Roma tak lagi membutuhkan dirinya?
Roma yang sekarang? Ya. Roma yang dimiliki oleh konsorsium Amerika ini? Ya. Tapi, seperti yang dikatakan Totti sendiri, presiden, pelatih, pemain akan datang dan pergi. Tapi, panji klub akan tetap berkibar. Selama bendera klub masih berkibar, selama itulah Roma akan selalu membutuhkan orang-orang seperti Totti dan De Rossi.