Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
ADVERTISEMENT
Satu hal yang membuat Dejan Stankovic begitu berbahaya adalah bagaimana lawan jarang sekali melihat dirinya sebagai sosok yang mengancam. Dia bukan Ronaldo, bukan pula Luis Figo. Bahaya yang dia tebar biasanya terlalu jauh dari gawang untuk diindahkan.
ADVERTISEMENT
Lawan memang akan selalu menyadari keberadaan Stankovic. Mustahil, bahkan, untuk tidak merasakan kehadirannya. Sebagai gelandang, dia punya daya jelajah tinggi. Kalaupun pelatih menugasi dirinya untuk bermain sebagai gelandang serang, dia tidak akan patuh begitu saja. Stankovic bakal bergerak ke mana pun yang dia rasa perlu.
Daya jelajah itu adalah merek dagang Stankovic. Jika saja julukan 'Si Traktor' belum kadung jatuh ke dekapan Javier Adelmar Zanetti, Stankovic adalah sosok yang patut menyandangnya. Lawan tahu dan mewaspadai cara bermain Stankovic, tetapi bagi mereka ini bukan ancaman serius.
Sebabnya mudah untuk diterka. Stankovic, meski memiliki daya jelajah tinggi, terbilang jarang berada di dekat gawang. Bermain di klub-klub besar membuat Stankovic terbiasa memiliki rekan-rekan yang lebih kompeten untuk menggedor pertahanan lawan. Itulah mengapa, dia lebih suka menjaga kedalaman.
ADVERTISEMENT
Celaka bagi mereka karena Stankovic tidak perlu dekat dengan gawang untuk menggetarkan jalanya. Tanyakan pada Manuel Neuer kalau tidak percaya. Tanyakan pada kiper Jerman itu bagaimana rasanya kebobolan lewat sepakan yang dilepas Stankovic dari tengah lapangan.
Neuer masih bermain untuk Schalke kala itu. Di babak perempat final Liga Champions musim 2010/11 Schalke berhadapan dengan juara bertahan turnamen, Internazionale. Belum genap setengah menit pertandingan leg pertama berlangsung di San Siro, Neuer sudah dibuat merana oleh Stankovic.
Ini sebenarnya salah Neuer sendiri. Di kemudian hari orang bakal mengenal dirinya sebagai sweeper-keeper andal, tetapi kala itu dia masih terlalu hijau, terlalu naif. Dengan congkaknya, Neuer menghalau bola yang berada di luar kotak penalti dengan sundulan sembari menjatuhkan diri.
ADVERTISEMENT
Sapuan Neuer itu tidak buruk karena bola kemudian mengarah ke lingkaran tengah lapangan. Namun, seperti kebanyakan pemain sebelumnya, dia tidak melihat sosok Stankovic sebagai sebuah ancaman. Sejurus kemudian, petaka menimpa Schalke.
Stankovic bukan pemain tercepat, bukan yang terkuat, bukan pula yang teknik olah bolanya paling bagus. Namun, untuk urusan menendang bola itu sendiri, sulit untuk mencari padanan bagi dirinya. Gol pertamanya untuk Inter, misalnya, dia cetak langsung dari situasi sepak pojok .
Stankovic pun tahu persis sehebat apa tendangannya. Maka, tanpa membiarkan bola jatuh dulu ke tanah, Stankovic langsung menghajarnya kuat-kuat dengan tempurung kaki kanan.
Ini adalah salah satu momen dalam sepak bola yang, kalau tidak terekam dalam bentuk video, orang akan mencapnya sebagai sesuatu yang mengada-ada. Bola tendangan Stankovic tadi meluncur mulus. Sangat, sangat mulus. Trajektorinya tidak sepenuhnya parabolik dan itu membuatnya tak mungkin digapai siapa pun.
ADVERTISEMENT
Bak rudal balistik, tiba-tiba saja bola bersarang di gawang Neuer. Semua pemain Inter melakukan selebrasi seakan-akan mereka baru saja menjadi juara lagi. Itu adalah gol luar biasa yang sulit sekali dicari tandingannya, terutama di sepak bola level tertinggi. Gol itu begitu spesial dan harus dirayakan dengan antusiasme yang tepat.
Sayang, gol Stankovic itu hanyalah fajar palsu bagi Inter. Schalke yang kecolongan lewat cara spektakuler tak tinggal diam. Mereka mengamuk dan mencetak lima gol untuk membungkam Nerazzurri di rumahnya sendiri. Di akhir cerita Schalke menang agregat 7-3 dan berhak lolos ke semifinal.
Bagi Inter, kekalahan dari Schalke itu adalah awal dari keterpurukan yang belum benar-benar bisa mereka enyahkan sampai sekarang. Hal serupa berlaku untuk Stankovic. Di usianya yang menginjak 32 tahun, Stankovic sudah hampir habis karena raganya digerogoti cedera. Dengan sisa-sisa kemampuan, dia mengabadikan diri lewat gol sekali seumur hidup itu.
ADVERTISEMENT
Stankovic sendiri pensiun pada 2013 pada usia 34 tahun. Sembilan tahun terakhir dalam kariernya dia habiskan bersama Inter dan di sinilah dia merasakan masa-masa terbaik. Dalam kurun waktu itu Stankovic berhasil mengumpulkan 15 trofi sekaligus, termasuk saat meraih trigelar pada musim 2009/10.
Kepindahan Stankovic ke Inter diawali dengan sebuah drama. Pada Februari 2004, menyusul krisis ekonomi yang melanda Lazio, Stankovic sebenarnya sudah dilepas manajemen ke Juventus. Bahkan, kontrak pun sudah diteken olehnya.
Akan tetapi, di detik-detik akhir, Stankovic berubah pikiran. Dia memilih bergabung dengan Inter karena mengetahui bahwa Roberto Mancini bakal bergabung ke sana sebagai pelatih pada awal musim 2004/05. Mancini adalah mentor sekaligus kawan baik Stankovic selama memperkuat Lazio.
ADVERTISEMENT
Akhirnya, Stankovic pun merapat ke San Siro. Di sana kemampuan yang sudah dia tunjukkan di Lazio berhasil direplikasi dengan baik. Semua posisi di lini tengah sanggup dilakoninya dengan baik dan inilah yang membuatnya bisa bertahan lama di Inter.
Pada 2008, ketika Jose Mourinho datang, Stankovic sebenarnya sempat ingin disingkirkan. Kala itu Mourinho berminat untuk membentuk tim dengan balutan formasi 4-3-3 dan untuk itu pemain-pemain 'milik Mancini' pun kudu disingkirkan, termasuk Stankovic.
Lagi-lagi, klub yang hampir mendapatkannya adalah Juventus. Kesepakatan sudah tercapai antara kedua belah pihak, tetapi kepindahan urung terlaksana. Penolakan para tifosi Juventus menjadi musabab di baliknya.
Pasca-Calciopoli relasi Inter dan Juventus memang sedang buruk-buruknya. Stankovic pun menjadi bagian darinya. Setelah menolak Juventus pada 2004 dia ikut merayakan 'keberhasilan' Inter meraih gelar Serie A milik Juventus yang dicopot. Para suporter Juventus pun menolak mentah-mentah kehadiran pria kelahiran Beograd tersebut.
ADVERTISEMENT
Namun, nyatanya itu semua tak menjadi masalah bagi Stankovic, Inter, maupun Mourinho. Di tim yang meraih trigelar pada musim 2009/10 Stankovic masih jadi bagian penting. Pada partai final, misalnya, Stankovic tetap diturunkan walau hanya sebagai pengganti.
Bagi Stankovic, gelar Liga Champions itu adalah puncak prestasinya. Dia memang sudah tak asing dengan gelar. Sebelum memperkuat Inter, pemain yang akrab disapa 'Deki' itu sudah memiliki sebelas trofi di kabinetnya.
Bersama Crvena Zvezda, tempat dia mengawali karier, Stankovic mampu meraih empat gelar domestik. Bersama Lazio yang diperkuatnya dari 1998 sampai 2004, Stankovic bahkan mampu merebut trofi Piala Winners. Namun, tak ada satu pun dari gelar itu yang gengsinya di atas Liga Champions.
ADVERTISEMENT
Kesuksesan di level klub ini pun terbawa sampai ke tim nasional. Catatan Stankovic di level internasional ini menarik karena sebelum dan sejak dirinya tidak ada pemain yang pernah memperkuat tiga tim nasional sekaligus. Sepanjang karier, Stankovic pernah bermain untuk Yugoslavia, Serbia-Montenegro, dan Serbia. Total, dia bermain 105 kali di ajang antarnegara.
Apa yang dicapai Stankovic di sepak bola ini sama sekali tidak mengejutkan, mengingat dia memang berasal dari keluarga yang menggeluti olahraga ini. Kedua orang tuanya, Bora dan Dragica, sama-sama pesepak bola. Istrinya, Ana, merupakan adik dari legenda sepak bola Slovenia, Milenko Acimovic. Kini, putra Stankovic, Filip, pun mulai ikut berlatih bersama tim utama Inter.
Rabu, 11 September 2019, Stankovic berulang tahun yang ke-41. Dia sudah cukup lama meninggalkan sepak bola, tetapi jejaknya masih begitu terasa. Gol-golnya masih sering diputar ulang, dedikasinya masih meninggalkan rasa kagum, dan kini darah dagingnya sudah siap untuk mengharumkan kembali namanya. Selamat ulang tahun, Dejan Stankovic .
ADVERTISEMENT