Tragedi Muenchen Seperti Dituturkan Sir Bobby Charlton

7 Februari 2017 18:40 WIB
clock
Diperbarui 14 Maret 2019 21:18 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
ADVERTISEMENT
Sir Bobby Charlton di tahun 2016. (Foto: Alex Livesey/Getty Images)
zoom-in-whitePerbesar
Sir Bobby Charlton di tahun 2016. (Foto: Alex Livesey/Getty Images)
Sir Bobby Charlton selamat dari tragedi Muenchen. Ia hidup untuk kemudian menceritakan peristiwa nahas itu.
ADVERTISEMENT
Charlton masih ingat betul hari-hari jelang tragedi yang menimpa klubnya, Manchester United. Usianya waktu itu baru 21 tahun, namun ia sudah menjadi bagian penting klub. Charlton adalah bagian penting dari Busby Babes, tim legendaris United di era itu.
Charlton waktu itu mendongak kepada Duncan Edwards, rekan satu timnya yang ia anggap sebagai kakak sendiri. Hanya kepada Edwards-lah Charlton merasa minder. Ia merasa, kemampuannya bermain bola tak ada apa-apanya jika dibandingkan dengan Edwards.
Musim itu, United melaju mulus di European Cup (Piala Champions, nama lama Liga Champions, red). Di babak perempat final, mereka sukses menyingkirkan Crvena Zvezda (Red Star Belgrade) dengan agregat 5-4.
Selasa, 14 Januari 1958, United tampil menghadapi Red Star di hadapan 60.000 orang yang memadati Old Trafford. Charlton mengingatnya sebagai pertandingan yang tak biasa.
ADVERTISEMENT
Kendati menang 2-1, United, kata Charlton, tidak bisa mendominasi seperti biasanya. Bagi Charlton, hal itu terasa aneh. Sebab, tiap kali bermain di Old Trafford, mereka bisa berlaku semaunya terhadap lawan.
Charlton kemudian menjawab keanehan itu dengan sendirinya. “Kepercayaan kami sedang tinggi-tingginya. Kami bisa mengalahkan mereka. Namun, mereka punya pemain-pemain bagus seperti Sekularac dan (Bora) Kostic,” ucap Charlton ketika diwawancarai MUTV.
Keunggulan tipis itu jelas tidak menguntungkan buat United. Beberapa pekan kemudian, mereka harus gantian bertandang ke Belgrade, markas Red Star.
Dengan status Red Star sebagai salah satu tim besar Eropa ketika itu, Charlton pun mengaku nervous. Kondisi lapangan milik Red Star waktu itu tak bagus: berlumpur, compang-camping, codet di mana-mana.
ADVERTISEMENT
Tapi, Busby Babes adalah makhluk-makhluk ajaib. Saking ajaibnya, bolehlah kita menciptakan alter-realitas di kepala masing-masing. Bagaimana seandainya jika mereka diberikan umur yang lebih panjang.
Dalam tulisan lainnya, dengan menimbang-nimbang performa United di era itu, kami menganggap bahwa United tidak hanya bisa menjuarai Eropa, tetapi juga pemain-pemain mereka mampu memberikan trofi untuk Tim Nasional Inggris.
Lapangan compang-camping milik Red Star itu tak mampu menghentikan kelebatan langkah mereka. Sebelum babak pertama habis, United unggul 3-0 lewat gol-gol Dennis Viollet dan Charlton (2 gol).
“Mereka tampil efisien dan pendukung mereka amat ganas. Tapi, kami sudah bersiap sebaik mungkin,” kata Charlton.
Sial, unggul tiga-nol membuat kepala anak-anak muda Busby Babes itu tumpul. Mereka lengah. Di babak kedua, Red Star mencetak tiga gol, menyamakan kedudukan. Skor akhir 3-3.
ADVERTISEMENT
Meski begitu, kemenangan tipis 2-1 di Old Trafford beberapa pekan sebelumnya membuat United unggul agregat 5-4. Mereka lolos ke semifinal. Tapi, seperti yang kita semua tahu, takdir bermain: itu adalah terakhir kalinya Busby Babes bermain bola.
Mural Busby Babes di Old Trafford (Foto: Christopher Furlong/Getty Images)
zoom-in-whitePerbesar
Mural Busby Babes di Old Trafford (Foto: Christopher Furlong/Getty Images)
Muenchen, 6 Februari 1958
“Cuacanya buruk waktu itu,” ucap Charlton.
United, dengan menumpang pesawat British European Airways bernomor penerbangan 609, transit sejenak di Muenchen. Pesawat butuh untuk mengisi bahan bakar.
Dua kali pesawat mencoba untuk lepas landas, namun gagal. Para pemain, penumpang, dan staf klub diminta kembali ke dalam ruang tunggu Bandara. Bahkan mereka ditawarkan untuk menginap semalam.
Tapi, United dikejar waktu. Mereka butuh kembali ke Inggris secepat mungkin karena pertandingan melawan Wolverhampton Wanderers sudah menunggu.
ADVERTISEMENT
Kapten James Thain akhirnya memutuskan untuk terbang saat itu juga. “Akhirnya, ofisial mengizinkan untuk lepas landas. Tapi, masalahnya ada pada salju yang mencair di landasan.”
“Pesawat kami, The Elizabethan, butuh waktu lama untuk take-off karena butuh runway yang cukup panjang. Namun, tidak berhasil.”
Pesawat tergelincir keluar lintasan. Badannya terbelah dan terbakar.
Charlton tidak ingat apa yang terjadi padanya. Ketika ia sadar, ia masih terduduk di kursinya. Namun, entah bagaimana, ada berada di luar pesawat.
“Saya tak tahu saya ada di mana. Saya masih duduk di kursi —yang entah bagaimana bisa berada di luar pesawat.”
“Setelahnya, saya melihat Harry Gregg dan Bill Foulkes. Mereka bilang, saya tak sadarkan diri selama seperempat jam. Waktu itu, mereka masih keluar-masuk pesawat untuk menyelamatkan yang lainnya.”
ADVERTISEMENT
“Yang mereka lakukan amatlah berani. Pesawat terbakar dan terbelah dua. Kita berutang banyak kepada keduanya.”
Hari itu, Charlton memakai coat. Ia sempat menanggalkannya, tapi setelah dua kali gagal lepas landas, ia memutuskan untuk memakai coat itu lagi. Alasannya sederhana: ia tidak mau harus mengambil coat itu lagi dan mengenakannya hanya untuk berjalan masuk ke ruang tunggu lagi.
“Setelah pesawat kecelakaan, saya melihat Matt Busby di dekat saya. Saya kemudian menaruh coat saya di bawahnya. Jelas dia terluka parah,” kata Charlton.
***
Charlton dan Busby selamat dari kecelakaan itu, kendati Busby harus dirawat di rumah sakit cukup lama. Butuh waktu lama baginya untuk membangun ulang tim yang diberangus kecelakaan itu.
ADVERTISEMENT
Namun, sepuluh tahun kemudian, Charlton dan Busby berada di puncak Eropa ketika mereka berhasil menjuarai European Cup.
Charlton hidup untuk melihat dirinya menjadi legenda klub. Ia sempat menjadi pencetak gol terbanyak sepanjang sejarah klub, sebelum akhirnya dilampaui Wayne Rooney.
Namun, kendati pun sudah lama berlalu, Charlton mengaku, apa yang dialaminya dan timnya di Muenchen puluhan tahun silam masih amat sulit untuk diterima.