Wawancara Eks Dokter Timnas Indonesia: Seberapa Buruk Gorengan buat Pemain?

13 Maret 2020 19:23 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Pelatih Shin Tae-yong (tengah) memimpin latihan tim nasional sepak bola Indonesia di Stadion Madya, kompleks Gelora Bung karno (GBK), Senayan, Jakarta Foto: ANTARA FOTO/Aditya Pradana Putra
zoom-in-whitePerbesar
Pelatih Shin Tae-yong (tengah) memimpin latihan tim nasional sepak bola Indonesia di Stadion Madya, kompleks Gelora Bung karno (GBK), Senayan, Jakarta Foto: ANTARA FOTO/Aditya Pradana Putra
Manajer-Pelatih Timnas Indonesia, Shin Tae-yong, betul-betul menguji ketahanan iman para anak didiknya saat menjalani pemusatan latihan nasional. Beberapa waktu lalu, pertengahan Februari 2020 lebih tepatnya, Shin melarang pemain untuk mengonsumsi gorengan.
Tega betul pelatih asal Korea Selatan ini. Mengonsumsi gorengan, bagi sebagian masyarakat Indonesia, bak budaya yang tak bisa dilepaskan. Memang belum tercatat saja, sih, di UNESCO karena belum ada data konkretnya.
Namun, di situ letak persoalannya. Karena belum tercatat di Organisasi Pendidikan, Keilmuan, dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa, itu, Shin buru-buru untuk memisahkan gorengan itu dari anak didiknya di Timnas Indonesia.
Ini tak serta merta karena Shin menganut 'Anti Gorengan Club' atau 'Menistakan Gorengan'. Menurut dia, karena gorengan ini, anak didiknya di skuat Garuda keteteran fisiknya saat latihan.
Per laporannya kepada Ketua Umum PSSI, Mochamad Iriawan, usai pemusatan latihan, Shin tak banyak melampirkan catatan positif. Malahan, pelatih 50 tahun ini banyak melaporkan catatan negatif soal rapor anak asuhnya.
Salah satu laporan utama Shin adalah mengedepankan agar anak asuhnya tak usah lagi mengonsumsi gorengan. Iriawan yang ketika mendengarkannya langsung bilang oke dan mendukung 100 persen ide Shin.
Berangkat dari sana, kumparanBOLA coba menelusuri pengaruh gorengan terhadap fisik pemain Timnas Indonesia. Kami berbincang dengan dokter Alfan Nur Asyhar yang saat ini menjadi dokter tim di PSIS Semarang.
Sebelumnya, Alfan pernah menjadi dokter untuk Timnas Indonesia sejak 2011 hingga 2017. Dari pengalamannya menangani Timnas Senior hingga Timnas Junior, ia kemudian membagikan cerita ilmiah melalui penjelasan yang mudah dimengerti.
Dokter PSIS Semarang, Alfan Nur. Foto: Dok. Alfan Nur
****
Seberapa buruk dampak mengonsumsi gorengan bagi tubuh seorang pesepak bola, dok?
Kebanyakan pemain kita, umumnya banyak membeli gorengan itu di luar, ya. Biasanya, minyak [penggorengan] itu 'kan sudah digunakan berkali-kali. Kalau istilah Jawanya, minyak jelantah. Nah, minyak jelantah itu kandungan asam lemak jenuhnya tinggi. Kemudian dalam metabolisme tubuh menumpuk dan bisa jadi kolesterol jahat.
Efeknya bermacam-macam. Pertama, tubuh [secara keseluruhan] akan mengalami penyumbatan pembuluh darah dan pada akhirnya nutrisi oksigen yang beredar ke seluruh tubuh akan jadi terhambat juga.
Kemudian yang kedua, berpengaruh ke otak. Karena, seperti yang saya sampaikan tadi, asupan oksigen ke tubuh dan otomatis ke otak, kan juga berkurang. Padahal, seorang atlet butuh suplai [oksigen] yang cepat dan maksimal. Sehingga, [jika asupan oksigen tadi sedikit] akan berpengaruh pada performanya si atlet. Misalnya, reaksi mereka untuk menerima instruksi agak sedikit lambat.
Kemudian yang ketiga, dampak lainnya akan berujung stroke. Stroke ini gejala awalnya pusing-pusing, setelah pusing-pusing itu efeknya susah dan enggak bisa konsentrasi. Kemudian efek lain setelah pusing-pusing adalah gangguan sistem jantung. Nah, kalau sudah gangguan sistem jantung, berarti kolesterol jahat yang menumpuk lewat minyak gorengan tadi otomatis jantung tidak bisa berfungsi optimal.
Pelatih Timnas Indonesia Shin Tae-yong memberikan instruksi saat seleksi pemain Timnas Indonesia U-19 di Stadion Wibawa Mukti, Cikarang, Senin (13/1). Foto: ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A
Jantung ini mesti banyak asupan oksigen juga. Kalau enggak maksimal, bagaimana jantung bisa bekerja dengan baik, bisa-bisa atlet akan berujung kena serangan jantung malah.
Kemudian kalau bicara mengonsumsi gorengan, bagi atlet itu 'kan gorengan itu memang enak, ya. Tapi sebagian mereka enggak menyadari bahwa ketika mereka makan gorengan, lalu kenyang, enggak mau lagi makan yang lain. Padahal, kalau mengonsumsi makanan itu kan mesti seimbang, karbohidrat berapa, proteinnya berapa, serta lemaknya berapa dan lain-lainnya.
Kalau enggak salah pemain itu enggak makan gorengan saat pemusatan latihan di Timnas doang, ya, dok? Makan teratur, istirahat teratur, dan semua disiplin. Apa begitu?
Betul. Memang kalau saya simpulkan bagitu.
Sebenarnya pemain Indonesia ini bisa, kok, bersaing [secara fisik] dengan pemain luar, Eropa, Asia, Asia Tenggara juga bisa dan apalagi untuk sekelas Asia Tenggara. Hanya saja permasalahannya ada dua: Kesadaran serta kedisiplinannya yang perlu dibenahi.
Kesadaran, dalam artiannya adalah, dia itu atlet, dia, ya, hidup seperti atlet. Mulai dari dia makan, istirahat, recovery, minum, mereka mesti sadar: Saya adalah seorang atlet.
Disiplin. Nah, disiplin ini artiannya menjalankan apa yang sudah menjadi kebutuhan mereka sebagai atlet. Contoh: Saya [atlet] mesti makan jam sekian, kemudian saya mesti istirahat jam sekian, kemudian saya mesti konsumsi makanan, misalnya, nasi dengan porsi [karbohidratnya] sekian, lauk sekian dan lain-lain juga sekian. Kemudian saat latihan juga mesti disiplin. Mulainya jam berapa selesainya jam berapa. Nah, itu termasuk dalam kategori disiplin.
Kalau beberapa kasus yang saya umumnya sering ditemui adalah atlet selalu berpikir bahwa panggilan pemusatan latihan serasa di penjara. Karena semua diatur. Dan ketika mereka pulang, mereka kembali ke kebiasaan lama mereka, dan apa yang sudah dibentuk di pemusatan latihan akan sia-sia jadinya.
Pelatih Timnas Indonesia Shin Tae-yong memantau latihan skuat asuhannya di Stadion Madya, Senayan, Jakarta, Senin (17/2). Foto: ANTARA FOTO/Puspa Perwitasari
Oke jika mereka bisa menghentikan kebiasaan makan gorengan, tetapi, ketika mereka berada di klub, saat menjalani pertandingan away ke berbagai daerah di Indonesia, kan ada banyak waktu untuk mencuri-curi waktu untuk berwisata kuliner. Nah, itu bagaimana? Otomatis wisata kuliner di daerah tidak sesuai standar porsi atlet, bukan?
Itu memang tak asing dan saya pribadi sering menemukan kasus demikian beberapa kali. Sebetulnya, sih, ya, kalau hanya untuk mengisap cita rasa, sekali mencicipi, sih, oke. Tapi kalau sudah kebiasaan, ini yang susah.
Ada memang pemain yang susah diberitahu dan diperingatkan. 'Oke kamu makan makanan 'ini' boleh, tapi setelahnya kamu mesti makan makanan 'itu', ya, seperti yang sudah direkomendasikan, ya. Wah kalau itu ada banyak tipe pemain yang susah mengaturnya bukan main.
Sebetulnya pemain itu mengakui, kok, dan mereka pengin makan yang sehat, makanan atlet, tapi, ya, gimana. Karena mereka bilang kalau dari kecil pola makannya sudah rusak. Mereka tahu rusak tapi, ya, tetap dilanjutkan.
Nah, berdasarkan pengalaman selama saya menangani Timnas U-16, lalu Timnas U-19, dan sampai ke PSIS, jika atlet menerapkan pola makan sehat saja itu dampaknya akan bagus.
Contoh. Anak-anak Timnas U-16 di 2017 pas AFF, bisa, kok, mereka juara dengan pola makan yang baik dan karena mereka mau, mereka nurut.
Cara mengetahui jika pemain itu sudah bebas dari mengonsumsi gorengan, lalu apa dampaknya yang akan mereka rasakan?
Biasanya akan ketahuan saat cek darah. Saat si atlet mengonsumsi makanan baik, maka hasil laboratorium juga akan baik. Kalau sudah bagus, dan menurutmu kebiasaan itu baik untukmu, ya, atlet itu sebetulnya tinggal melanjutkan dan berupaya terus untuk memperbaiki, bisa lebih baik lagi kedepannya.
Saya pernah bilang ke pemain Timnas U-16, saat masih mendampingi mereka: Kalau kamu bagus dalam menjaga badan, melalui pola makan saja, ada 'harga' yang akan kamu nikmati di kemudian hari.
Selama ini kan kenapa si atlet enggak bisa main [berkompetisi] di luar [Indonesia] karena mereka [klub peminat] tak tertarik dengan performa [fisik pemain Indonesia]. Mestinya, kan klub yang cari mereka, bukan mereka yang cari klub dan itu yang sering saya sampaikan.
Dok, di Timnas 'kan ada pemain naturalisasi. Mereka menjaga pola makan, enggak, sih?
Saya sempat menemui pemain asing yang sudah dinaturalisasi. Ketika itu saat saya di klub lama yakni Herman Dzumafo. Menurut saya dia masih produktif. Memang, sih, menit bermain enggak banyak. Tapi dia itu masih membawa budaya yang hidup 'pakai aturan'.
Kata mereka, pemain-pemain naturalisasi yang saya temui dalam beberapa kali kesempatan, sih, bilang bahwa mereka bersyukur bisa bermain di Indonesia. Karena kalau berkompetisi di luar Indonesia, belum tentu saya bisa akan dapat karier dan gaji sebesar di sini. Untuk itu mereka menjaga kebiasaan sehingga bisa bersaing dengan pemain-pemain muda yang baru.
Saya jujur saja, melihat mereka makan, ya, makan sesuai porsi atlet, begitu. Di luar kebiasaan mereka, ketika break kompetisi, saat mereka mengonsumsi alkohol, mungkin, ya, wajar untuk bikin dia rileks. Tapi jika saat sehari-hari mereka makan sesuai aturan kalau dia atlet.
Ada juga, kok, atlet luar yang sudah terkontaminasi dan dampaknya umur bermainnya juga tak panjang akhirnya. Tapi yang saat ini 'panjang umur dan eksis dalam sepak bola' itu ya mereka yang menerapkan pola makan sehat.
Berapa lama mengembalikan kebugaran pemain, saat si atlet memutuskan, oke saya berhenti makan gorengan. Lalu untuk mengusir yang jahat-jahat di tubuh pemain berapa lama waktunya?
Tergantung hasil cek medis juga, sih. Ambil contoh dasar dulu: Kolesterolnya tinggi enggak, lalu diobati, ya, paling lama satu bulan.
Oh, kalau dicek di laboratorium, ternyata ada kerusakan hati, ternyata parah dan kronis, ya, perlu waktu lebih. Ya, semua tergantung tes cek laboratoriumnya berapa lama.
Keberhasilannya berapa persen? Berkaca Timnas Indonesia akan berlaga di Kualifikasi Piala Dunia 2022, apa waktunya ideal untuk menetralisir efek gorengan yang kita bicarakan tadi?
Pelatih Timnas Indonesia Shin Tae-yong memberikan arahan saat sesi latihan di Stadion Madya Gelora Bung Karno, Jakarta, Jumat (14/2). Foto: Irfan Adi Saputra/kumparan
Asal memang ketat dan disiplin, sebetulnya cepat. Itu dibantu juga obat dan suplemen, serta exercice yang bagus juga kan dari si atlet? Hanya saja, seperti yang saya sampaikan tadi, kita mesti lihat hasil laboratorium terkait kerusakanan tubuhnya apa saja. Apakah satu titik, atau berapa titik, itu berpengaruh. Kompleks sekali sebetulnya dan butuh pemantauan berkala.
Wah, repot juga. Apakah Coach Shin bisa mengatasi ini secara cepat mengingat ajang Kualifikasi juga enggak lama lagi akan kembali bergulir. Lalu mengingat nyaris semua pemain kita punya kebiasaan mengonsumsi gorengan. Bagaimana?
Memang ini masalah klasik, ya. Dan sebetulnya ada, kok, solusinya. Ketika mau membenahi fisik pesepak bola kita, seluruh tim medis klub di Indonesia mestinya duduk bareng, dari PSSI selaku federasi juga duduk bareng dengan mereka, bagaimana perhatian mereka [PSSI] terhadap manajemen tim medis setiap klub.
Selama ini, harus sama-sama terbuka saja, memang enggak ada komunikasi. Ini yang saya alami ketika di Timnas dan ketika saya di klub.
Karena apa tidak ada komunikasi itu? Ya karena instruksi dari pusat [PSSI] enggak ada. Kalau misalnya, ini misalnya saja, ada dana distribusi untuk setiap klub untuk melengkapi fasilitas kesehatan klub untuk para pemain saja dari PSSI, bukan tidak mungkin semua persoalan ini bisa teratasi.
Terkadang kan klub atau pemain sendiri yang memandang persoalan ini sebelah mata. Kalau pemain bilang: Ah, enggak apa-apa saya enggak ngikutin pola yang baik, wong saya digaji gede, ya, sudah nantik tinggal beli makan saja.